Home / Rumah Tangga / Luka Yang Tak Pernah Selesai / BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

Share

BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

Author: Adeliaraaa
last update Last Updated: 2025-10-08 00:19:45

Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup.

Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya.

Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka.

“Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.”

Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan.

Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi.

Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak.

Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh.

“Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar.

Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu.

Lampu-lampu temaram menyoroti meja panjang dari kaca, dan bayangan kota berkilau di balik jendela besar.

Raka sudah berdiri di sana — tegak, rapi, seolah menunggu keputusan rapat penting. Tapi begitu matanya menatap Nira yang masuk, waktu terasa berhenti sejenak.

Nira membuka pintu perlahan. “Permisi…”

Suara itu lembut, tapi cukup untuk membuat dada Raka bergetar. Ia menoleh, dan pandangan mereka bertemu.

Lima tahun. Tapi tatapan itu… masih sama.

Ada sesuatu di sana yang sulit dijelaskan — bukan sekadar cinta, tapi juga luka, rindu, dan penyesalan yang tak selesai.

“Duduk,” ucap Raka datar. Tangannya terlipat di depan dada, tapi sorot matanya tak benar-benar bisa berbohong. Ada amarah yang disembunyikan, dan juga kerinduan yang ingin diteriakkan.

Nira menuruti, duduk di kursi seberang. Jarak mereka tak lebih dari dua meter, tapi terasa seperti jurang yang tak bisa diseberangi.

Beberapa detik berlalu dalam diam. Hanya suara jam dinding dan desiran angin dari pendingin ruangan.

“Apa kabar?” tanya Raka akhirnya.

Nada suaranya datar, tapi matanya tak lepas dari wajah Nira.

Pertanyaan sederhana, tapi justru terasa paling sulit dijawab.

Nira menunduk pelan. “Baik.”

Senyumnya hambar, hanya untuk menutupi gemetar kecil di ujung bibirnya. “Kamu sendiri?”

“Baik,” jawab Raka singkat.

Lalu ia tersenyum miring. “Atau mungkin tidak. Aku bahkan tidak yakin apa arti ‘baik’ setelah kamu pergi tanpa alasan.”

Ucapan itu tajam, tapi tak ada teriakan. Hanya nada dingin yang justru lebih menyakitkan daripada marah.

Nira menatapnya — mata itu masih sama, tapi kini lebih gelap, lebih berat.

“Aku… aku punya alasan waktu itu, Rak,” katanya pelan. “Aku—”

“Alasan?” Raka memotong cepat. “Lima tahun, Nira. Lima tahun aku menunggu kamu muncul, menunggu satu kalimat saja yang bisa menjelaskan kenapa kamu ninggalin aku waktu aku paling butuh kamu. Tapi kamu hilang. Seolah aku nggak pernah berarti apa-apa.”

Nada suaranya masih tenang, tapi setiap kata terdengar seperti retakan kaca.

Nira menunduk, air matanya menetes di atas meja. “Aku nggak punya pilihan waktu itu…”

“Selalu ada pilihan,” balas Raka cepat. Ia mendekat, menatapnya tajam. “Kecuali kalau kamu memang nggak mau berjuang.”

Hening.

Hanya suara napas mereka yang terdengar, pelan tapi berat.

Nira menatap wajah itu — begitu dekat, tapi terasa jauh sekali.

“Kalau aku bilang… aku pergi untuk nyelamatin kamu, kamu percaya?” tanyanya pelan, nyaris berbisik.

Raka terdiam. Dada yang tadi penuh amarah tiba-tiba terasa kosong.

Ia ingin bertanya apa maksudnya, tapi lidahnya kelu.

Nira menghapus air matanya, mencoba tersenyum pahit.

“Waktu itu, ada hal yang kamu nggak tahu. Aku nggak ninggalin kamu karena aku ingin. Aku ninggalin kamu karena aku harus. Karena kalau aku tetap di samping kamu… semuanya bakal hancur.”

Raka menatapnya, bingung. “Hancur? Maksudmu apa?”

Nira menggigit bibir, menahan air mata kedua kalinya.

“Bukan sekarang waktunya aku jelasin,” katanya pelan. “Tapi suatu hari nanti, kamu akan ngerti kenapa aku memilih pergi.”

Raka memejamkan mata. Ia ingin marah, tapi hatinya tak sanggup.

Suara Nira, tatapan matanya, bahkan caranya menggenggam tangan sendiri saat gugup — semua itu masih terlalu akrab, terlalu nyata.

Dan ia benci karena bagian dalam dirinya masih mencintai perempuan itu, meski logikanya menolak.

“Jadi kamu kembali ke sini… buat buka luka lama?” tanyanya lirih.

“Bukan,” jawab Nira cepat. “Aku kembali buat nutupnya.”

Raka menatapnya lama, tapi akhirnya mengalihkan pandangan.

Ia tahu — malam ini tak akan memberi jawaban apa pun. Tapi entah kenapa, kehadiran Nira membuat sesuatu di dalam dirinya yang beku perlahan mencair.

Beberapa menit kemudian, Nira berdiri, bersiap pergi.

“Terima kasih udah mau dengar,” katanya lembut. “Aku cuma… pengen kamu tahu, aku nggak pernah berhenti mendoakan kamu bahagia.”

Raka tak menjawab. Ia hanya menatap punggung Nira yang perlahan menjauh ke arah pintu.

Tapi saat tangan perempuan itu menyentuh gagang, suara Raka memecah keheningan.

“Nira,” panggilnya pelan.

Perempuan itu menoleh, matanya masih berair.

“Ya?”

“Kalau memang waktu itu kamu pergi karena alasan… jangan ulangi hal yang sama sekarang.”

Suaranya rendah, nyaris bergetar. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.”

Nira menatapnya lama, seolah ingin mengingat setiap detail wajahnya. Lalu, dengan suara pelan tapi mantap, ia menjawab,

“Kalau kali ini aku pergi, aku janji kamu bakal tahu alasannya.”

Ia menunduk, lalu melangkah keluar.

Dan untuk pertama kalinya setelah lima tahun, Raka membiarkan dirinya menatap pintu yang menutup perlahan — bukan dengan marah, tapi dengan sesuatu yang lebih rumit dari itu: harapan yang ia sendiri tak ingin rasakan.

Di luar, Nira menatap langit malam Jakarta yang berkelip.

Tangannya gemetar, tapi senyum kecil muncul di wajahnya.

“Maaf, Rak,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Aku cuma ingin kamu aman.”

Dan di balik semua cahaya kota yang tenang itu, rahasia yang selama ini ia sembunyikan masih menunggu untuk diungkap — rahasia yang bisa mengubah segalanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 9 – KEBENARAN YANG DISEMBUNYIKAN

    Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 8 – ALASAN YANG TAK TERUCAP

    Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 7 – LUKA YANG BELUM SEMBUH

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 6 – KEBENARAN YANG TERTUNDA

    Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 5 – PERTEMUAN YANG TIDAK DIINGINKAN

    Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp

  • Luka Yang Tak Pernah Selesai   BAB 4 – RAHASIA YANG TAK PERNAH USAI

    Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status