All Chapters of Luna dan Para Garda Patriot: Chapter 1 - Chapter 10
26 Chapters
01 - Keajaiban
Sadewa biasanya tidak mempercayai keajaiban. Namun, saat ini ia sangat membutuhkan hal itu. Mobil yang ia tumpangi melambat di tengah arus ratusan kendaraan. Sadewa duduk dengan gelisah di kursi belakang. Mulutnya berkomat-kamit berdoa rosario. Entah sudah berapa peristiwa ia lewati, Sadewa sama sekali tidak ingat.         Setiap kali Sadewa memejamkan mata, ia bisa melihat Luna, putri satu-satunya yang sekarang sedang terbaring di ranjang rumah sakit.  Dari hari ke hari, kondisinya semakin memburuk. Semua dokter yang ia temui sudah angkat tangan. Semuanya memvonis hal yang sama: Luna mungkin hanya bisa bertahan beberapa hari saja.     Mobil itu akhirnya berhenti sama sekali ketika lampu merah menyala. Sadewa memaki dalam hati. Setiap satu detik yang terbuang di jalanan, peluang hidup anak perempuan satu-satunya itu semakin menipis.  
Read more
02 - Si Anak Monster
Sembilan tahun sejak keajaiban itu, Sadewa nyaris tidak berubah. Ia tetap pria kurus yang sama, hanya saja mulai sedikit keriput. Helai-helai berwarna kelabu mulai bermunculan di antara rambutnya yang keriting, sementara kacamata bingkai kotaknya terus menebal dari tahun ke tahun.     Mengurus seorang anak perempuan sendirian bukanlah hal yang mudah. Apalagi Sadewa juga harus membagi tenaga dan pikiran untuk banyak hal yang lain. Ia harus memeriksa mineral di sebuah batu sambil membacakan dongeng, atau mengetik laporan sambil menyiapkan susu. Di larut malam, di mana semuanya sudah gelap dan  tenang, Sadewa masih harus meneliti kristal yang sudah menciptakan sebuah keajaiban untuknya: Kristal Matahari.   Usaha Sadewa tidak sia-sia. Luna tumbuh dengan sehat. Putri kecilnya itu sekarang memiliki semua kecantikan dari Diana-mendiang istrinya: Bertubuh mungil dengan kulit putih bening dan rambut hitam tebal yang
Read more
03 - Copet!
Luna seharusnya bisa menebak bagaimana kalau Papa tahu ia membakar telapak tangannya sendiri. Seharusnya ia  bisa menyembunyikan hal itu dengan lebih baik. Di malam hari, Luna membukakan pintu untuk Papanya yang lupa membawa kunci. Dahi Sadewa langsung mengkerut. “itu tangan kamu kenapa?” selidik Sadewa “Coba Papa lihat.” Dengan gelagapan  Luna menyembunyikan tangannya yang terluka ke balik punggung sambil menggeleng cepat. “Ng-nggak apa-apa, kok, pa.” kata Luna, “Cuma-” “Cuma apa?” tanya Sadewa. “Sini, Papa mau lihat.” Sambil tertunduk lesu, Luna menjulurkan tangan yang terluka kepada Sadewa. Ada bercak berwarna merah gelap yang cukup besar di telapaknya, dan rasanya masih sakit. Padahal Luna sudah mengguyurnya dengan air keran cukup lama dan mengoleskan pasta gigi yang banyak. 
Read more
04 - Siapa Ikut Lomba?
Sejak kejadian di Mall, Luna selalu mencari berita tentang Garda Patriot setiap kali ada kesempatan.  “Kamu mau ngapain sih, sekarang jadi suka pinjam ponsel Papa terus?” tanya Sadewa waktu Luna meminjam ponsel untuk kelima kalinya dalam minggu itu. “Tugas sekolah, pa.” “Jangan bohong,” kata Papanya. “Kamu pasti cari Garda Patriot lagi. Iya kan?” Dengan malu-malu, Luna mengangguk. “Habis, seru sih,” katanya.“Di Internet banyak yang bilang, mereka itu sama kayak Luna yang punya kekuatan hebat lho, dan juga sering bantuin nangkep penjahat.”                           “Kalung yang kamu pakai itu buat bikin kamu sehat bukan buat main-main jadi jagoan.” Sadewa mengingatk
Read more
05 - Kecap
Untungnya hari Senin di minggu berikutnya sekolah diliburkan. Para guru sedang melakukan persiapan untuk lomba hari kemerdekaan. Ia jadi bisa membuat janji belajar memasak di rumah Dirga. Sebelum  berangkat ke kantor,  Sadewa mengantar Luna dulu.  Satu hal yang Luna baru tahu, ternyata Dirga tinggal di perumahan di kompleks yang sama dengan apartemennya.   Tempat tinggal Dirga adalah ruko dua tingkat yang di lantai bawahnya merupakan sebuah restoran, tepat di pinggir jalan besar yang mengarah masuk ke dalam kompleks.  Mungkin ini sebabnya kenapa lauk makan siang Dirga selalu terlihat enak. “Wah, udah lama Papa nggak ke sini, nih,” kata Sadewa sambil melepas helm. Rambutnya yang keriting sudah berantakan dan mengikal dengan bentuk hati di tengah dahi. “Papa sama mama dulu sering makan di sini.” “Masa? Terus, kenapa sekarang nggak pernah lagi?&rdqu
Read more
06 - Pasukan Emak Galak
Luna sudah berulang kali diberitahu oleh Papanya tentang kekuatan dahsyat dari kristal matahari, dan hari ini ia hampir menghancurkan kakinya sendiri.  Saat bola cahaya ditembakkan, tanah di bawah kakinya meledak, menghamburkan butiran kerikil , debu, dan pasir. Luna terhempas beberapa meter ke belakang. Untungnya, ia mendarat di tanah yang cukup lunak dan ditumbuhi rumput, sehingga rasanya tidak terlalu sakit. Ia merasa lega ketika mendapati kakinya masih ada dua dan sudah bisa bergerak lagi. Ujung sepatu barunya tergores dan berbau hangus, tetapi hal itu lebih baik daripada kakinya yang hilang, apalagi harus ditelan hidup-hidup oleh cairan aneh itu. Kumpulan debu yang berterbangan perlahan mulai mereda. Luna melihat sosok hitam itu masih ada di sana, bahkan rasanya semakin besar saja. Ia butuh waktu agar otaknya bisa memproses kejadian yang baru saja ia hadapi, Tenggorokannya terasa kering begitu menyadari wujud seb
Read more
07 - Lomba Masak Sekolah
Pin baju murahan.Luna sering menonton acara TV di mana ada orang diberi pilihan yang akan membawanya untuk mendapatkan hadiah-hadiah mahal seperti mobil, motor, atau bahkan rumah. Kebanyakan dari mereka selalu berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa, atau bisa disebut juga zonk.Sekarang ia merasakan kekecewaan yang sama. Seperti sebuah zonk.Beberapa kalipun Luna berusaha mengamati, benda di depannya itu tetap sebuah pin baju kecil murah yang bisa dibeli di penjual kaki lima dengan harga dua ribu rupiah.Pin itu sebenarnya tidak terlalu jelek. Bahkan mungkin cukup keren untuk dipasang di baju atau topi kalau saja benda itu masih baru. Bentuknya berupa huruf G berwarna perak metalik yang sayangnya sudah kusam. Di ujungnya yang melengkung, ada bagian yang nampak meleleh dan menghitam seperti terkena api. “Pin ini jatuh waktu Garda Patriot nolong aku.” kata Dirga. “Mer
Read more
08 - Keputusan Luna
“ Anak saya nggak apa-apa kok. Nggak, Luna nggak ada luka sama sekali.”   Sadewa mondar-mandir di kamar sambil bicara dengan ponselnya , sementara Luna duduk di sofa panjang ruang televisi dan melihat Papanya dengan pandangan hampa.  Rambutnya yang tebal sekarang kusut seperti sabut kelapa karena tidak disisir selama berhari-hari, wajahnya juga semuram pikiranya saat ini.    Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu dan Luna akhirnya benar-benar mogok sekolah. Ia selalu menangis bahkan terkadang menjerit setiap kali Sadewa membangunkannya di pagi hari. Makanan yang setiap hari dihidangkan di depannya hampir tidak tersentuh. Di malam hari, Luna tidak bisa tidur. Meskipun selalu berdoa di waktu malam, ia selalu bermimpi buruk.    Sadewa sudah berusaha keras untuk membujuknya sampai akhirnya ia menyerah. Dua hari terakhir, ia membiarkan Luna apa adanya seperti sekarang ini.   “Nggih,
Read more
09 - Ara Si Pinokio
Pagi esok harinya adalah yang paling sulit.Luna mati-matian melawan keinginan untuk tidak sekolah. Ia berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Obrolan dengan Papanya kemarin sudah membuatnya membulatkan tekad, ditambah  bayangan tinggal bersama dengan Tante Mia entah kenapa begitu menghantuinya kali ini.     Sebenarnya kalau semua baik-baik saja, tidak terlalu buruk juga kalau tinggal bersama Tante Mia.Tante Mia sangat memanjakannya. Di rumahnya yang besar dan berlantai dua bagai istana, Luna diperlakukan seperti seorang tuan putri. Ia bebas mengambil kue-kue kering atau permen cokelat yang ada di ruangan makan.Makanan,pakaian, atau apapun yang Luna inginkan, semuanya akan tersedia dengan cepat hanya dengan perintah Tantenya yang seperti sebuah sihir.   Masalahnya, ia tidak bisa membayangkan setiap hari akan melihat wajah si Tante yang seperti gabungan antara nenek sihir
Read more
10 - Ngapain Lirik-lirik?
Dirga bilang ada rahasia pin garda patriot, tetapi Luna tidak yakin. Sayangnya, sebelum Luna bertanya lebih lanjut, Ibu Win sudah masuk ke kelas. Rahasia apa yang bisa ditemukan Dirga di dalam pin itu? Peta markas kelompok itu? Alat komunikasi untuk memanggil mereka? Atau sesuatu yang kalau ditekan di pin, benda kecil itu bisa meledak seperti bom? Rasanya semua kemungkinan yang dipikirkan Luna hampir mustahil. Di jam pertama ternyata ada ulangan matematika, tentu saja Luna belum belajar. Dengan lesu, Ia mencatat soal yang tertulis di depan kelas. Semuanya ada lima, tentang perbandingan dan skala. Dua soal pertama Luna cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi untuk tiga yang lain, ia kebingungan. Luna diam-diam melirik Dirga. Temannya itu bekerja dengan tenang dan santai, seolah-olah semua soalnya hanya satu tambah satu sama dengan dua. Sesaat, Luna tergoda untuk melirik kertas jawaban Dirga.        
Read more
PREV
123
DMCA.com Protection Status