Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

Share

BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-08 00:07:33

Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan.

Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk.

Lima tahun.

Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira.

Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah.

Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang.

Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi.

Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya:

“Maaf, Rak. Aku harus pergi.”

Hanya tujuh kata. Tapi cukup untuk membuat segalanya berakhir.

Raka sempat menunggu—sehari, dua hari, seminggu, bahkan berbulan-bulan. Ia berharap Nira akan menjelaskan, atau sekadar muncul dengan alasan yang bisa ia mengerti. Tapi tidak ada apa pun. Yang tersisa hanya pertanyaan dan rasa kecewa yang tumbuh menjadi dinding es di dalam dirinya.

Kini, perempuan itu kembali. Bukan sebagai kekasih, bukan sebagai masa lalu, tapi sebagai bawahan di perusahaannya sendiri. Ironi yang pahit.

Ketukan pelan di pintu memecah lamunannya.

“Masuk,” ucapnya datar.

Reza, sekretaris pribadinya, melangkah masuk sambil membawa beberapa dokumen. “Pak, ini laporan proyek desain yang baru. Termasuk proposal dari timnya Bu Nira.”

Nama itu membuat jantungnya berdegup tak karuan, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. “Letakkan saja di meja,” katanya dingin.

Reza ragu sejenak sebelum menuruti perintah. “Oh, dan Pak… karyawan lain bilang Bu Nira cepat menyesuaikan diri. Orangnya ramah, mudah diajak kerja sama.”

Raka mengangguk kecil, tapi senyum miring terukir di wajahnya. “Ya. Dia memang selalu begitu.”

Nada suaranya datar, tapi di dalam hati, kata “ramah” itu terasa seperti ejekan.

Ramah — tapi mampu meninggalkan tanpa sepatah kata pun.

Setelah Reza keluar, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detik jam dan dengung pendingin udara yang terdengar.

Raka membuka berkas di depannya. Pandangannya jatuh pada tulisan tangan kecil di pojok bawah halaman pertama — tinta biru, sedikit miring ke kiri.

Ia membeku sejenak.

Dulu, Nira selalu menulis catatan-catatan kecil seperti itu. “Catatan tambahan, jangan marah ya,” begitu katanya dulu setiap kali memberikan laporan. Raka bahkan dulu menyimpannya diam-diam di laci meja kerjanya. Entah kenapa, sekadar melihat tulisan itu saja sudah membuat dadanya nyeri.

Tangannya mengepal.

“Kenapa kamu balik, Nira?” gumamnya lirih.

Seolah ada bagian dari dirinya yang belum siap menghadapi semua ini. Ia sudah terlalu lama belajar hidup dengan luka itu. Sekarang luka itu berdiri lagi di hadapannya, tersenyum seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja.

Ia menatap layar, dan dadanya langsung mengeras.

Sebuah pesan baru.

Dari nama yang sudah lama ia hapus, tapi ternyata nomor itu masih hafal oleh hatinya.

Nira:

Raka, kita perlu bicara. Bukan tentang pekerjaan. Tentang masa lalu.

Ia terpaku. Dunia seolah berhenti sejenak.

Lima tahun ia menunggu kalimat seperti itu. Tapi ketika akhirnya datang, rasanya bukan lega—melainkan takut.

Takut kebenaran yang akan ia dengar tidak seperti yang ia harapkan.

Raka menatap bayangannya di kaca jendela.

Pria berjas rapi, wajah dingin, tatapan tegas—semua yang dilihat orang hanyalah citra yang ia bangun untuk menutupi betapa rapuhnya ia di dalam.

Karena di balik semua kesuksesan itu, masih ada seorang lelaki yang dulu mencintai seseorang lebih dari dirinya sendiri.

Dan sekarang, orang itu kembali.

Membawa masa lalu… dan mungkin, juga kebenaran yang selama ini ia hindari.

Malamnya, setelah semua karyawan pulang, Raka masih duduk di ruangannya.

Lampu kota berkelip di luar jendela, dan ponselnya masih tergeletak di meja, menampilkan pesan itu yang belum ia balas.

Tangannya sempat menyentuh layar, tapi urung. Ia tak tahu harus menulis apa.

Bagian dari dirinya ingin bertemu Nira dan menuntut jawaban. Tapi bagian lain—bagian yang lebih dalam—takut kalau alasan sebenarnya justru akan membuatnya membenci perempuan yang dulu begitu ia cintai.

Ia meneguk napas dalam, lalu memejamkan mata.

“Mungkin besok,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Tapi di dasar hatinya, ia tahu: begitu Nira muncul kembali, tak ada lagi “besok” yang tenang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 28 – Fragmen yang Hilang

    Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   Bab 27 — Cermin Ketiga

    Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 26 — SUARA DARI BALIK GELAP

    Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 25 — Bayangan yang Tak Pernah Pergi

    Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 24 — BAYANGAN DI BALIK KACA

    Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 23 — BAYANGAN YANG TAK PERNAH PERGI

    Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status