Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 3 — Di ANTARA TATAPAN DAN KENANGAN (POV Nira)

Share

BAB 3 — Di ANTARA TATAPAN DAN KENANGAN (POV Nira)

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-08 00:03:19

Pagi itu, suasana kantor terasa lebih dingin dari biasanya.

Entah karena pendingin ruangan terlalu kuat, atau karena sosok pria yang duduk di ruangan sebelah kembali mengisi pikirannya sejak subuh tadi.

Nira menatap pantulan dirinya di layar komputer — rambutnya sudah ia ikat rapi, kemeja putih disetrika sempurna, tapi wajahnya tetap menampakkan lelah yang tak bisa ia sembunyikan.

Ia belum tidur semalam. Setiap kali memejamkan mata, wajah Raka muncul — dengan tatapan tajam yang menelanjangi setiap lapisan perasaannya.

“Kenapa harus dia lagi…” bisiknya lirih.

Ia tahu dunia ini kecil, tapi tidak sekecil itu.

Ia tak pernah membayangkan kalau orang yang paling ingin ia hindari justru menjadi atasan langsungnya.

“Nira, rapat jam sepuluh, ya. Di ruang meeting besar.”

Tia, rekan kerjanya, menyapa ceria sambil menumpuk beberapa berkas. “Kayaknya hari ini semua kepala tim bakal hadir.”

Nira mengangguk, berusaha tersenyum. “Oke, makasih ya.”

“Dan… Pak Raka juga turun langsung, katanya ada proyek baru.”

Mendengar nama itu, perut Nira terasa mual. Ia meneguk air putih cepat-cepat, berharap bisa menenangkan diri. Tapi jantungnya malah berdetak lebih cepat.

Sudah semalam penuh ia berjanji untuk bersikap profesional. Tapi entah kenapa, setiap kali nama itu disebut, janjinya terasa rapuh.

Ruang rapat besar di lantai dua belas sudah penuh.

Dinding kaca memantulkan cahaya matahari pagi, membuat ruangan tampak hangat—meski suasananya sama sekali tidak.

Begitu Raka masuk, semua orang langsung berdiri. Aura yang dibawanya tegas dan dingin, membuat ruangan seolah kehilangan oksigen.

“Silakan duduk,” ucapnya singkat.

Nira menunduk, menahan diri agar tidak menatap pria itu terlalu lama. Tapi ia gagal.

Dari sudut matanya, ia bisa melihat Raka—berdiri tegap, jas hitam membungkus tubuhnya dengan sempurna, wajahnya serius saat membacakan presentasi.

Setiap kali ia berbicara, nada suaranya menembus pikiran Nira, memaksa kenangan lama muncul satu per satu.

Suara itu dulu yang paling ia rindukan.

Dan sekarang, suara itu justru membuat dadanya sesak.

“Divisi pemasaran akan menjadi kunci utama dalam proyek ekspansi tahun ini,” kata Raka. “Dan saya menunjuk Nira Adisti sebagai koordinator lapangan.”

Seluruh ruangan hening.

Nira terpaku di tempatnya, matanya membulat.

“Pak… saya?”

Raka menatapnya tanpa ekspresi. “Ada masalah?”

“Tidak, Pak. Saya hanya… belum menyangka saja.”

“Baik. Saya ingin laporan awal dalam tiga hari. Anggap ini ujian pertama.”

Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu di baliknya — semacam ketegangan yang sulit dijelaskan.

Beberapa rekan kerjanya sempat melirik ke arah Nira, mungkin mengira ia punya hubungan khusus dengan sang direktur. Tapi Nira hanya menunduk lebih dalam, mencoba menelan rasa malu yang entah kenapa ikut muncul.

Rapat berakhir setengah jam kemudian. Semua orang keluar, tapi langkah Nira tertahan ketika Raka memanggilnya.

“Nira.”

Suara itu membuatnya berhenti.

Ia berbalik pelan. “Iya, Pak?”

Raka menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu.

“Aku ingin laporan itu dikirim langsung ke mejaku. Tidak lewat orang lain.”

Nira mengangguk cepat. “Baik, Pak.”

Sebelum ia sempat berbalik, Raka menambahkan dengan nada lebih pelan, nyaris seperti gumaman,

“Jangan ulangi kebiasaanmu yang dulu—meninggalkan sesuatu tanpa penjelasan.”

Nira membeku. Wajahnya memanas, tapi bibirnya kelu.

Raka sudah berbalik, melangkah pergi tanpa menunggu jawabannya.

Sisa hari itu berjalan lambat dan melelahkan.

Nira menatap layar komputer yang penuh data, tapi pikirannya melayang jauh. Kata-kata Raka terus terngiang, membuat dadanya terasa berat.

Ia ingin marah, ingin menjelaskan semuanya, tapi ia tahu—belum saatnya.

Ada kebenaran yang belum siap ia buka, rahasia yang bahkan Raka tidak akan mudah menerima.

Saat matahari mulai condong ke barat, Nira memutuskan untuk keluar sejenak ke balkon kecil di belakang kantor. Ia butuh udara.

Dari sana, pemandangan kota terlihat ramai, mobil berlalu-lalang, dan langit sore berwarna jingga.

Ia menutup mata, mengingat hari terakhir lima tahun lalu — saat ia pergi diam-diam tanpa menoleh lagi.

Hari itu, ia tidak punya pilihan lain. Jika ia tinggal, mungkin Raka akan ikut hancur bersamanya.

Dan ia tidak sanggup membiarkan itu terjadi.

Tiba-tiba, suara langkah mendekat dari belakang membuatnya tersentak.

Ia menoleh — dan jantungnya nyaris berhenti.

Raka berdiri di ambang pintu balkon, tangan dimasukkan ke saku celana, wajahnya tampak lebih tenang dari biasanya.

“Menghindar lagi?” tanyanya, suaranya tenang tapi menusuk.

Nira cepat-cepat menegakkan tubuh. “Tidak, Pak. Saya hanya butuh udara.”

“Udara di sini beracun,” balasnya dingin. “Terutama bagi orang yang belum bisa melepaskan masa lalu.”

Nira terdiam.

Tatapan Raka begitu tajam, tapi di balik dinginnya, ada luka yang samar-samar terlihat.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Nira bisa melihat emosi itu — getir, kecewa, tapi juga rindu.

Ia menunduk pelan. “Saya tidak datang untuk membuka masa lalu, Pak. Saya hanya ingin menebus apa yang sudah salah.”

Raka tidak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik, lalu berkata lirih,

“Beberapa hal… tidak bisa ditebus, Nira.”

Kalimat itu menghantam dada Nira seperti ombak besar.

Dan sebelum ia sempat bicara, Raka sudah berbalik pergi, meninggalkannya sendirian di balkon, dengan mata yang berair tapi tak sanggup menangis.

Ia menatap langit sore yang memudar, lalu berbisik lirih,

“Kalau kau tahu alasan aku pergi dulu, mungkin kau tidak akan membenciku seperti sekarang…”

Angin berhembus lembut, membawa aroma hujan yang akan datang.

Dan Nira tahu — badai yang sesungguhnya baru saja dimulai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

    Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 8 – ALASAN YANG TAK TERUCAP

    Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 7 – LUKA YANG BELUM SEMBUH

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

    Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

    Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

    Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status