"Astaga, Bu." Aku menghela napas pelan. Ibu benar-benar mengagetkanku. Sudah kaget karena kedatangan Ani dan rombongan, dikagetkan juga dengan Ibu. "Bukan apa-apa, Bu.""Apanya? Tadi Ibu liat sendiri. Si Ani sama orang-orang yang pakai pakaian misterius. Dia kenapa lagi, hah?!"Ibu benar-benar menyebalkan. Aku mengurut kening. "Kenapa si Ani? Mana bayi kamu? Jangan-jangan—"Ibu langsung masuk ke dalam kamarku. Tidak ada lagi bayi kami. Aku sudah pasrah. Entah kenapa, perasaanku berbeda sekali sekarang. Ini lucu, aku baru merasakannya sekarang. Apakah ini yang dinamakan penyesalan selalu datang terakhiran? Ah, aku mengempaskan tubuh ke sofa. "Mana bayi kamu, Reyhan?!""Dibawa Ani." Aku menjawab pelan, sambil melirik Nisa yang duduk di sebelahku. "Hah?! Kamu itu udah gila, Reyhan? Bisa-bisanya kamu kasih bayi itu ke si Ani. Mana lagi wanita itu? Dia itu menyebalkan sekali.""Besok aku susul, Bu. Jangan marah-marah. Udah malam, nanti tetangga dengar."Ibu tetap saja menatapku marah
Buru-buru aku beranjak dan melangkah menuju ke tempat duduk Ani dan pria itu. Aku sama sekali tidak terima melihat itu. Dia memang akan bercerai denganku, tetapi tidak jalan berdua dengan pria lain juga, kan?"Ani!"Mereka menoleh. Ani memasang wajah tidak peduli. Sementara pria itu terlihat risih ketika aku memegangi tangan Ani. Menyuruhnya beranjak. "Kamu sama siapa, hah?! Jalan sama laki-laki lain. Ingat, status kamu itu masih istri aku!" Wajahku memerah melihat Ani diam saja. "Heh! Kamu dengar atau tidak? Jangan sampai membuatku kesal, ya.""Ini siapa? Kayak orang gila tiba-tiba datang." Pria itu akhirnya berkomentar. Aku memang menunggunya berbicara sejak tadi."Saya suaminya. Jangan sok bareng sama dia. Saya gak terima.""Haduh, ini cowok kayaknya gak tau diri banget, ya."Eh? Aku menoleh ke belakang. Menelan ludah melihat Ariel yang berdiri di belakangku. Dia terlihat sekali kesal. "Ngapain di sini? Gak punya malu lagi? Sampe bilang kayak gitu lho.""Sa—"Aduh, aku kehabisa
Iya, sakit. Aku menghela napas pelan. Kami melangkah keluar bersama. Sesekali, aku melirik Ani. "Aku mau ketemu sama bayi kita.""Untuk apa?" tanya Ani pelan. Dia memalingkan wajah dariku. "Dia anakku juga."Ani menganggukkan kepala. Sepertinya, dia sedang memikirkan permintaanku. Semoga saja mau. "Oke. Nanti malam kita ketemu. Atur aja. Nomor masih yang lama."Dengan elegan, Ani masuk ke dalam mobil. Aku mengembuskan napas lega. Pokoknya, aku harus bisa membuat Ani kembali lagi ke rumah. Apalagi dia kaya raya sekarang. Aku mengendarai mobil dengan senyum. Semoga saja Ani mau kembali lagi denganku. Agar hidup tidak terlalu berat. Apalagi aku belum punya kerjaan lagi sekarang. ***"Nih, ada kerjaan. Mau gak? Dari pada lo nganggur."Aku diam sejenak mendengar perkataan Abdul. Kemudian mengetukkan jemari ke setir. Berpikir panjang. "Kerjaan apa? Kalo gajinya kecil gue gak mau.""Aduh, jangan cari gaji yang besar dulu sekarang. Yang penting, lo punya kerjaan, punya pemasukan."Mema
Lucu sekali dia. Aku menggelengkan kepala melihatnya. Sudah pasti ada alasan lain. Tidak mungkin dia murni ingin bertemu dengan bayiku. Ah, lelucon yang wow. Aku menghela napas pelan. Menatap bayiku yang tenang di gendongan pria yang masih berstatus suamiku itu. "Kamu betul gak mau kembali lagi bersamaku, Ni?" tanyaku pelan. "Sudah kubilang berapa kali? Itu hanya ada di mimpi."Sudah waktunya. Aku melirik jam tangan. Kemudian menoleh ke anak buah Bang Ariel. Mereka mengambil bayiku dari gendongan Mas Reyhan. "Eh? Apa-apaan ini, Ani?" tanyaku sambil melotot padanya. "Waktunya sudah selesai, Mas. Kamu tidak akan bisa membujukku untuk memberikan waktu lagi."Aku melangkah pergi, sementara Mas Reyhan terus memanggil, membuat beberapa pengunjung lain menatap kami. Bodo amat. Aku terus melanjutkan langkah. Bang Ariel sudah ada di dalam mobil. Kami meninggalkan restoran itu. "Apa yang dia mau dari kamu?" tanya Bang Ariel sambil memakai kacamatanya. "Banyak. Termasuk bayi ini."Bang
"Kita berangkat sekarang, Bang."Aku mengambil tas di atas meja. Kemudian merapikan pakaian. Yakin sekali ini akan menjadi momen menarik. "Masih gak nyangka adek Abang punya ide seebat ini."Bang Ariel mengacak rambutku. Kami melangkah keluar rumah. Mama pasti sudah tidur, tidak usah pakai izin. Aku menghela napas pelan, menyenderkan punggung. Mas Reyhan sudah mengirimkan alamat rumah sakit padaku. Pasti dia juga tidak akan percaya dengan pemikiranku yang hebat ini. "Abang gak sabar liat ekspresi dia."Sebenarnya, ini tidak ada di rencana kami, tapi sudah terlanjur. Sekalian saja. Ini lebih mudah sebenarnya. "Sama. Dia bakalan ngerasain apa yang aku rasain, Bang."Ya. Mas Reyhan harus merasakannya. Tenang saja, Mas, permainan baru saja dimulai. ***"Akhirnya Mbak datang juga. Aku dari tadi nungguin Mbak."Aku tersenyum ke Nisa. Dia sudah baik sekali padaku. Meskipun aku tidak akan membantu dengan mudah, tapi kalau tidak ada Nisa, mungkin aku tidak akan mau menawarkan penawaran
Meskipun harus merelakan semuanya, aku tetap bersyukur, karena Mama bisa tertolong dengan bantuan Ani. "Bang, Mbak Ani baik, ya."Iya. Dia memang baik. Aku menatap Nisa, kemudian menganggukkan kepala. "Gak kebayang kalo gak ada Mbak Ani. Mama pasti—""Sstt ... kamu jangan kasih tau apa-apa ke Mama dulu, ya nanti. Jangan sampai kabar buruk ini sampai ke telinga Mama di kondisi yang gak baik kayak gini."Adikku itu terdiam. Dia akhirnya menganggukkan kepala. Beberapa detik, aku menghela napas pelan, kemudian menyenderkan punggung ke kursi. Ini berat sekali. Persyaratan yang diberikan Ani benar-benar menyiksa. Namun, aku tidak bisa apa-apa. Aku memang tidak berguna."Maafkan aku, Ani, Ma."***"Mama kenapa di sini?" Aku berdiri, mendekati Mama yang tampak kebingungan. "Mama sakit.""Terus? Aduh." Mama meringis, membuatku membantunya beranjak dari posisi tiduran. Mama tidak banyak berbicara. Sekarang justru tampak aneh. Aku menoleh ke Nisa yang sibuk dengan ponselnya. "Mama mau
"Aku ingin rujuk kembali denganmu, Ani.""Hah?!" Ani tampak terkejut sekali mendmegar perkataanku barusan. Dia sepertinya tidak menyangka aku akan mengatakan hal itu. "Apa jaminan kamu mengatakan itu, Mas? Sementara ada kehidupan yang lebih baik dari pada bersama kamu?" tanya Ani pelan, dia menundukkan kepalanya. Aku mengembuskan napas pelan, mau bagaimanapun juga aku tidak akan bisa memaks Ani untuk kembali lagi padaku. Namun, aku masih mencintainya dan aku ingin dia kembali padaku. "Ani?" Aku menggenggam tangannya, ada sentakan halus yang terjadi saat tanganku menyentuh tngannya. "Kamu kaget?" tanyaku pelan. "Sedikit." Dia mengembuskan napas pelan. Jantungku berdetak kencamg, aku ingin berubah dengan memperbaiki hubungan ini. Memperbaiki rumah tangga kami. "Aku butuh jawaban kamu, Ni."Perlahan, Ani mengangkat pandangannya, menatapku. Ada raut sendu di wajahnya. "Apa jaminan kalau aku kembali padamu, Mas?" tanyanya pelan. Jaminannya? Aduh, aku tidak memikirkan hal itu seb
Karma? Aku mengembuskan napas pelan, apakah benar karma itu ada? Kalau benar karma itu ada, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku menatap datar ke depan, ini benar-benar di luar dugaan. "Pak?""Eh iya." Aku langsung terkejut mendengar panggilan dokter. Kemudian tersenyum tipis. "Jadi saya harus bagaimana ya, Dok?" tanyaku pelan, aku sendiri tidak yakin apa yang harus aku lakukan sekarang. Dokter menjelaskan apa yang harus aku lakukan. Dapat uang dari mana untuk semua pengobatan ini? Aku menghela napas pelan, ini benar-benar buruk. "Terima kasih, Dok." Aku tersenyum tipis, beranjak dari kursi. Langkahku lunglai sekali sekaranf, sungguh ini benar-benar di luar dugaan. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Biaya rumah sakit kalau aku melakukan pengobatan akan mahal sekali. Kalau tidak diobati, kasian Mama dan Nisa. Bagaimana mereka akan hidup tanpaku nanti? Ah, aku mengusap wajah kasar, kesal dengan keadaan sekarang. Kenapa pula penyakit ini muncul di saat yang tidak tepat?Bru