Share

Luna dan Para Garda Patriot
Luna dan Para Garda Patriot
Penulis: Oktana

01 - Keajaiban

Sadewa biasanya tidak mempercayai keajaiban. Namun, saat ini ia sangat membutuhkan hal itu.

Mobil yang ia tumpangi melambat di tengah arus ratusan kendaraan. Sadewa duduk dengan gelisah di kursi belakang. Mulutnya berkomat-kamit berdoa rosario. Entah sudah berapa peristiwa ia lewati, Sadewa sama sekali tidak ingat.        

Setiap kali Sadewa memejamkan mata, ia bisa melihat Luna, putri satu-satunya yang sekarang sedang terbaring di ranjang rumah sakit.  Dari hari ke hari, kondisinya semakin memburuk. Semua dokter yang ia temui sudah angkat tangan.

Semuanya memvonis hal yang sama: Luna mungkin hanya bisa bertahan beberapa hari saja.     

Mobil itu akhirnya berhenti sama sekali ketika lampu merah menyala. Sadewa memaki dalam hati. Setiap satu detik yang terbuang di jalanan, peluang hidup anak perempuan satu-satunya itu semakin menipis. 

Professor.”  Wanita duduk di samping Sadewa menegurnya. Ia menampilkan sosok seorang ratu yang angkuh. Rambutnya digelung ketat ke belakang dan memiliki hidung runcing yang bengkok. Ia memakai blouse kerja hitam yang warnanya berubah menjadi keemasan setiap kali tersorot oleh lampu jalan.

“Semoga ide gila you ini bekerja.” Suaranya bergetar dengan bahasa Indonesia yang bercampur aksen inggris-amerika. “You ngerti apa yang akan you lakukan?”

“Luna itu anak saya, Mia,” kata Sadewa. “Aku ini bapaknya. Aku jelas mau dia sembuh, sehat seperti anak-anak lainnya. Edan kamu kalau nyangka aku bakal celakain anak sendiri.”

“Luna itu anak Diana,” sembur perempuan itu. “Lihat sekarang apa yang you lakukan setelah you rebut Diana, puas? Diana mati gara-gara you. Kalau saja dia menikah sama orang lain mungkin dia pasti masih hidup dan lebih bahagia lagi.”

Kata-kata itu membuat amarah Sadewa naik sampai ke ubun-ubun. Perempuan di sebelahnya ini memang tahu bagaimana caranya untuk membangkitkan rasa marah orang lain. Kalau saja situasinya berbeda, mungkin Sadewa sudah menempeleng mulutnya.

  

Mia  menunjuk ke saku kemeja Sadewa. “ Dan ide you ini … it’s crazy! Madness! Kalau secuil saja benda di kantung you itu hilang, harga satu potongnya saja nggak akan cukup diganti pakai nyawa you!”

Dasar perempuan serakah. Pantas saja Sadewa merasa aneh waktu Artemia mau repot-repot memberinya tumpangan. Awalnya ia pikir perempuan ini juga memikirkan kondisi Luna. Namun, semua yang ada di kepalanya ujung-ujungnya hanya uang saja.  

   

 “Bu Artemia.” Sopir di depan menoleh ke belakang sambil memperlihatkan smartphonenya.  “Jalan depan kayaknya macet total.  Di layar aja warnanya merah begini.”

“Panjang macetnya?” tanya Artemia.

“Parah bu, mungkin sampai sekilo.”

“Cari jalan lain.” perintah Artemia.

“Waduh, Bu. Kalau masuk kampung jalannya jelek banget. Banyak lobangnya,” keluh si sopir. “Nggak apa-apa, nih?”

It’s okay. Saya buru-buru.”

Lampu akhirnya menjadi hijau dan kendaraan mulai kembali bergerak. Di perempatan pertama mereka berbelok, lalu  memasuki gang dengan rumah petak yang berderet dan jalan berlubang yang penuh  polisi tidur. Mobil yang mereka tumpangi jadi terus berguncang naik turun. Beberapa kali, kepala Sadewa terbentur atap mobil.

Mia mendengkus tidak sabar.  “Masih lama ke jalan utama?”

“Sebentar lagi tembus jalan utama ini.” jawab si sopir.

“Lebih cepat lagi. Kita ngebut begitu di jalan utama.”

Suara  si sopir terdengar mencicit. “Ta-tapi bu, di ujung jalan kayaknya  ada razia polisi.”

I don’t care, terobos saja. Kalau ada apa-apa,  saya yang urus. You bisa lebih cepat lagi ‘kan?”       

Si sopir tidak berani membantah. Mereka terus melaju sampai menuju jalan lurus yang mengarah ke persimpangan jalan besar. Dari kejauhan Sadewa bisa melihat lampu-lampu kendaraan yang melesat silih berganti.  Sementara di kedua sisi di ujung jalan, ada dua buah sepeda motor besar dengan sirene menyala sedang terparkir.

Detik berikutnya, roda berdecit dan mesin meraung. Mobil mereka melesat seperti peluru.

Sementara si sopir menginjak pedal gas kuat-kuat, Sadewa tersentak ke belakang. Kali ini ia membentur kaca belakang dan kepalanya langsung berdenyut nyeri. Begitu mobil berbelok ke jalan besar, Sadewa sudah tidak lagi memperhatikan jalanan lagi. Yang ia saksikan hanya kilasan-kilasan kabur, lalu suara klakson dan makian yang saling bersahut-sahutan.

Sebuah sirene melengking kemudian  terdengar dari belakang.  Sadewa menoleh dan hatinya mencelus. Dua motor besar yang tadi terparkir di ujung gang sekarang sudah mengejar mobil mereka. 

“Polisi,” kata Sadewa panik. “Kita pasti terlalu ngebut tadi.”

Artemia seolah  tidak peduli. Ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang dengan bahasa Indonesia bercampur Inggris yang cepat. Setelah selesai, ia berpaling kepada Sadewa.  “Mereka nggak akan ganggu kita, profesor. Mereka tahu siapa suami saya.”

Semoga saja begitu, pikir Sadewa. Kalau mobil ini sampai dihentikan, ia bersumpah akan pergi dengan cara apapun untuk menemui putrinya. Jangankan berjalan. Ia akan merangkak atau merayap kalau itu memang harus dilakukannya.

Sadewa melirik ke belakang lagi dengan was-was. Salah satu motor polisi menambah kecepatan dan mulai menjajari bagian pintu belakang mobil. Sadewa berjengit, ia sudah membayangkan mereka akan diperintahkan untuk menepi. Namun, motor itu melewati mobil sambil mulai menyalakan sirenenya.

Setelah salah satu motor polisi ada di depan mobil, perjalanan jadi terasa lebih lancar. Mobil dan kendaraan lain seolah menyingkir dari depan mereka.  Otak kecil Sadewa mulai sadar akan apa yang sedang terjadi. Polisi itu bukan untuk menghentikan mereka, tetapi untuk mengawal.  

Dengan kawalan kedua polisi itu, jalanan seakan menjadi milik mereka sendiri. Mobil meluncur mulus dengan kendraaan lain berebut untuk mengekor mereka di belakang. Sadewa melirik Artemia. Perempuan itu hanya diam sambil menatap ke depan, tetapi guratan senyum pongah menghiasi wajahnya.  

Sambil bergidik ngeri Sadewa bertanya-tanya seberapa besar pengaruh wanita ini sebenarnya?

Mobil merek akhirnya mulai melambat, tepat di sebuah gedung rumah sakit yang menjulang tinggi. Ketika mereka berhenti di samping pos parkir, Sadewa langsung membuka pintu dan melompat ke luar.   

“Profesor, wait-.” Artemia berusaha menahannya, tetapi ia terlambat beberapa detik. Sadewa sudah puluhan langkah jauhnya.   

Sadewa bergegas menuju  sebuah bangunan  di sebelah  gedung utama Rumah sakit. Dinding di pintu masuknya bercorak batu kali yang berwarna kelabu, sementara tulisan UNIT PERAWATAN INTENSIF berwarna hijau terang menyala  di sana. 

Ia langsung disambut angin dari pendingin ruangan yang membuat tubuh kurusnya langsung menggigil . Dua orang perawat jaga yang di belakang meja penerima tamu  langsung berdiri dengan sigap, tetapi Sadewa menghiraukan keduanya yang memandang dengan penuh curiga.

Sadewa melewati sebuah pintu kaca yang mengarahkannya ke sebuah lorong panjang. Ia melangkah semakin cepat sementara matanya terus memindai satu persatu pintu yang dilewati, sampai akhirnya ia berhenti di depan sebuah pintu. Sadewa menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri, lalu memutar kenop pintu itu.

Bau obat segera menyebar di penciuman Sadewa begitu memasuki  ruangan di balik pintu.  Dinding ruangan itu berwarna biru langit, dihiasi gambar burung dan binatang yang cerah. Di sudut ruangan,  ada sebuah tempat tidur yang terisi dan sebuah mesin pemantau jantung di sisinya . Begitu mendekat, seluruh bagian dalam tubuh Sadewa terasa diremas sampai remuk.

Di ranjang itu, Luna terbaring tak berdaya. Ia kelihatan kurus dan pucat, bahkan beberapa bagian tubuhnya mulai membiru. Selang oksigen menempel di wajahnya yang mungil. Sementara beberapa kabel panjang terjuntai dari mesin elektrokardiogram menelusup masuk ke balik baju piyama longgar yang ia pakai. Gerakan napas naik-turun di dada kecilnya nyaris tidak terlihat.      

Sadewa berusaha menjauhkan pikiran buruk yang datang menyerbu kepalanya. Ia melirik monitor di samping ranjang Luna. Monitor pemantau jantung itu masih menunjukan grafik bewarna hijau yang  masih bergerak dengan teratur walaupun sangat lambat.   

“Papa di sini,nak. Papa di sini,” bisik Sadewa dengan lirih di sisi ranjang sambil menggamit jari mungil Luna yang terasa dingin. “Jangan pergi ke tempat mama dulu. Jangan tinggalin Papa dulu.”   

Dengan perlahan, Sadewa mengeluarkan benda yang dari tadi ia simpan di saku kemejanya. Sebuah kalung yang ia buat seadanya. Hanya terdiri dari seuntai benang tipis murah yang dibeli dari toko kerajinan tangan dan sebuah kristal kecil merah muda sebagai bandulnya. Ada sepercik cahaya mungil di dalam kristal itu yang bersinar seperti lilin redup.      

Kalung itu adalah satu-satu harapan untuk Luna.

Sadewa lalu memasangkan kalung itu ke leher Luna dengan hati-hati. ia lalu berdiri di samping ranjang dengan tegang dan menunggu. Menanti sebuah tangisan, gerakan tangan,  atau apa saja yang membuatnya percaya bahwa masih ada keajaiban untuk Luna. 

Lima belas menit Sadewa berdiri sambil berdoa dalam keheningan. Namun, tidak ada yang terjadi.

Luna masih belum membuka matanya sementara kalung itu tetap bersinar redup. Monitor di sampingnya terus menyala, bahkan kali ini Sadewa merasa bunyi dari monitor itu semakin lama semakin lambat, dan grafiknya semakin datar.

Sadewa merasa lantai di bawah kakinya mulai runtuh perlahan-lahan. Ia semakin pasrah tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.  Luna sebentar lagi juga akan pergi, bergabung dengan Diana di surga, meninggalkannya untuk hidup sendirian dan kesepian di dunia ini.

Tuhan. Sadewa berdoa dengan hati yang paling pasrah. Kalau Engkau mau, ambillah cawan ini dariku; tetapi bukanlah kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.

Pintu kamar mendadak menjeblak terbuka. Salah satu perawat yang tadi bertugas di resepsionis menghambur masuk, diikuti seorang dokter di belakangnya. Mereka terlihat lelah, terutama si dokter yang wajahnya menandakan bahwa ia baru saja dibangunkan dari tidurnya dengan paksa. Namun, pandangan mereka berubah waspada ketika melihat Sadewa. 

 “Dok, ini orangnya,” kata si perawat. “saya memang sudah curiga sama bapak ini waktu dia masuk. Apa perlu saya panggil satpam? ”

Dokter mengangkat tangan kepada si perawat agar diam. Ia mendekat dengan pelan dan hati-hati, seolah  Sadewa  adalah seekor singa yang siap menerkamnya.

“Pak.” Dokter itu berkata dengan suara ramah. ”Ini bukan jam besuk. Ada yang bisa saya bantu?”

“Boleh saya di sini saja, dok?” pinta Sadewa. “Ini [utri saya … mungkin nggak lama lagi dia .…”

“Sekarang yang boleh masuk kesini hanya yang berkepentingan, Pak,” kata Dokter itu tenang. “Kalau Bapak mau menunggu, saya bisa antar bapak ke ruang lain buat istirahat.”

“Saya tetap di sini.” kata Sadewa tegas. Bagian belakang matanya perih karena ia harus menahan air mata yang mau keluar. Ia paham betul seperti apa peraturan sebuah rumah sakit. Namun, yang ia inginkan sekarang hanya bersama dengan Luna.      

“Kalau bapak tidak mau kerja sama, saya dengan terpaksa akan panggil keamanan.” Dokter itu memperingatkan. “Bapak bisa mengganggu pasien lain yang ada di sini nanti.”

“Silahkan panggil.” Sadewa balik menantang. “Saya nggak peduli kamu mau panggil satpam, polisi,  atau tentara sekalian. Semuanya akan saya lawan. Ini anak saya. Sekarang dia-”

Kata-kata Sadewa terpotong oleh si perawat yang menjerit kaget. Perawat itu menunjuk ke arah Luna dengan tangan gemetar. Sadewa ikut menoleh. Ia menyaksikan apa yang ditunggunya dari tadi.    

Cahaya kristal di kalung Luna berdenyut seperti sebuah jantung. Awalnya terlihat redup, tetapi  perlahan semakin terang seakan mendesak ingin keluar. Sadewa terus memperhatikannya, sampai sebuah bunyi mengalihkan pikirannya.

Mesin pemantau jantung Luna mulai  kacau. Grafik di monitornya menari-nari naik dan turun tidak beraturan, sementara mesin itu mengeluarkan bunyi bip terus menerus yang berisik.  Bunga-bunga api juga mulai berloncatan keluar dari sana.        

“Suster!” Dokter berseru. “Cabut semua kabel di badan anak itu. Sekarang!”

Perawat itu langsung menghampiri ranjang dan menarik lepas kabel-kabel dari tubuh Luna, sementara bau logam terbakar semakin terasa menusuk memenuhi kamar. Dokter langsung melesat melewati Sadewa.  Ia mengulurkan tangan untuk meraih kalung Luna, tetapi Sadewa berhasil menahannya.

“Jangan dilepas,”  kata Sadewa sambil  terengah-engah,  berjuang  untuk menjauhkan tangan si dokter dari leher Luna. “Kalung itu … harapan terakhirnya.”

Untuk orang yang tampak seperti baru bangun tidur, tenaga dokter itu cukup kuat.  Si dokter berhasil menarik lepas tangannya dan mendorong Sadewa agar menyingkir. Seperti cakar elang, tangan si dokter menyambar kalung yang menyala terang, sementara Sadewa hanya bisa membeliakan mata.

“Dokter, jangan!” Sadewa mencoba memperingatkan, tapi terlambat.

Tepat ketika dokter berhasil menyentuh kalung itu, sebuah sinar terang meledak.

Selama beberapa saat, Sadewa sempat menyangka ia sudah buta. Di hadapannya tidak ada warna lain yang terlihat kecuali warna putih yang menyilaukan. Sementara di sebelah kanan, ia bisa mendengar suara si dokter yang mengerang.  Sadewa lalu  meraba-raba sekelilingnya, berusaha untuk mendapatkan pegangan.

Sadewa terus mengerjapkan mata berulang-ulang sampai cahaya putih di matanya mengabur dan penglihatannya mulai  pulih. Perlahan, ia bisa melihat dokter yang sekarang terduduk dan meringis kesakitan. Dokter itu memegangi tangannya yang tampak melepuh. Sementara si perawat  membeku di dekat tempat tidur Luna dengan wajah kebingungan, seolah tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.

Sebuah suara tangisan kemudian pecah di kamar itu.                                                                                                     

Luna menangis keras sekali sambil menggerakan tangan dan kakinya yang mungil ke udara. kulitnya yang tadi pucat sekarang merona dengan warna kehidupan yang cantik.  Kalung di leher anak itu bersinar dengan warna merah muda lembut. Sadewa melihat semua keajaiban itu dengan takjub.

“Profesor, ada apa?” Artemia muncul sambil terengah-engah dan rambut yang mencuat berantakan. Di belakang, dua orang polisi yang masih memakai helm mengikutinya masuk. Perempuan itu bergegas menuju ke ranjang Luna, tetapi Sadewa  berhasil mendahuluinya.

Sadewa langsung memeluk dan menggendong Luna sambil terisak. Tubuh putri kecilnya sekarang sudah terasa hangat dan hidup. Anak itu terus-terusan menangis, tetapi bagi Sadewa tangisan Luna adalah nyanyian malaikat dari surga yang sudah mengangkat mimpi buruknya selama ini.

        

Untuk Luna, keajaiban itu memang ada.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yossihiro Akina
cukup puas untuk membaca alurnya, benar-benar terasa menegangkan dan seakan aku seperti tengah menonton sinetron
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status