"Haruskah aku memaafkan sebuah pengkhianatan, Mas?"Tangan yang memeluk pinggangku itu kini merenggang. Wajahnya pun menjauh dari leherku. Terdengar kursi yang berderit karena terdorong oleh tubuhnya yang mundur perlahan. "Apa maksudmu? Aku nggak pernah berkhianat, Wid."Kulemparkan senyum paling pahit untuknya. "Sudah selingkuh masih bilang nggak berkhianat?""Tunggu. Kamu bicara apa? Siapa yang selingkuh? Siapa juga yang berkhianat? Walau kita mengawali pernikahan ini semata karena birrul walidain, sebagai bakti pada orang tua, tapi aku nggak pernah mengkhianatimu, Wid."Tanganku terulur ke saku daster untuk meraih ponsel dan melakukan panggilan. Terdengar suara berat di ujung sana."Fri?" Nada khawatir jelas terdengar dari suara Arsi."Ya.""Kamu kenapa?" Aku tersenyum mendengar dia masih khawatir bahkan setelah luka yang pernah tergores di hatinya."Tenanglah. Aku baik-baik aja. Kamu bisa kirim foto kemarin?""Oh, tentu bisa.""Aku tunggu sekarang, ya. Makasih."Tanpa menunggu j
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Saat mata ini terbuka dan berhasil menyesuaikannya dengan cahaya sekitar, aku sudah berada di ruangan beraroma rumah sakit. "Wid? Alhamdulillah kamu sadar."Aku menepiskan tangan kanan yang sedang diciumi Mas Zaki. Entah sejak kapan ia melakukan itu. Dengan kepala yang masih terasa berat, aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Tiket, Arsi, apartemen, dan foto. Semua berkelebat di kepalaku. Ya, aku ingat sekarang. Terakhir kami bertengkar, tapi Mas Zaki belum juga memberikan penjelasan tentang hubungannya dengan perempuan itu. Ia justru mencurigai aku dan Arsi. Sungguh seperti maling yang teriak maling. "Wid, makan dulu, ya. Kapan terakhir kamu makan? Badanmu sampai lemah banget gini. Pergi seharian memangnya nggak dikasih makan sama Arsi?"Aku diam saja. Entah mengapa, kali ini Mas Zaki dengan ringan menyebut nama mantan kekasihku itu. Tangannya terulur mengambil mangkuk berisi makanan khas rumah sakit. Aku menutup mulut dengan dua tangan k
"Kami saling mencintai, Wid."Hatiku bagai disayat bambu mendengar kalimat itu. Namun, sekuat mungkin aku mencoba menahan untuk tidak menangis. "Jiwa mudaku berontak saat itu, Wid. Bukankah laki-laki bisa menikahkan dirinya sendiri? Akhirnya aku tetap melangkah walau tanpa restu. Toh, Hana sudah mengalah dan menjadi muallaf. Namun, ternyata restu orang tua adalah kunci kebahagiaan hidup. Lima tahun menikah, kami tak dikaruniai keturunan."Mas Zaki bangkit dan kembali duduk. Tangannya mengusap kedua mata yang kini merah. Baru kali ini aku melihatnya menangis."Hana tahu tentang pernikahan kita?""Ya. Dia datang saat akad, dan pulang di pertengahan acara resepsi."Memoriku berputar. Kini aku tahu kenapa malam pertama kami baru berlangsung di hari kedua."Dia yang menelepon kamu di malam pertama kita?"Mas Zaki mengangguk dan kembali meraih tanganku. Menciuminya berulang kali. "Maafkan aku."Aku memalingkan wajah. Menahan sesak yang menyumbat di dada dan seperti ingin meledak. "Hana m
"Dia bisa tetap bahagia, walau hanya bersama ibunya," sanggahku. "Nggak, Wid. Hidupnya akan pincang. Tak ada figur ayah, adalah bencana untuknya.""Aku bisa mencarikan figur ayah untuknya."Mata lelaki di depanku itu membulat. Mulutnya setengah terbuka. Detik berikutnya ia meraih daguku dan sedikit mengangkatnya. Perlahan wajahnya mendekat, hingga hampir tak ada jarak di antara kami. Bibirnya bergerak, lalu mengucap satu kalimat."Kamu pikir, aku rela dia hidup dengan ayah tiri?"Napas Mas Zaki terasa panas menyapu seluruh wajahku. Aroma khas tubuh kekar itu sejenak membuatku ingin memeluknya. Namun, semua yang terjadi beberapa hari terakhir masih meninggikan egoku. Sekali lagi, aku ingin menjajaki kedalaman rasa di hatinya."Kalau bertahan hanya demi anak ini, bukankah kita berdua akan hancur? Untuk apa menahanku, kalau nggak ada cinta di hatimu?"Mata suamiku seketika berkilat marah. Ia meletakkan mangkuk ke meja di samping tempat tidur. Tangan kirinya kini menahan kepalaku dari be
Mas Zaki tersenyum. "Memangnya, kamu udah siap?"Hening menyelimuti kami beberapa menit. Aku diam tak mampu mengucap kata, juga tidak bergerak. Hanya tangan Mas Zaki yang terus menelusuri wajahku. Mata, hidung, pipi, dan bibir. Gerakan itu dilakukannya berulang-ulang, hingga ia menjatuhkan tubuh, dan membenamkan wajahnya di lebat rambutku. "Aku hanya akan melakukan yang kamu suka," lirihnya. ***Sejak hamil, Mas Zaki hampir tak pernah mengajakku ke rumah Ibu. Mertuaku itulah yang kini sering berkunjung bersama Laras. Tak jarang mereka bahkan menginap. Seperti hari ini. Sejak kemarin keduanya bermalam di rumahku. Kangen katanya. Aku dengan senang hati menyambut keduanya, apalagi Mas Zaki ada jadwal tugas keluar kota.Namun, Ibu dan anak itu sepertinya sudah diamanahi oleh Mas Zaki agar menjaga dan mengawasiku. Laras terutama. Dia sangat protektif dan seakan menggantikan posisi Mas Zaki saat suamiku itu tidak di rumah. "Udah, Mbak Widia duduk aja di sini. Nonton drakor sama aku. Bia
Tak lama setelahnya suara bel terdengar. Aku sengaja menunggu hingga dia menekannya tiga kali, baru kemudian membukakan pintu."Wah, aku tersanjung karena tuan rumah langsung yang membukakan pintu," ujar perempuan itu disertai senyum yang lebih mirip seringai.Dia memiliki kulit putih tanpa cela, dengan garis wajah seperti yang kulihat bertebaran di majalah mode. Berbeda denganku, mata Hana cenderung sipit, ditambah softlens yang membuatnya terlihat biru.Dari jarak dekat seperti ini, aku bisa tahu, semua yang dikenakannya memang brand kelas atas. Termasuk pashmina yang dipakainya. Tidak, aku bukan iri. Mas Zaki memberikan uang yang berlebih setiap bulannya. Dia juga membekaliku tiga kartu debit dengan saldo yang terus bertambah setiap bulan. Walau sebanyak apapun aku berbelanja, jumlah uang di tiga rekening itu terus saja membukit. Hanya saja aku memang tidak berminat untuk mengoleksi barang mewah."Maaf, Mbak siapa dan ada keperluan apa?" tanyaku pura-pura tak mengenalinya. Dia tert
"Jangan senang dulu," lanjutnya. "Jika berpikir akan bisa membuat dia bahagia sepanjang hidup, kau sangat keliru.”Aku tersenyum dingin, sampai perempuan berbibir tebal itu kembali berbisik.“Dia memiliki kebutuhan yang aku yakin tak bisa kau berikan."Saat ini rasanya kemarahanku sudah terbit. Kutepis tangannya yang ada di bahu. Lonjakan adrenalin di dalam sini semakin terasa. Berani-beraninya wanita itu menghina tuan rumah tempatnya bertamu. Kupikir Hana adalah perempuan terhormat yang juga punya etika saat bicara. Ternyata tidak sama sekali.“Kau membuat kesalahan besar di sini, Hana. Tak usah mengajari tentang apa yang harus kulakukan untuk memuaskan kebutuhan Mas Zaki. Lelaki yang kau panggil Indra itu awalnya memang tidak memilihku. Widia Afridia Sukma ini memang ditakdirkan untuk hadir dalam hidupnya," ucapku dengan napas memburu."Hah, percaya diri sekali." Dia tertawa sejenak. "Kau pikir dirimu spesial, Widia? Nggak sama sekali. Kita lihat, berapa lama lagi Indra akan mempert
Aku menelan ludah dan menarik diri jadi tegak. Perlahan bangkit dan berjalan ke arahnya. Tangannya yang masih terkepal itu hendak kuraih, tapi dia menghalangi. Matanya masih berkilat mengerikan.Dia menarikku. Merengkuhku dalam pelukan erat. Aroma khas tubuhnya langsung menyergap.Tiba-tiba dia menggendongku dan berjalan ke arah ranjang. Meletakkan tubuhku dengan sangat hati-hati, seolah yang ada di tangannnya kini adalah boneka porselen. Mudah hancur saat diperlakukan salah.Dia mendekatkan wajah kami. Matanya menatap lekat, dan memberi pesan yang sangat kukenal. Detik berikutnya dia telah sangat menuntut."Terima kasih," bisiknya lembut setelah kami selesai.Aku tak menjawab. Ini kali pertama penyatuan kami sejak aku hamil. Kali pertama pula dia melakukannya di tengah gelombang amarah"Aku nggak akan pernah memaafkan diri sendiri, kalau sampai Hana menyakitimu, Wid."Aku menatap ke dalam mata kelamnya. Bukankah sakit tak hanya tersebab laku, tapi juga kata, pikirku. Setelah ini, b