Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan.
Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.” Hanya tujuh kata. Tapi cukup untuk membuat segalanya berakhir. Raka sempat menunggu—sehari, dua hari, seminggu, bahkan berbulan-bulan. Ia berharap Nira akan menjelaskan, atau sekadar muncul dengan alasan yang bisa ia mengerti. Tapi tidak ada apa pun. Yang tersisa hanya pertanyaan dan rasa kecewa yang tumbuh menjadi dinding es di dalam dirinya. Kini, perempuan itu kembali. Bukan sebagai kekasih, bukan sebagai masa lalu, tapi sebagai bawahan di perusahaannya sendiri. Ironi yang pahit. Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya. “Masuk,” ucapnya datar. Reza, sekretaris pribadinya, melangkah masuk sambil membawa beberapa dokumen. “Pak, ini laporan proyek desain yang baru. Termasuk proposal dari timnya Bu Nira.” Nama itu membuat jantungnya berdegup tak karuan, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Letakkan saja di meja,” katanya dingin. Reza ragu sejenak sebelum menuruti perintah. “Oh, dan Pak… karyawan lain bilang Bu Nira cepat menyesuaikan diri. Orangnya ramah, mudah diajak kerja sama.” Raka mengangguk kecil, tapi senyum miring terukir di wajahnya. “Ya. Dia memang selalu begitu.” Nada suaranya datar, tapi di dalam hati, kata “ramah” itu terasa seperti ejekan. Ramah — tapi mampu meninggalkan tanpa sepatah kata pun. Setelah Reza keluar, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detik jam dan dengung pendingin udara yang terdengar. Raka membuka berkas di depannya. Pandangannya jatuh pada tulisan tangan kecil di pojok bawah halaman pertama — tinta biru, sedikit miring ke kiri. Ia membeku sejenak. Dulu, Nira selalu menulis catatan-catatan kecil seperti itu. “Catatan tambahan, jangan marah ya,” begitu katanya dulu setiap kali memberikan laporan. Raka bahkan dulu menyimpannya diam-diam di laci meja kerjanya. Entah kenapa, sekadar melihat tulisan itu saja sudah membuat dadanya nyeri. Tangannya mengepal. “Kenapa kamu balik, Nira?” gumamnya lirih. Seolah ada bagian dari dirinya yang belum siap menghadapi semua ini. Ia sudah terlalu lama belajar hidup dengan luka itu. Sekarang luka itu berdiri lagi di hadapannya, tersenyum seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Ia menatap layar, dan dadanya langsung mengeras. Sebuah pesan baru. Dari nama yang sudah lama ia hapus, tapi ternyata nomor itu masih hafal oleh hatinya. Nira: Raka, kita perlu bicara. Bukan tentang pekerjaan. Tentang masa lalu. Ia terpaku. Dunia seolah berhenti sejenak. Lima tahun ia menunggu kalimat seperti itu. Tapi ketika akhirnya datang, rasanya bukan lega—melainkan takut. Takut kebenaran yang akan ia dengar tidak seperti yang ia harapkan. Raka menatap bayangannya di kaca jendela. Pria berjas rapi, wajah dingin, tatapan tegas—semua yang dilihat orang hanyalah citra yang ia bangun untuk menutupi betapa rapuhnya ia di dalam. Karena di balik semua kesuksesan itu, masih ada seorang lelaki yang dulu mencintai seseorang lebih dari dirinya sendiri. Dan sekarang, orang itu kembali. Membawa masa lalu… dan mungkin, juga kebenaran yang selama ini ia hindari. Malamnya, setelah semua karyawan pulang, Raka masih duduk di ruangannya. Lampu kota berkelip di luar jendela, dan ponselnya masih tergeletak di meja, menampilkan pesan itu yang belum ia balas. Tangannya sempat menyentuh layar, tapi urung. Ia tak tahu harus menulis apa. Bagian dari dirinya ingin bertemu Nira dan menuntut jawaban. Tapi bagian lain—bagian yang lebih dalam—takut kalau alasan sebenarnya justru akan membuatnya membenci perempuan yang dulu begitu ia cintai. Ia meneguk napas dalam, lalu memejamkan mata. “Mungkin besok,” bisiknya pada dirinya sendiri. Tapi di dasar hatinya, ia tahu: begitu Nira muncul kembali, tak ada lagi “besok” yang tenang.Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me
Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing
Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai
Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp
Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.