Sembilan tahun sejak keajaiban itu, Sadewa nyaris tidak berubah. Ia tetap pria kurus yang sama, hanya saja mulai sedikit keriput. Helai-helai berwarna kelabu mulai bermunculan di antara rambutnya yang keriting, sementara kacamata bingkai kotaknya terus menebal dari tahun ke tahun.
Mengurus seorang anak perempuan sendirian bukanlah hal yang mudah. Apalagi Sadewa juga harus membagi tenaga dan pikiran untuk banyak hal yang lain. Ia harus memeriksa mineral di sebuah batu sambil membacakan dongeng, atau mengetik laporan sambil menyiapkan susu. Di larut malam, di mana semuanya sudah gelap dan tenang, Sadewa masih harus meneliti kristal yang sudah menciptakan sebuah keajaiban untuknya: Kristal Matahari.
Usaha Sadewa tidak sia-sia. Luna tumbuh dengan sehat. Putri kecilnya itu sekarang memiliki semua kecantikan dari Diana-mendiang istrinya: Bertubuh mungil dengan kulit putih bening dan rambut hitam tebal yang indah.
Sayangnya, sifat keras kepala Diana juga menurun kepada putrinya.
Pagi ini saja, Luna hampir mogok sekolah.
Luna melakukan segalanya agar ia tidak usah masuk sekolah hari ini. Ia sengaja mandi lama sekali sampai Sadewa menggedor pintu kamar mandi dengan tidak sabar. Ia mengunyah roti sarapannya sepelan mungkin, lalu minum susu cokelatnya sedikit demi sedikit, merajuk dan memohon, tetapi Sadewa tetap kepada pendiriannya: Luna harus sekolah.
Sebenarnya, sekarang adalah hari Senin di minggu kedua bulan Juli yang hangat, ribut, dan macet. Anak-anak mulai kembali masuk sekolah setelah libur panjang kenaikan kelas selama satu bulan. Mereka tidak sabar untuk bertemu dengan guru dan teman-temannya di kelas yang baru. Namun, itu tidak berlaku untuk Luna. Ia malah berharap agar kemacetan sekarang bisa berlangsung lebih lama lagi.
“Kamu bakal telat nih,” kata Sadewa dengan suara keras untuk mengatasi kebisingan knalpot dan klakson. “Coba kalau kamu makannya lebih cepat tadi.”
“Biarin,” sahut Luna cuek. “Ngapain juga ke sekolah pagi-pagi?”
Sadewa memajukan motor, mengikuti arus kendaraan yang bergerak perlahan, kemudian berhenti lagi. Ia menoleh kepada Luna. “Kamu kenapa, sih? Lagi nggak enak badan?”
“Nggak,” jawab Luna.
“Perut sakit?”
“Nggak juga.”
“Jadi kamu kenapa? Cerita dong,” kata Sadewa. “Papa mana ngerti kalo kamu nggak ngomong.”
“Habis nggak ada yang mau diajak main sama Luna,” rengek Luna. “Sendirian terus di sekolah itu nggak enak,pa. ”
Angkutan umum di depan bergerak lagi dengan perlahan lalu berhenti. Sadewa belum memajukan motornya, sementara teriakan jengkel orang-orang di belakangnya agar ia maju terus terdengar.
“Pa, kenapa sih Luna nggak bisa sekolah sendiri aja? Kayak di tivi itu lho,” tanya Luna.
“Homeschooling?”
“Iya, itu.”
“Papa nggak ada uang buat bayar homeschooling,” kata Sadewa. “Tante Mia belum mau naikin gaji Papa.”
Suara Luna meninggi. “Padahal Papa kalo kerja rajin kan? Berangkat pagi, pulangnya malam terus kan? Pelit amat Tante Mia, padahal rumahnya aja kayak istana gitu.”
“Luna.” Sadewa berkata dengan selembut mungkin. Sementara ia membelokan motor untuk masuk ke jalanan gang perumahan yang lebih lengang. “Uang Papa ‘kan dipakai buat bikin kalung kamu.”
Luna melirik benda yang tergantung di lehernya. Sebuah kalung yang memiliki bandul berbentuk bintang dengan empat sudut. Di dalam bandul itu, ada kristal seperti permata berwarna merah muda yang sinarnya berdegup perlahan seperti denyut jantung.
“Nggak bisa ya kalo Luna nggak pakai ini?” ia bergumam pelan. “Gara-gara ini, Luna jadi sering dibilang anak setan.”
“Luna harus pakai kalung itu kalau mau terus sehat,” kata Sadewa.
Luna memandangi kalungnya dengan murung. Ia memang tidak bisa beraktivitas seperti anak-anak yang lainnya tanpa benda kecil itu. Kalung itu cantik, tetapi juga menyebalkan.
Motor Sadewa akhirnya keluar di jalan besar yang berjarak hanya beberapa ratus meter dari sebuah gedung sekolah. Bel tanda masuk sudah berdering nyaring bahkan bisa terdengar dari kejauhan .
Luna turun di depan gerbang yang disesaki kendaraan yang sedang mengantre di pintu ke luar. Setelah pamit kepada Papanya, ia berlari dengan tas ransel menggantung di punggung, menembus kepulan debu dan asap knalpot. Sekarang, Luna lebih takut kalau ia tidak boleh masuk kelas karena terlambat di hari pertamanya.
Ketika sampai di lorong sekolah. Luna mendapati bahwa tempat itu jadi lengang, karena anak-anak yang lain sudah masuk ke kelas mereka. Ia lalu melihat seorang ibu guru yang masih berdiri di depan ruangan dengan Papan kayu yang menggantung dan bertuliskan V-B, kelas barunya .
“Hayo, kenapa terlambat toh, nduk?” Ibu guru yang bertubuh kurus dan jangkung itu bertanya begitu melhat Luna mau masuk.
“Bangun kesiangan bu, maaf.” Jawab Luna seadanya.
“Ya sudah, masuk dulu.”
Syukurlah ibu guru tidak marah. Di dalam kelas, Luna langsung mencari tempat duduk yang masih kosong dan pilihannya jatuh ke sebuah meja di baris depan yang baru diisi oleh satu anak perempuan. ketika Luna menaruh tas ranselnya di meja, anak itu langsung menjauhkan kursinya.
Setelah doa pagi, ibu guru menuliskan namanya di Papan tulis. Namanya Winarti, dan dipanggil Ibu Win. dab akan menjadi wali kelas Luna selama kelas lima. Setelah itu, ia mengeluarkan buku berbentuk segi empat panjang dan memanggil nama murid di kelas satu persatu. Ada jeda sesaat setelah Ibu Win memanggil anak yang bernama Gabriel Dirga Wijaya.
“Coba berdiri., mana yang namanya Dirga?” Bu Win mengedarkan pandangan ke seisi kelas untuk mencari-cari. “Ibu mau lihat muka si anak ganteng satu ini.”
Ternyata memang ada satu jari telunjuk kurus yang mengacung tinggi, tepat di belakang seorang anak laki-laki yang bertubuh gemuk, pantas saja ia sulit terlihat. Begitu anak yang dipanggil itu berdiri, Luna terkikik geli.
Dia anak laki-laki paling kurus yang pernah dilihat Luna. Berambut tebal seolah memakai helm di kepalanya. Sebuah kacamata bulat dan besar bertengger di hidungnya yang pesek.
Setelah absen selesai (Nama Skolastika Luna Sudarso ada di nomor dua puluh.) Ibu Win menjelaskan peraturan yang harus ditaati di kelasnya seperti dilarang mengobrol saat pelajaran, membayar iuran kelas, atau melaksanakan tugas piket.
Lama-kelamaan, Anak-anak mulai mengobrol sampai akhirnya Bu Win mengetuk Papan tulis agar mereka memperhatikannya. Ia memberi pengumuman. “Ibu mau memindahkan tempat duduk kalian.” Kata Bu Win. “Biar kalian kenal sama teman yang lain. Jangan kenalnya sama teman yang itu-itu aja.”
Desahan kecewa langsung terdengar di sepenjuru kelas, mungkin karena sebagian besar dari mereka sudah duduk dengan teman karibnya sehingga mereka bisa mengobrol. Namun, anak perempuan yang sekarang menjadi teman sebangku Luna terlihat lega.
Bu Win kembali memanggil nama para siswa satu persatu, dan mereka segera berlalu lalang untuk berganti posisi tempat duduk. Anak yang tadi duduk di sebelah Luna langsung melesat begitu namanya dipanggil. Ada yang senang, tapi sebagian besar berjalan dengan wajah ditekuk. Ketika nama Luna disebut, anak yang kursi di sebelahnya masih kosong mulai gelisah.
Kelas itu langsung terasa suram. Bu Win seakan bisa membaca suasana hati murid-muridnya. Ia mendekati meja Luna. “Apa nggak ada yang mau duduk sama anak cantik ini?” ia bertanya sambil sedikit menggoda. “Kalau gitu Luna, kamu mau duduk sama siapa? Tunjuk orangnya.”
“Siapa juga yang mau duduk sama anak setan?” Celetuk seorang anak perempuan dengan wajah berbintik seperti stroberi.
Suara itu berasal dari Cemara, teman Luna di kelas empat dulu. Sampai sekarang, anak itu masih marah kepada Luna yang tidak sengaja membakar ekor kucingnya waktu bermain di rumahnya.
Bu Win menghampiri Cemara dan menegurnya. Anak perempuan itu diam saja, tetapi sesekali ia masih memandangi Luna dengan sinis, seakan ia bakal mencekiknya suatu saat nanti.
Luna jadi ragu. Anak-anak di kelas mulai berbisik satu sama lain. Kata-kata seperti monster, seram, dan takut mulai terdengar. Kelihatannya, untuk tahun ini juga ia tidak akan punya teman lagi. Luna memandangi Ibu Win dan mengangkat tangan. Ia mau bilang akan duduk sendiri saja.
“Kenapa ‘cah ayu?” tanya Bu Win lembut. “Kamu mau duduk sama siapa? Bilang aja, nggak usah takut.”
Suara Ibu Win membuat Luna sedikit lebih berani, tetapi ia berpikir lama sekali sampai akhirnya jarinya menunjuk ke arah Dirga. Tempat duduk anak laki-laki itu belum pindah dari belakang, masih tertutup tubuh anak yang lebih besar darinya. Bagaimana kalau ia nanti mencatat pelajaran di Papan tulis?
“Dirga, sini,” panggil Ibu Win. “Kamu sekarang duduk sama Luna.”
Dengan patuh, Dirga segera berdiri dan berjalan sambil menggendong tas ranselnya. Di tengah jalan, seorang anak bertubuh besar menjegal kakinya sampai ia tersungkur. Kacamatamua terlempar ke lantai, sehingga anak itu harus merangkak sambil meraba-raba untuk menemukannya. Seisi kelas tertawa terbahak-bahak, hanya Luna yang diam saja. ia tidak suka yang seperti itu.
“Boris!” Hardik Ibu Win. “Kalau kamu kamu begitu lagi, ibu langsung suruh kamu keluar kelas.”
Anak yang tadi menjegal Dirga hanya tertunduk, tetapi masih sempat cekikikan.
Dirga akhirnya sampai dan duduk di samping Luna, wajahnya berkeringat dengan kacamata yang miring sebelah.
“Kamu nggak apa-apa?” Luna berbisik. “Kamu kok diem aja digituin? Lawan dong!”
“Dia seram,” balas Dirga sambil membetulkan letak kacamatanya. “Katanya pernah mukulin anak SMP sampai masuk rumah sakit.”
Luna melirik ke Boris. Badan anak itu memang lebih besar dari kebanyakan anak laki-laki lain di kelas. Dengan bibir yang tebal dan wajah lebar, ia persis seperti gorila. Baju seragamnya sudah kusut padahal kelas baru saja dimulai. Ketika menyadari Luna memperhatikannya, Boris balas memelotot seolah menantangnya.
Luna memilih mengalah. Ia akhirnya memalingkan wajah sambil mendengkus sebal.
Setelah selesai acara pindah tempat duduk, mereka mengadakan pemilihan ketua dan perangkat kelas lainnya. Dirga tidak bicara apa-apa selama sisa kelas berlangung, tetapi Luna tahu anak laki-laki itu sering mencuri pandang ke arahnya dengan gugup.
Akhirnya bel pulang berdering kencang dan semua anak langsung membereskan tas mereka.
“Besok kita mulai belajar. Jangan lupa bawa buku, ya.” Ibu Win mengingatkan.
Begitu doa pulang selesai, kerumuman anak langsung berdesak-desakan di pintu kelas. Namun, Luna masih duduk di bangkunya untuk menunggu agar lorong sekolah sedikit sepi. Dirga juga melakukan hal yang sama, dan sekarang wajahnya berubah jadi semerah apel .
“Kamu sakit?” Luna menyelidik. “Wajah kamu merah, lho.”
Dirga menggeleng . Ia langsung menyambar tasnya dan berjalan terburu-buru ke luar kelas. Luna hanya mengangkat bahu ketika melihatnya pergi.
Sekolah selesai lebih cepat dari biasanya karena ini hari pertama. Papa sudah memesan ojek online di depan gerbang untuk menjemput Luna. Begitu tiba di apartemen, Luna langsung berganti baju dan tenggelam di sofa apartemen untuk menonton TV, sambil bersiap untuk menyantap makan siang yang ia beli di kafetaria lantai bawah.
“Berikutnya berita kriminal,” kata si pembawa berita. “Baru-baru ini kelompok perampok perhiasan muncul di kota Patriot. Mereka sudah merampok tiga toko perhiasan dalam semalam. Polisi masih terus melakukan pengejaran, tetapi sampai sekarang belum ada petunjuk tentang keberadaan mereka.”
Kamera televisi lalu menyorot ke sebuh toko yang kacanya pecah. Bagian yang seharusnya dipakai untuk memajang barang dagangan terlihat kosong karena digasak si perampok.
Sambil terus mendengar berita, Luna memejamkan mata. Perlahan, ia merasakan aliran hangat yang timbul dari kalungnya yang mengalir ke dada, lalu sepanjang lengannya. Sebuah titik mungil keemasan kemudian muncul dan melayang di atas telapak tangannya, bercahaya terang dan terasa hangat.
Ia mengamati titik emas kecil yang dibuatnya. Ketika berkonsentrasi lagi, titik itu membesar lagi sedikit demi sedikit sampai sebesar biji buah kelengkeng. Luna memandanginya sambil tersenyum sendiri.
Kalau ada di tempat itu, Ia yakin bisa membantu untuk menangkap para perampoknya.
Luna membayangkan bagaimana kalau kekuatanya ini bisa ia kendalikan? Ia mungkin bisa menolong banyak orang, menangkap para perampok, mengawal Papa pergi ke kantor, mungkin juga sesekali memberi pelajaran kepada Boris yang suka mengganggu anak-anak lain.
Tangannya terasa terus menghangat, sampai akhirnya Luna merasa meletakan tangannya di atas kompor yang menyala. Lamunannya buyar dan ia memekik.
Cahaya kecil di jarinya ternyata sudah membesar!
Luna menyuruh dari dalam hati agar cahaya itu segera lenyap. Biasanya, kalau masih berukuran kecil, cahaya itu akan hilang dengan sendirinya, tetapi sekarang ukurannya hampir sebesar buah jeruk.
“Hilang! Hilang! Hilang!”Luna akhirnya memberi perintah dengan suara keras. “Please, hilang dong!”
Bola itu tak mau menurut, malah melayang semakin rendah. Luna meringis, ketika bola itu menyentuh ujung jarinya, rasanya perih.
Sambil tetap berusaha berkonsentrasi Luna juga memeras otaknya untuk berpikir. Ia tidak mungkin mempertahankan posisi seperti ini terus karena tangannya sendiri sudah mulai pegal, apalagi melempar bola cahaya ke keranjang sampah atau ke luar jendela sembarangan. Bola itu bisa meledak dan membakar apa saja yang disentuhnya. Luna tahu karena pernah melemparkannya sekali ke tumpukan dokumen kerja Papa.
Andai saja Papa ada di sini untuk membantunya . Eh, mungkin tidak, pikir Luna. karena Papa bisa muncul dengan segayung air dan menyiramnya. Ia akan mengomel panjang lebar.
Air, Itu dia!
Luna langsung bangkit dari sofa dan mulai berjalan perlahan. Bola itu tidak boleh sampai jatuh atau kamar apartemennya bisa terbakar habis. Selama berjalan, keringat dingin mulai bercucuran membanjiri kening Luna. Tangannya mulai gemetar.
Setelah keluar dari ruang tamu dan masuk ke kamar Papanya, melihat pintu kamar mandi di ujung sudah terbuka lebar. Tinggal beberapa langkah lagi dan semua masalah tentang bola menyebalkan ini akan beres. Luna semakin mempercepat langkahnya, sayangnya ia lupa satu hal. Kamar mandi biasanya selalu basah dan licin. Kakinya langsung tergelincir.
Dengan sigap tangan Luna menggapai pinggir bak air di dekatnya. Konsentrasinya lenyap seketika, dan bola cahayanya langsung mendarat tepat di telapak tangan Luna.
Pedihnya bukan main dan Luna mengerang kesakitan. Rasanya seperti seluruh tangannya ditusuk oleh ribuan jarum yang tidak terlihat. Namun, alih-alih melepaskan bola itu ia malah memegangnya lebih kuat lagi.
Dengan sisa tenaga yang ia punya, Luna memakai tangan yang bertumpu di bak mandi untuk membantunya berdiri dan menceburkan tangan yang masih memegang bola cahaya itu ke bak mandi. Air langsung menyembur ke luar membasahi wajah dan bajunya, sementara uap panas muncul seketika dan memenuhi kamar mandi yang sempit itu dengan kabut sampai tempat itu menyerupai sauna.
Luna harus menunggu beberapa saat agar uap itu menghilang sepenuhnya. Setelah itu, ia baru berani mengeluarkan tangannya dari air. Bola cahaya itu sudah lenyap. Walaupun sekarang kausnya basah dan tangannya terkena luka bakar yang cukup parah.
Luna memandangi tangannya dengan murung. Semua ini gara-gara kalung kecilnya yang menyebalkan. Selain bola cahaya, ia juga punya sederet masalah lain dengan kekuatannya.
Tiga bulan lalu, Luna memukul seorang anak laki-laki yang mengganggunya sampai harus dirawat di rumah sakit, orang tua si anak marah kepada Papa. Beberapa minggu sesudahnya, kelinci temannya mati karena luka bakar akibat dipeluk oleh Luna, dan ia tidak boleh main ke rumah temannya lagi. Dua minggu kemarin, ia meninju kap mobil yang hampir menabrak seorang anak yang bermain di tengah jalan, sampai akhirnya si empunya menuntut ganti rugi.
Semua kenangan buruk itu muncul lagi, padahal Luna sudah tidak mau mengingat-ingatnya. Ejekan dan penolakan teman-temannya ketika ia mau bermain dengan mereka sudah sangat membuatnya sedih.
Ia akhirnya melupakan makan siang dan memilih masuk ke kamarnya. Lalu berbaring di kasur sambil mendekap Oggy - boneka kodok kesayangannya. Oggy mungkin satu-satunya teman yang tidak menjerit kesakitan kalau ia peluk dan selalu tampak tersenyum untuknya.
Seorang pahlawan harus bisa mengendalikan kekuatannya, ia tidak boleh membuat orang lain menangis apalagi terluka karena dirinya, terlebih lagi ia tidak boleh punya tubuh yang lemah.
Mungkin Cemara dan teman-teman lain yang takut padanya memang benar. Ia tidak akan bisa jadi jagoan yang menolong banyak orang. Mungkin, ia memang seorang monster.
Luna seharusnya bisa menebak bagaimana kalau Papa tahu ia membakar telapak tangannya sendiri. Seharusnya ia bisa menyembunyikan hal itu dengan lebih baik.Di malam hari, Luna membukakan pintu untuk Papanya yang lupa membawa kunci. Dahi Sadewa langsung mengkerut.“itu tangan kamu kenapa?” selidik Sadewa “Coba Papa lihat.”Dengan gelagapan Luna menyembunyikan tangannya yang terluka ke balik punggung sambil menggeleng cepat. “Ng-nggak apa-apa, kok, pa.” kata Luna, “Cuma-”“Cuma apa?” tanya Sadewa. “Sini, Papa mau lihat.”Sambil tertunduk lesu, Luna menjulurkan tangan yang terluka kepada Sadewa. Ada bercak berwarna merah gelap yang cukup besar di telapaknya, dan rasanya masih sakit. Padahal Luna sudah mengguyurnya dengan air keran cukup lama dan mengoleskan pasta gigi yang banyak.
Sejak kejadian di Mall, Luna selalu mencari berita tentang Garda Patriot setiap kali ada kesempatan.“Kamu mau ngapain sih, sekarang jadi suka pinjam ponsel Papa terus?” tanya Sadewa waktu Luna meminjam ponsel untuk kelima kalinya dalam minggu itu.“Tugas sekolah, pa.”“Jangan bohong,” kata Papanya. “Kamu pasti cari Garda Patriot lagi. Iya kan?”Dengan malu-malu, Luna mengangguk. “Habis, seru sih,” katanya.“Di Internet banyak yang bilang, mereka itu sama kayak Luna yang punya kekuatan hebat lho, dan juga sering bantuin nangkep penjahat.”“Kalung yang kamu pakai itu buat bikin kamu sehat bukan buat main-main jadi jagoan.” Sadewa mengingatk
Untungnya hari Senin di minggu berikutnya sekolah diliburkan. Para guru sedang melakukan persiapan untuk lomba hari kemerdekaan. Ia jadi bisa membuat janji belajar memasak di rumah Dirga.Sebelum berangkat ke kantor, Sadewa mengantar Luna dulu. Satu hal yang Luna baru tahu, ternyata Dirga tinggal di perumahan di kompleks yang sama dengan apartemennya. Tempat tinggal Dirga adalah ruko dua tingkat yang di lantai bawahnya merupakan sebuah restoran, tepat di pinggir jalan besar yang mengarah masuk ke dalam kompleks. Mungkin ini sebabnya kenapa lauk makan siang Dirga selalu terlihat enak.“Wah, udah lama Papa nggak ke sini, nih,” kata Sadewa sambil melepas helm. Rambutnya yang keriting sudah berantakan dan mengikal dengan bentuk hati di tengah dahi. “Papa sama mama dulu sering makan di sini.”“Masa? Terus, kenapa sekarang nggak pernah lagi?&rdqu
Luna sudah berulang kali diberitahu oleh Papanya tentang kekuatan dahsyat dari kristal matahari, dan hari ini ia hampir menghancurkan kakinya sendiri.Saat bola cahaya ditembakkan, tanah di bawah kakinya meledak, menghamburkan butiran kerikil , debu, dan pasir. Luna terhempas beberapa meter ke belakang. Untungnya, ia mendarat di tanah yang cukup lunak dan ditumbuhi rumput, sehingga rasanya tidak terlalu sakit.Ia merasa lega ketika mendapati kakinya masih ada dua dan sudah bisa bergerak lagi. Ujung sepatu barunya tergores dan berbau hangus, tetapi hal itu lebih baik daripada kakinya yang hilang, apalagi harus ditelan hidup-hidup oleh cairan aneh itu.Kumpulan debu yang berterbangan perlahan mulai mereda. Luna melihat sosok hitam itu masih ada di sana, bahkan rasanya semakin besar saja. Ia butuh waktu agar otaknya bisa memproses kejadian yang baru saja ia hadapi, Tenggorokannya terasa kering begitu menyadari wujud seb
Pin baju murahan.Luna sering menonton acara TV di mana ada orang diberi pilihan yang akan membawanya untuk mendapatkan hadiah-hadiah mahal seperti mobil, motor, atau bahkan rumah. Kebanyakan dari mereka selalu berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa, atau bisa disebut juga zonk.Sekarang ia merasakan kekecewaan yang sama. Seperti sebuah zonk.Beberapa kalipun Luna berusaha mengamati, benda di depannya itu tetap sebuah pin baju kecil murah yang bisa dibeli di penjual kaki lima dengan harga dua ribu rupiah.Pin itu sebenarnya tidak terlalu jelek. Bahkan mungkin cukup keren untuk dipasang di baju atau topi kalau saja benda itu masih baru. Bentuknya berupa huruf G berwarna perak metalik yang sayangnya sudah kusam. Di ujungnya yang melengkung, ada bagian yang nampak meleleh dan menghitam seperti terkena api.“Pin ini jatuh waktu Garda Patriot nolong aku.” kata Dirga. “Mer
“ Anak saya nggak apa-apa kok. Nggak, Luna nggak ada luka sama sekali.” Sadewa mondar-mandir di kamar sambil bicara dengan ponselnya , sementara Luna duduk di sofa panjang ruang televisi dan melihat Papanya dengan pandangan hampa. Rambutnya yang tebal sekarang kusut seperti sabut kelapa karena tidak disisir selama berhari-hari, wajahnya juga semuram pikiranya saat ini. Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu dan Luna akhirnya benar-benar mogok sekolah. Ia selalu menangis bahkan terkadang menjerit setiap kali Sadewa membangunkannya di pagi hari. Makanan yang setiap hari dihidangkan di depannya hampir tidak tersentuh. Di malam hari, Luna tidak bisa tidur. Meskipun selalu berdoa di waktu malam, ia selalu bermimpi buruk. Sadewa sudah berusaha keras untuk membujuknya sampai akhirnya ia menyerah. Dua hari terakhir, ia membiarkan Luna apa adanya seperti sekarang ini. “Nggih,
Pagi esok harinya adalah yang paling sulit.Luna mati-matian melawan keinginan untuk tidak sekolah. Ia berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Obrolan dengan Papanya kemarin sudah membuatnya membulatkan tekad, ditambah bayangan tinggal bersama dengan Tante Mia entah kenapa begitu menghantuinya kali ini.Sebenarnya kalau semua baik-baik saja, tidak terlalu buruk juga kalau tinggal bersama Tante Mia.Tante Mia sangat memanjakannya. Di rumahnya yang besar dan berlantai dua bagai istana, Luna diperlakukan seperti seorang tuan putri. Ia bebas mengambil kue-kue kering atau permen cokelat yang ada di ruangan makan.Makanan,pakaian, atau apapun yang Luna inginkan, semuanya akan tersedia dengan cepat hanya dengan perintah Tantenya yang seperti sebuah sihir.Masalahnya, ia tidak bisa membayangkan setiap hari akan melihat wajah si Tante yang seperti gabungan antara nenek sihir
Dirga bilang ada rahasia pin garda patriot, tetapi Luna tidak yakin. Sayangnya, sebelum Luna bertanya lebih lanjut, Ibu Win sudah masuk ke kelas. Rahasia apa yang bisa ditemukan Dirga di dalam pin itu? Peta markas kelompok itu? Alat komunikasi untuk memanggil mereka? Atau sesuatu yang kalau ditekan di pin, benda kecil itu bisa meledak seperti bom? Rasanya semua kemungkinan yang dipikirkan Luna hampir mustahil. Di jam pertama ternyata ada ulangan matematika, tentu saja Luna belum belajar. Dengan lesu, Ia mencatat soal yang tertulis di depan kelas. Semuanya ada lima, tentang perbandingan dan skala. Dua soal pertama Luna cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi untuk tiga yang lain, ia kebingungan. Luna diam-diam melirik Dirga. Temannya itu bekerja dengan tenang dan santai, seolah-olah semua soalnya hanya satu tambah satu sama dengan dua. Sesaat, Luna tergoda untuk melirik kertas jawaban Dirga.