Ara menekuk lutut di sofa ruang tamu. Ia tak berani membuka pintu karena takut dengan kiriman menyeramkan itu.
Tak lama terdengar deru mobil di halaman. Itu pasti Fery! Ara pun berdiri, melangkah cepat menuju jendela. Saat mengintip di celah gorden, ternyata iya itu adalah mobil suaminya.“Mas Fery, akhirnya kamu pulang juga,” gumamnya pelan. Bibir Ara semringah, hatinya merasa lega.Setidaknya ketakutan itu berkurang sekarang.“Sayang.” Fery turun dari mobil dengan Vina terburu-buru.Mata mereka langsung tertuju pada kotak di teras, juga kelopak bunga yang berserakan di lantai tak jauh dari kain kumal, persis seperti apa yang Ara laporkan.“Mas!” Ara membuka pintu dan menunjuk ke lantai.Vina menganga di tempat usai melihatnya dengan mata kepala sendiri.“Ini cuma orang jahil aja, Ra. Lihat, deh. Yang kata kamu darah, bukan kok. Cuma pewarna aja,” jelas Fery sambil meraih kain itu.Bibirnya tersenyum simpul. Sedangkan Ara memiringkan bibir, merasa jijik melihat suaminya main pegang-pegang benda itu.“Mas, jorok, ih! Jangan dipegang!”“Ah, kamu ini. Jorok apa, sih? Cuma kain biasa,” ujar Fery nakal melemparkan pada Vina.“Ih! Mas Fery jahil!” Vina berlari, bersembunyi di balik punggung Ara.Namun, wanita itu juga sama takutnya. Sementara Fery hanya tertawa lepas.“Masuk, ayo. Jangan berpikir aneh-aneh, ya. Enggak bakal apa-apa. Itu bukan apa-apa,” saran Fery seraya mendorong dua perempuan cantik itu masuk ke dalam rumah.Vina mendesis kesal, masih dongkol dengan kejahilan sang kakak. Selain itu, ia juga masih bad mood karena harus pulang lebih awal, padahal kebutuhan yang dia perlu belum terbeli semua. Namun, dia bisa apa? Tak mungkin marah-marah pada kakak iparnya.‘Ya, sudahlah. Bisa pergi lagi lain kali. Nanti ajak mama aja biar enggak gangguin mas-ku sama istrinya,’ batin Vina berusaha ikhlas.***Magrib hampir tiba, tetapi Ara sendirian di rumah. Fery sedang mengantar Vina sampai depan kompleks untuk mencegat taksi.“Mas, kamu udah pulang?” tanya Ara sedikit berteriak usai mendengar pintu utama seperti ditutup keras.Ara sedang berada di area dapur saat ini.“Mas?” ulangnya seraya mematikan air keran. Ara mulai merinding setelah tak terdengar sahutan. Ia mengintip sedikit dari balik tembok.Tak ada siapa pun. Ia benar-benar merinding.Teringat kembali tentang kiriman kain merah serta kembang melati, Ara bergidik ngeri. Jangan-jangan ... yah, Ara berpikir sempit saat ketakutan menyerang.Takut-takut Ara memberanikan diri memeriksa. Alangkah kagetnya saat ia melihat ada boneka jerami tergeletak tak jauh dari sofa.Ara menjerit kencang ketakutan.“Ara! Ara!” Fery tiba tepat waktu. Lelaki itu merangkul isttinya yang kini gemetaran sembari manahan tangis.“M-Mas!” Air mata Ara tumpah. Ia memeluk suaminya erat. “Mas, aku takut,” sambungnya tak berani membuka mata.Fery mengusap punggung Ara menenangkan. Sementara bola matanya tertuju pada boneka jerami berbungkus kain putih menyerupai pocong itu dengan marah.‘Siapa yang berani main-main begini!’ batinnya.“Ayo Sayang kita ke kamar aja, nanti itu mas bereskan.” Ara dipapah naik ke lantai atas. Ia masih mencoba menenangkan istrinya yang histeris.“Mas, apa kubilang. Itu tuh bukan kerjaan orang jahil, deh. Orang ada niat buruk, tuh, kirim begitu,” ucap Ara serius. Saat ini ia sedang duduk di tepi ranjang saling berhadapan dengan Fery.Percaya tak percaya Fery tetap berusaha tak mengindahkan apa yang istrinya katakan. Meski memang agak menyeramkan, ia tetap menepis semua itu.“Tenang, Sayang. Mas yakin itu bukan hal serius. Biasa, sepertinya cuma anak-anak remaja yang jahil.”“Mas, kamu gimana sih? Jahil macam apa yang berani masuk rumah, terus naro-naro barang begituan?” Ia mendorong tubuh Fery gemas. Bagaimana mungkin suaminya bisa sesantai ini, padahal di rumahnya ada teror.Fery mengusap pucuk kepala istrinya lembut. Lalu, menyungging senyum terbaiknya.“Berpikir positif aja, ya, Ra. Kalau kamunya takut begini, nanti yang jahil itu kesenengan.”“Tapi, Mas—”“Semua akan mas urus. Kamu istirahat saja dulu, ya.” Fery mengecup kening Ara sebelum akhirnya ia beranjak pergi.Ara hanya mengerucutkan bibir. Ia meringsut naik ke atas ranjang.***Fery mengambil boneka jerami itu dengan ekspresi jengkel. Dahinya berkerut kala terlihat suatu tulisan berwarna merah di bawah boneka.“Tinggalkan Fery jika kamu ingin hidup tenang.”Fery membacakannya pelan.“Kurang ajar. Siapa yang berani mengancam Ara ....”Lelaki itu berpikir keras, dan entah mengapa sekarang terpikir Ria. Ia curiga terhadap sang mantan.“Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Aku yakin pasti dia, kurang ajar!”Tanpa banyak bicara lagi, Fery segera menghapus ancaman tertulis itu dengan alat pel lantai yang diambil dari dapur dekat gudang.Fery meraih boneka jerami itu, sedikit meremasnya kuat dan berjalan ke luar rumah.Tanpa pamit, lelaki itu pergi menuju rumah Ria.Bel ditekan oleh Fery saat sampai di depan teras. Tak menunggu lama, pintu pun dibuka.“Ow, hay!” Fery disambut dengan senyum lebar, serta rangkulan tangan.Sontak saja Fery melepas rangkulan itu secara kasar, kemudian menyerahkan boneka jerami itu kepada Ria.“Astaga! Apa-apaan kamu, Fer?!” Ria langsung melemparkan boneka tersebut ke lantai.“Alah, udahlah kamu enggak perlu pura-pura kaget begitu. Ini semua perbuatan kamu, kan? Kamu naro ini buat nakut-nakutin istriku, bahkan mengancam dia!” tuding Fery dengan raut marah.Ria mengangkat kedua tangannya hingga setengah dada. Menggeleng polos tak mau mengaku.“Kamu jangan asal nuduh, dong Fer. Gila banget kirim-kirim gituan ke rumah kamu. Ngapain coba,” sangkalnya sambil menendang boneka itu hingga jatuh dari teras.“Ya siapa tahu.”“Mana buktinya? Jangan asal nuduh, ya, kamu! Jangan mentang-mentang aku datang mau minta maaf ke kamu terus cari kambing hitam karena momennya pas.”Fery bungkam pada akhirnya, sebab ia tak bisa membuktikan bahwa Ria lah pelakunya. Ria berpangku tangan, tersenyum miring merasa jika ia menang kali ini.“Lain kali kalau mau nuduh itu bawa bukti. Kalau enggak, kamu dianggap fitnah, Sayang. Dari pada aku laporkan polisi, lebih baik kamu pulang dan jangan main tuduh lagi. Oh, atau kamu sengaja bawa itu sebagai alasan buat main ke rumah aku? Wah, kalau begitu ayo masuk,” ujar Ria penuh percaya diri. Rautnya menunjukkan betapa ia puas hati.Fery mendesis kesal. Ia tahu telah salah datang tanpa membawa bukti.“Jangan ngada-ngada. Jangan mengharapkan apa-apa dariku. Terlepas dari benar atau tidaknya, ada Tuhan yang tahu. Tapi satu pesan dariku, jangan pernah berani mencoba mengganggu istriku. Mengerti!”Fery yang kemarahannya sudah naik hingga ubun-ubun pun akhirnya hanya bisa meluapkan amarah dengan mengomel saja. Lantas, ia kembali pulang untuk menemui istri tercintanya yang kini masih ketakutan.Semua yang telah terjadi, seakan menjadi buih lautan yang terombang-ambing sampai akhirnya hilang tak berjejak.Cinta, kasih sayang, penyatuan dua manusia yang berakhir saling berpisah, kemudiaan berjarak dan saling benci karena sebuah kesalah pahaman, akhirnya bisa kembali bicara empat mata dengan waktu yang cukup panjang. Meluruskan segala hal yang salah.Ara tersedu hingga menghabiskan satu pack tisu kecil di tangannya. Setengah hatinya tak percaya karena dia telah ditipu oleh mantan mertua dan adik iparnya, sehingga dia harus menjalani kepahitan selama bertahun-tahun lamanya, setengah hati lainnya masih saja marah karena mengingat tentang perselingkuhannya dengan Ria dulu.Bagian itu, Fery tak dapat membela diri. Sebab namanya memang sudah rusak berkat wanita setan itu. Namun, dia masih berharap Ara akan memaafkan.Dia juga menyesal mengapa semudah itu percaya dengan kata ibunya yang mengatakan Ara sudah menikah dengan Rangga, sehingga dia pun menjadi setengah gila waktu itu. “Ra
“P-Pak Fery?”Mirna begitu terkejut sampai dia hampir saja menjatuhkan ponselnya dari tangan. Beruntung hal buruk itu tak sampai terjadi.“Tantee! Malah ninggalin, sih!” Dinda memburunya, memeluknya, tapi dengan gaya kesal. Sesekali memukul perut Mirna pelan.Ceritanya marah.Namun, Mirna masih mematung sempurna tanpa melepas pandangannya dari Fery. Pun dengan lelaki itu sendiri.“Pak Fery? Ini bener-bener Bapak, kan?” Sambil memangku Dinda agar tak tertinggal lagi karena kecerobohannya, ia mendekat pada Fery yang juga melangkah ke arahnya.Namun, Fery menatapnya dengan berjuta rasa yang menggebu-gebu. Sesekali menatap Dinda dengan berbagai praduga yang tercipta begitu saja dalam rongga otaknya.“Katakan padaku, Mir. Dinda anak siapa?”Dan, yah ... begini jadinya jika seorang Fery sudah curiga berat. Setelah mendengar Dinda berkata jika dia bukan anak kandung Rangga, dia akan langsung mencari jawabannya tak peduli meski tak langsung pada Ara.Seketika mata Mirna terbelalak besar. Dia
Yang Maha Kuasa telah mentakdirkan agar mereka kembali berjumpa. Lantas, sampai kapan, kah, kesalahpahaman antar keduanya terus mengungkung mereka? Kapan sekiranya dua hati yang lukanya tak kering-kering itu sembuh?Entah, tak ada yang tahu. Namun, satu yang pasti, meski tertanam kecewa dan benci atas apa yang terjadi di masa lalu, tetapi rasa rindu juga tak luput menggedor-gedor pintu hati mereka.Ingin keluar, ingin lepas. Sayangnya sesuatu yang bernama gengsi, egois, juga amarah mencegahnya. Rasa yang disebut rindu itu dirantai kuat-kuat, lalu dikubur ke dalam hati terdalamnya.Hasil pertemuan itu tak menjadi apa-apa kecuali menjadi luka yang membuat hati masing-masing berdarah.***Fery terlampau kecewa, ternyata wanita yang sepalu membakar semangatnya untuk kembali pada kondisi semula itu ternyata sudah menikahi laki-laki lain. Bahkan mereka sudah memiliki keturunan.“Sepertinya aku memang terlahir tak normal, tidak sehat, mandul,” gumam Fery frustrasi. Isi kepalanya kini dipenuh
Benarkah yang dilihatnya adalah Fery? Ara terdiam menatap lelaki yang perlahan mendekatinya. Tertegun bahkan hampir tak mengedipkan mata.“Ra, itu kamu?”Tak salah lagi. Lelaki itu memanglah Fery. Sang mantan suami yang kini tampak lebih kurus. Sehingga Ara sedikit syok melihatnya.Sekian tahun berpisah, dan tak pernah saling berhubungan, lalu tiba-tiba bertemu tanpa sengaja begini membuat keduanya merasa sedang bermimpi.Perlahan mata ara berkaca kala Fery telah sampai di hadapanya dengan jarak amat dekat.Lelaki itu sesungguhnya enggan mendekat, tetapi kakinya terus melangkah sejak melihat wajah Ara di tempa ia berdiri tadi. Tanpa bisa diperintah diam, ia terus mendekat.Mungkin rasa rindu yang menggunduk dalam dadanya menjadi sebuah dorongan kuat baginya untuk mendekati Ara.“M-Mas Fery kah?” tanya Ara terbata. Dengan suara paling pelan, tetapi untung lelaki itu masih paham.Bibir Fery tersenyum, kepalanya mengangguk kikuk.‘Sial. Kenapa aku bersikap begini ketika harus berhadapan
Waktu terus bergulir tanpa terasa. Fery mulai bosan tinggal di kamar terus. Semakin lama mendekam di dalam, semakin terbayang wajah sang mantan.“Sepertinya aku harus cari angin. Kalau tidak, bisa mati karena gila memikirkan Ara,” monolog Fery seraya bangkit dari posisi tidurannya.Fery berkaca sebelum benar-benar pergi. Di situ ia menghela napas berat, merasa sedih melihat diri yang masih terlihat kurus. Ya, meski tidak separah sebelumnya, tetapi ia sedih saja.Berjalan keluar, dia disambut oleh tatapan serius dari Vina yang kini sedang selonjoran di atas sofa sambil menonton siaran televisi. Namun Fery cuek saja dan terus melangkah.“Mau ke mana? Ini udah mau magrib, loh Mas.” Gadis muda itu tak segan menegur kala melihat kakaknya berjalan menuju pintu utama.“Sambil nunggu mama balik dan masak, mau keliling-keliling dulu di sekitar kota ini. Sumpek di kamar terus,” jawabnya sambil menarik gagang pintu. Kemudian Fery hilang dari pandangan Vina sebelum dia menyahuti perkataannya.“Hi
Tak akan pernah ada yang tahu tentang takdir akan berjalan bagaimana. Beratkah? Muluskah? Semua hanya Tuhan yang tahu.Mungkin sebagian dari orang menganggapnya sebagai kalimat belaka tanpa arti, tetapi nyatanya takdir memang ada di dunia ini.Takdir yang tak bisa dihindari.Seperti pertemuan kembali Ara dan Fery. Dua manusia yang pernah disatukan dalam ikatan pernikahan, tetapi terpaksa kandas hanya karena sebuah kesalahpahaman dan juga adanya hal lain yang memberatkan sebelah pihak.Sehingga Fery memutuskan untuk menceraikannya lewat surat.Dn dia menyesalinya sepanjang hidup setelah berhasil melewati masa-masa terberatnya dalm hidup.Lantas, akankah semua kesalahpahaman itu akan berakhir?Tak ada yang tahu. Kembali lagi lepada takdir yang sudah menggaris di tangan. Garis yang hanya bisa digambar oleh Sang Pencipta.***Ara masih termenung di meja kerja. Masih mengingat rupa seseotang yang mirip dengan mantan suaminya, Fery.‘Dia mirip sekali. Apakah itu dia? Sungguh?’ Entah untuk k
Saat itu bulan Agustus, waktu di mana Fery dinyatakan pulih hampir seratus persen. Dia sudah bisa kembali menggerakkan seluruh tubuhnya dan mampu bicara, meski sesekali ia merasakan kondisi mati rasa dan juga belum lancar bicara, tetapi itu tak mematahkan semangatnya untuk tetap berusaha kembali pada kondisi normalnya.Hari demi hari dilalui dengan suka cita dan penuh air mata. Fery mencoba melewati masa itu, mencoba membunuh rasa sakit yang terasa tiada ujung. Hingga akhirnya Fery bisa benar-benar kembali pada kondisi normalnya.Dia banyak mengucap syukur dan terima kasihnya yang tak terhingga kepada orang tua serta adiknya yang tetap setia menjaga dan merawat tanpa lelah. Meski sejatinya ia tahu bahwa ada rasa jengah tergaris di wajah mereka di satu waktu.Untuk sementara Fery serta keluarga tinggal di Inggris sebab tak punya pilihan lain setelah habiskan aset dan harta benda demi kesembuhannya.Kondisi ekonomi mereka begitu buruk saat itu, hingga harus merasakan tidur di jalanan us
Ara termenung di jam istirahat. Membuka lembar demi lembar buku album foto Dinda dari ketika dia masih bayi merah hingga kini sudah menjadi gadis mungil yang cantik.Sekarang Dinda tengah tertidur di sofa, di kantor Ara. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dibawa bekerja, sebab di rumah tak ada yang menjaga. Sehingga anak itu tumbuh menjadi gadis baik yang penuh pengertian dan mandiri.Bahkan Dinda selalu menjadi penyemangatnya di saat pekerjaan membuat pening dan memusingkan.“Sebanyak apa pun aku menepis, kamu tetap mirip ayah kamu, Din.” Sofia bergumam sedih.Seminggu lagi dia akan pulang ke rumah untuk merundingkan pernikahannya dengan Rangga, tetapi sejak memutuskan itu, pikirannya kembali dikecoh oleh bayang-bayang Fery sang mantan suami.Entah mengapa, Ara pun tak mengerti.Meski benci mengental mendarah daging, rasa itu tak bisa dibohongi. Nyatanya rindu masih ada untuknya. Rindu yang ada bersamaan dengan benci di hati.“Gimana sekarang dia, ya? Sudah punya anak belum, ya dengan is
Tak peduli bau nasi padang menguar dari mulut, Rangga melamar Ara dengan percaya dirinya. Di sana. Di dalam mobil yang masih diam di tempat.Mata Ara sudah berkaca-kaca. Ingin menangis. Namun, mati-matian menahan sekuatnya. Dia bagai baru saja tersengat oleh aliran listrik. Tak bisa berkata, atau bergerak.“Ra? Kok, malah bengong, sih?” tanya Rangga berhasil mengusir kekagetan Ara.Saat itu juga, ia tersenyum.“Mas serius udah siap nikahin aku?”Kontan Rangga mengangguk.“Serius, dong. Aku sudah memikirkannya dengan matang. Kurasa ini sudah waktunya. Jadi gimana, kamu mau apa engga?” ulangnya bertanya. Rangga tak sabar ingin mendengar jawaban Ara, yakin jika wanita itu akan menerima lamarannya.“Ya mau lah Mas. Aku sudah menunggu begitu lama,” ucap Ara seraya menjatuhkan air mata. Tak tahan lagi. Terharu.Rangga tercenung diam.‘Menunggu lama?’“Kamu menunggu, Ra?” Pertanyaannya bersambut satu anggukkan. Bagi Ara itu adalah kesialan karena bisa-bisanya keceplosan. Kini pipinya semerah