"Dari tadi senyum terus?" tanya Pak Pak Ryan yang sedari tadi memperhatikanku.
"Aku senang, melihat kedekatanmu dengan Prilly," jawabku, kemudian menyandarkan kepalaku di lengannya.Sesaat kami hanya diam."Ada masalah?" tanyanya, jemarinya menelusup di antara sela jemariku, kemudian menggenggamnya."Biasa, masalah yang kemarin. Friska menjauhiku, dia tak mau bicara lagi denganku. Sekarang persoalan bertambah, Papa sudah bertemu Mas Dipta."Pak Ryan terlihat kaget mendengar ceritaku, aku kembali menceritakan semuanya. Termasuk desakan papa agar aku memaafkan Mas Dipta dan kembali rujuk."Sepertinya akan ada kendala, tapi aku percaya kita bisa melewatinya," ucapku kemudian."Aku akan berjuang untukmu, untuk Prilly, aku akan buktikan aku pantas untuk kalian," balas Pak Ryan."Lebih dari pantas, kamu terlalu sempurna," ucapku."Aku tak sebaik itu, tapi aku akan menjadi lebih baik untuk kalian dan untuk keluargamu.""Aku percaya," ucapku."Aku besok pula"Kami meminta maaf, atas semua yang telah terjadi, semua murni kesalahan Dipta. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dipta baru menyadari kesalahannya, kami berusaha mencari kalian, tapi kami tak pernah menemukan. Kami juga tidak tahu kalau Kay hamil waktu itu, sekali lagi maafkan kami," ucap Ayah Mas Dipta dengan suara serak."Kay, maafkan mas," ucap Mas Dipta di sela isaknya.Entah berapa ratus kali permintaan maaf terlontar dari mas Dipta dan keluarganya. Aku hanya bergeming, mama yang dari tadi terus bicara, papa hanya diam setelah mama beberapa kali mementahkan ucapannya."Paling tidak ijinkan kami menemui cucu kami, bagaimanapun Prilly adalah darah daging Dipta," ucap mama mas Dipta."Prilly, memang darah daging Mas Dipta, tapi dia hadir bukan karena cinta, mas Ingat, setelah kejadian itu, mas memakiku dan menghinaku hanya karena aku tak bisa melawan Mas yang sedang mabuk, mas menyesal karena merasa jijik, bukan menyesal karena telah menyakitiku." Mataku memanas, r
"Siapa dia?" tanya perempuan yang oleh Pak Ryan di panggil Bu Rahma itu."Kayana, calon istri saya," jawab Pak Ryan. Wajah perempuan itu berubah."Operation head?" Bu Rahma mendelik melihatku. Aku mengangguk pelan saat dia menyebut posisiku. Dia mengenalku, entahlah aku baru kali ini melihatnya."Oh, ini yang sering membuat Pak Restu berkunjung ke sini," ucapnya kemudian. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya.Perasaanku merasa tak enak dengan kehadiran perempuan ini. Dia beranjak pergi saat ada seorang perempuan lain memanggil nya."Siapa dia?" tanyaku."Bu Rahma, atasanku di perusahaan lama," jawab Pak Ryan."Dia sepertinya suka padamu?" "Iya.""Terus?""Apanya yang terus?""Kamu?""Sepertinya aku saja yang harus mencari pekerjaan di perusahaan lain.""Maksudnya,""Aku jelaskan nanti, pesanku apapun yang dia katakan nanti jangan kamu telan mentah-mentah," jelasnya."Aku sedang tak ingin membahas orang
"Maaf, Bu. Saya keberatan, peran Supervisor sangat vital di cabang, Ibu sebaiknya mengambil dari salah satu staff," ucap Pak Ryan yang merasa keberatan."Betul, Bu Rahma. Sebaiknya ambil dari staff saja. Takutnya malah mengganggu stabilitas pekerjaan di cabang," tambah Pak Anshar."Oke, oke, baiklah … kamu saja yang atur," ucap Bu Rahma menoleh ke arah Pak Anshar. "Oke, meeting selesai. Kembali bekerja," lanjutnya.Kami semua, hampir berdiri bersamaan dan kemudian berjalan keluar ruangan meeting. Kali ini Friska memilih keluar terlebih dahulu. Masih terdengar candaan seputar kekaguman fisik dari para section head lainnya. Aku dan Hani saling berpandangan dan kemudian menggelengkan kepala. Semua pria sama saja kalau melihat yang begituan."Mirip tante pemersatu Bangsa … hahaha," ucap Pak Leman yang berjalan di belakangku, bersisian dengan Pak Indra dan Pak Andre. Kedua pria di sampingnya tertawa mengiyakan."Memangnya ada tante pemersatu Bangsa?" tanya Hani sedik
Sekilas kecupan hangat menyapa bibirku, membuat pipiku menghangat."Bisakah kita lebih serius dari ini?" tanyaku padanya, masih dengan kening menyatu"Tentu saja, kita akan atur semua, sebenarnya aku lebih suka, kamu di rumah tak perlu bekerja, tapi aku cukup tau karaktermu. Tak mungkin mau berdiam diri dirumah," ucap Pak Ryan."Kamu benar, aku paling tak bisa di rumah," ucapku. "Gimana, kalau ntar malam kita ajak Prilly keluar, jalan-jalan.""Boleh, kemana?" tanyaku."Prilly suka kemana? Jangan bilang ke mall belanja, itu mamanya pasti yang minta." Aku tertawa mendengar canda garingnya."Itu sudah kodrat sayang, shopping itu penghilang stres," ucapku beralasan."Pinter banget cari alasan, pacar siapa sih ini," ucap Pak Ryan tangannya membingkai wajahku, bibirnya terkatup gemas."Halalin adek, Bang," candaku. Pria itu tertawa mendengarku."Sakit perutku," ucapnya menahan tawa, sambil memegangi perutnya."Itu sindirin sebenarnya," lanjutku
Mas Dipta terlihat di depan pagar, aku dan mama saling berpandangan. Jelas ini bukan hal yang menyenangkan. Papa muncul di belakang kami, berjalan melewat aku dan mama membuka pagar untuk Mas Dipta."Wahh, Teddy Bear besar banget," teriak Prilly dengan senyum lebar. Aku kembali saling berpandangan dengan mama. Ada rasa sesak menyergap, bukanya tak suka melihat wajah ceria Prilly, hanya saja hati belum sepenuhnya menerima. "Suka?" tanya Mas Dipta lalu menggendong gadis kecilnya, setelah mencium tangan papa."Suka sekali," jawab Prilly sambil mendaratkan sebuah ciuman ke pipi Mas Dipta. Melihatnya entah kenapa badanku lemas tiba-tiba. Mas Dipta berjalan dan berhenti di hadapanku dan mama. Diturunkannya Prilly dari gendongan nya, sedikit membungkuk ingin bersalaman dengan mama. Wanita separuh baya itu bergeming. Dikibaskan tangan mantan menantunya itu."Oma, Papa mau salim," ucap Prilly, meraih tangan mama. Mas Dipta kembali membungkuk, mama terpaksa membiarkan
Kelelahan Prilly tertidur di jok belakang, aku ingin memangkunya tadi, tapi dia memilih duduk di jok belakang."Sayang, terima kasih ya," ucapku, saat mobil melaju pelan meninggalkan parkiran mall."Aku yang harusnya berterima kasih, malam minggu terindah di temani dua bidadari," balasnya."Bidadari? lebay," ucapku, lalu tertawa kecil."Aku serius sayang, kalian bidadari di hatiku," lanjutnya, aku kembali tertawa."Sayang, aku merasa nggak enak ama kamu, masalah Prilly dan Mas Dipta. Kamu tau betapa keras kepala sekali dia."Pak Ryan meraih tanganku, meletakkan di atas pahanya. Sesekali diketuknya mengikuti irama lagu yang sedang didengarnya."Bagaimanapun, pria itu Ayah Prilly. Tapi bagiku asal kamu tetap bersamaku, aku yakin bisa melewati halangan yang ada," ucapnya."Tau nggak, aku merasa menjadi wanita paling beruntung. Terima kasih untuk cinta ini, aku ingin menjadi bagian terpenting dalam hidupmu, menjadi separuh jiwamu, dan juga tulang rusukm
"Mama, Papa datang," teriak Prilly. Aku dan mama saling berpandangan, mama memiringkan sedikit kepalanya dengan ekspresi bibir terlihat malas."Iya, tunggu di situ," jawabku, lalu bergegas ke kamar, mengambil ponsel dan juga dua lembar uang ratusan dari dalam dompetku.Saat aku keluar, papa sudah tak ada. Sepertinha sudah berangkat. "Jalan kaki?" tanya mas Dipta."Iya Papa, olahlaga." Prilly yang menjawab pertanyaan mas Dipta."Siap," jawab mas Dipta, senyum tersunging di bibir itu, menampakkan lesung pipi yang sama dengan Prilly.Kami bertiga berjalan bersisian dengan menggandeng Prilly di tengah. Keceriaan nampak jelas di wajah mungil, milik putri kecilku itu."Hai," sapa mas Dipta padamu. Prilly menggoyang tanganku, saat tak dia dengar jawaban keluar dari bibirku."Hai," balasku."Selalu terlihat cantik, meski cemberut," ucapnya lagi. Aku hanya diam sambil mengedarkan pandangan."Sayang, capek nggak, papa gendong ya," tawar mas Dipta kem
"Mas udah bayangin, kamar Prilly nanti, anak gadis kan sukanya pink. Mas akan sewa orang khusus buat atur kamar Prilly," lanjutnya lagi.Aku bergeming mendengar Mas Dipta bercerita, masih aku dengarkan tanpa aku sela."Mas, bukankah kita sama-sama sudah dewasa, kita bicara layaknya orang dewasa," ucapku kemudian."Mungkin, bagi mas apa yang mas lakukan dulu padaku, itu hal yang biasa. Tapi, tidak bagiku. Mas menginjak harga diriku, menggoyaknya hingga tak berupa lagi. Masih ingatkan? sampai seperti apa mas menghinakan aku dulu. Enam bulan pernikahan kita, yang aku dapat hanya cacian dan hinaan. Mas selalu menyalahkanku, kata mas gara-gara diriku mas berpisah dengan kekasih mas."Sekuat tenaga aku menahan gejolak emosi dalam dada. Agar aku bisa menyelesaikan semua yang ingin aku sampaikan padanya."Mas, juga pastinya tidak lupa, bagaimana bisa Prilly hadir di dunia ini. Prilly hadir bukan karena sebuah cinta, bagi mas itu dulu kesalahanku, mas yang memaksaku, mas