Ara terbangun di pagi hari, hidungnya mencium aroma enak menyeruak menggugah selera, ia melirik ke samping tidak mendapati Fery.
“Pasti dia lagi masak,” gumamnya seraya mengulum senyum.Setelah mengenakan cardigan yang diambil dari lemari, Ara pun turun ke lantai bawah menuju area dapur.“Emhh, imutnya suamiku pake celemek kayak gini.” Ara memeluk Fery yang tengah sibuk mempersiapkan makanan.“Udah bangun? Cuci muka belum, nih?” Fery sejenak menghentikan aktivitasnya. Ia memandang ke samping tepat pada wajah Ara yang menggantung di bahu kekarnya.“Belum, mau liat kamu dulu.” Ara makin erat memeluk Fery. Entah mengapa, pagi itu Ara terasa ingin terus bermanja-manja pada Fery.“Eiihh jorok, cuci muka dulu, gih! Nanti kita sarapan bareng. Ayo cepetan. Ini udah selesai kok.”“Hmm, iya sebentar.” Ara masih enggan melepas pelukan.Hangat terasa pada tubuhnya membuat Ara nyaman dan masih ingin memeluk Fery, bahkan sesekali Ara menghirup aroma khas suaminya itu.“Emh, ayo. Tadi malam, kan sudah mas kelonin sampe subuh, masa enggak kenyang.”“Emangnya makanan, kenyang?”“Masa belum puas?” ralat Fery.Fery tersenyum melihat Ara yang kini bibirnya mengerucut.“Idih, ngambek,” ucap Fery seraya memberikan satu kecupan di pucuk kepalanya.“Nggak!”“Yang bener?” tanya Fery seraya mendaratkan kecupan bertubi-tubi pada Ara hingga wanita itu melepas pelukannya.“Ihh! Mas ini.”“Apa?”“Enggak!” Ara yang tersipu malu beranjak menuju kamar mandi yang terletak di lantai bawah dekat dapur.Ia sesekali melirik Fery sambul melangkahkan kakinya yang jenjang terbalut baju piyama berwarna merah muda.Blughhh! Suara pintu tertutup. Ara bercermin seusai membasuh muka dengan air, kesegaran begitu terasa di kulit wajahnya.‘Bisa aja, deh, Mas Fery bikin aku seneng,’ batinnya.Ara tersenyum merekah. Tubuh idealnya tanpa sadar menari-nari seolah gemercik air yang keluar dari wastafel adalah alunan musik yang terdengar mengalun ber-irama. Imajinasinya bertambah luas ketika indera penglihatannya melihat seolah ada tanaman timbul di dinding, batangnya menjalar kemana-mana ditumbuhi dedaunan rimbun, bunga-bunga tampak bermekaran dengan berbagai variasi warna.“Indahnya ... seindah perasaan bahagia yang sekarang sedang kuasakan.” Ara tertawa kecil, tampak wajahnya berseri merasakan kebahagiaan yang datang menyerbu hati.“Ara? Kamu tidur lagi?” Fery berteriak di luar pintu kamar mandi.Seekejap, imajinasinya hilang. Ia menyadari tindakan bodohnya itu, lalu merasa gemas sendiri dengan memukul-mukul kepalanya pelan sembari masih tersenyum.Setelah bisa mengendalikan diri, Ara mengambil handuk yang terlipat di laci pojok kamar mandi dan mengeringkan wajahnya yang basah kemudian keluar perlahan.“Dikira tidur lagi di kamar mandi.”“Nggak, lah. Dasar.”Fery mengeluarkan senyum termanisnya, tangan kiri menarik perlahan membuat Ara duduk di sampingnya untuk segera mulai sarapan.“Wahh, kelihatannya enak,” ujar Ara sembari mencium aroma hidangan yang sudah tersaji.Beberapa lembar roti tawar berwarna kecoklatan yang sudah melalui proses pembakaran beberapa menit tersebut begitu wangi tercium, Ara mengambilnya. Di atasnya diolesi selai buah yang telah disiapkan di meja. Sarapan yang simpel, tetapi menyehatkan.Mereka berdua tampak menikmati sarapan sederhana tersebut. Setelah selesai, Fery pun pamit pergi untuk keluar sebentar akan pergi ke rumah orangtuanya. Ia di mintai untuk mengantar adiknya entah kemana? Jelasnya Fery sudah mengantongi izin dari Ara.“Tadinya mau ngajakin kamu jalan, tapi si Vina malah mohon-mohon minta anterin, ngerepotin! Padahal, bisa, kan dia berangkat sendiri,” Fery ketus sendiri.“Enggak apa-apa, Mas. Namanya juga adik, dia pasti membutuhkan kakaknya, emang mau kemana sih?” “Enggak tau, nngak jelas dia”“Ya udah cepet, gih berangkat.”“Iya, Sayang. Mas berangkat sekarang, ya.”Ara mengangguk tanda setuju, ia mengiringi keberangkatan Fery dengan senyum dan lambaian tangan.“Hati-hati!” Ara berteriak memperingati.“Oke, Say,” jawabnya kemudian melaju.Ceklik, pintu pun kembali ditutup, Ara masih tersenyum mengingat perlakuan suaminya yang selalu saja hangat padanya. Ia bergegas mengambil alat pembersih debu otomatis dan menyalakannya.Terlihat benda bulat tersebut berjalan sendiri mengelilingi setiap sudut rumah, kadang benda tersebut sesekali berputar dan berbalik arah sendiri. Pekerjaan rumah terasa tak terlalu berat berkat lahirnya berbagai alat canggih yang mempermudah pekerjaan rumah.Seperti biasa, setiap hari Ara selalu melakukan rutinitas yang sama, yaitu membersihkan rumah, mencuci pakaian, mencuci piring dan sebagainya.Ia tak memiliki pekerjaan lain selain beraktivitas seperti para istri lain yang tak memiliki pekerjaan. Mungkin sesekali Ara keluar hanya untuk belanja kebutuhannya dan juga pergi ke acara arisan. Tak ada yang spesial kecuali jika Fery mengajak keluar.Kelelahan, Ara pun menghempaskan tubuh ke sofa. Ia menggeliat sejenak melepaskan beban yang terasa di tulang punggung. Namun, rasa nyaman itu tak berlangsung lama, ketika tiba-tiba suara bel berbunyi tanda ada tamu.Dengan malas, Ara berjalan perlahan menghampiri arah pintu. Ketika dibuka, Ia tak mendapati ada siapapun.“Apa cuma khayalanku saja? Tadi kayak denger bel bunyi,” gumam Ara sambil celingukan.Ia pun kembali menutup pintu, saat kakinya melangkah, terlihat di bawah daun pintu ada sesuatu tertangkap mata. Itu adalah sebuah kotak kayu berukuran kecil, tetapi terasa besar ketika Ara mengambil dengan tangannya.Sebelum benar-benar Ara buka, tangannya meraba-raba permukaan kotak itu, sekaligus meneliti, siapa tahu ada pengirimnya. Sayang, apa yang dia cari ternyata tak juga ditemukan.“Siapa, sih yang naro ini? Isinya apa, ya kok bikin penasaran,” Tanpa rasa ragu, Ara membuka kotak berbentuk segi empat tersebut dengan hati-hati.Matanya terbelalak kaget usai melihat isi dari kotak itu. Refleks Ara melemparkan benda tersebut ke teras rumah dengan pekikan suara yang diredam dengan kedua tangan.Kotak itu terbanting, mengeluarkan seluruh isinya yang membuat Ara syok berat. Membuat jantungnya bekerja dua kali lipat.Percaya tak percaya, tampak sebuah kain putih kumal berlumuran pewarna merah segar di lantai teras beserta kelopak bunga-bunga melati yang sebagian masih utuh.Merah itu bukan darah, hanya pewarna saja. Namun tetap membuat Ara takut.Bau kembang melati itu terbawa angin, masuk ke indera penciuman Ara.“A-apa itu?” gumamnya dengan suara tercekat seolah kerongkongannya ada yang menghalangi.Ara mundur selangkah, berpegangan pada daun pintu untuk menyeimbangkan badan yang terasa lebih berat pada kaki.“Siapa yang berani main-main padaku?!” Ara mengepal tangan kesal. Ia berpikir siapapun yang melakukan itu sebagai candaan, sangatlah tidak lucu.Namun, sebagian dari rasa takut yang ada dalam dirinya keluar, membuat Ara merasa sedang diancam seseorang.Usai menenangkan diri, Ara celingukan kanan kiri, siapa tahu ada orang jahil yang memang sengaja ingin menakut-nakuti. Sayangnya ia tak menemukan siapapun.Dari pada merinding sendiri, ia memilih kembali masuk dengan perasaan sedikit agak kacau. Ara mengipas diri dengan kedua tangan. Sesekali menengok ke belakang.Cemas. Buru-buru ia mengambil ponsel dan segera menggubungi suami tercintanya. Meski mungkin hanya candaan belaka dari tetangga iseng, Ara tetap merasa takut.“Halo, Sayang.” Suara Fery di ujung telepon.“Mas, Mas. Di rumah ... ada orang iseng kirim-kirim sesuatu yang serem. Aku takut,” adu Ara. Ia mondar-mandir sekarang.“Yang serem apa, Ra?”Ara sendiri bingung harus mulai dari mana. Akan tetapi, ia tetap berusaha menjelaskan kronologi kejadian dari awal.***Selagi Ara mengadukan apa yang ia alami, tak jauh dari rumahnya, Ria memiringkan senyum di teras rumah sambil minum jus.“Aku akan terus ganggu kamu sampai gila, dengan begitu Fery akan kembali padaku.”Tatapan Ria menajam ke arah rumah Ara dan Fery. Tak lama dia tertawa keras.Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah