Share

03 - Copet!

Luna seharusnya bisa menebak bagaimana kalau Papa tahu ia membakar telapak tangannya sendiri. Seharusnya ia  bisa menyembunyikan hal itu dengan lebih baik.

Di malam hari, Luna membukakan pintu untuk Papanya yang lupa membawa kunci. Dahi Sadewa langsung mengkerut.

“itu tangan kamu kenapa?” selidik Sadewa “Coba Papa lihat.”

Dengan gelagapan  Luna menyembunyikan tangannya yang terluka ke balik punggung sambil menggeleng cepat. “Ng-nggak apa-apa, kok, pa.” kata Luna, “Cuma-”

“Cuma apa?” tanya Sadewa. “Sini, Papa mau lihat.”

Sambil tertunduk lesu, Luna menjulurkan tangan yang terluka kepada Sadewa. Ada bercak berwarna merah gelap yang cukup besar di telapaknya, dan rasanya masih sakit. Padahal Luna sudah mengguyurnya dengan air keran cukup lama dan mengoleskan pasta gigi yang banyak.

“Kamu main-main lagi pakai kekuatan kamu?” Suara Sadewa meninggi.

“Maaf, pa.” kata Luna dengan memelas, “Tadinya yang keluar cuma bola kecil, terus bolanya cepat besar kayak buah jeruk.”

Sadewa langsung berdiri sambil menggandeng Luna menuju pintu apartemen. Awalnya, Luna mengira Papa bakal menghukumnya untuk tidur di lorong sampai pagi, tetapi Papanya menoleh dan hanya mengatakan. “Kita ke dokter. Sekarang.”

Dalam perjalanan ke dokter, Sadewa menceramahi  Luna  agar tidak main-main dengan kekuatan dari kalungnya. Hal itu sudah ratusan kali Luna dengar, juga hampir ratusan kali ia melanggarnya, dan yang bisa dilakukan Luna hanya minta maaf sambil berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Telapak tangan Luna akhirnya harus diperban. Rasanya sangat tidak nyaman. Awalnya terasa perih, lalu beberapa hari kemudian tangannya jadi gatal yang menyengat, membuat Luna selalu tergoda untuk melepas perban dan menggaruknya sampai puas.   

Ia jadi terlihat seperti orang aneh yang selalu memakai sarung tangan setiap kali pergi ke sekolah. Untungnya tidak ada yang peduli selain Ibu Win dan Dirga yang mengangkat alis begitu Luna masuk kelas dengan tangan diperban.

 “Ketumpahan minyak waktu goreng nugget.” Hanya itu yang bisa Luna katakan sebagai alasannya. 

Bulan Juli, bulan pertama sekolah akhirnya berlalu tanpa kejadian besar yang lain. Tidak ada anak yang terluka atau benda yang meledak lagi karena kekuatannya dan itu bagus untuk Luna.

Hal yang membuatnya sebal adalah Boris. Luna sering memergoki anak itu meminta uang secara paksa kepada anak lain yang lebih kecil. Berulangkali Luna melaporkan hal itu kepada ibu Win, dan  Bu Win juga sudah sering menghukumnya, tetapi Boris tampak tidak jera. Itu membuat Luna kesal. Kalau saja tidak dilarang, ia ingin sekali membuat anak nakal itu jadi gorila panggang.   

Cemara juga sama saja. Anak perempuan itu terus mengejeknya setiap kali ada kesempatan, bahkan banyak anak lain yang mulai ikut-ikutan juga memanggilnya anak setan atau si monster.  

Untunglah pikiran menyebalkan itu lenyap di hari Minggu, sama seperti luka bakar di tangannya yang sudah sembuh. Papa mengajaknya ke Mall Patrot. Luna senang sekali, apalagi ia mendapat sepatu sekolah baru warna hitam yang masih mengkilap, menggantikan sepatu lama yang solnya lepas tepat di hari Sabtu.

“Jadi, teman kamu namanya Dirga?” tanya Sadewa setelah Luna bercerita tentang anak laki-laki yang jadi teman sebangkunya, “yang rambutnya tebal dan pesek,itu kan?”

Luna mengangguk. “Lho, kok Papa tahu?”

Sadewa tersenyum. “ Dia ‘kan dibaptis bareng kamu waktu kecil. Papa dulu yang jadi wali baptisnya. Nah Papanya Dirga yang jadi wali baptis kamu.”

“Oh, ya?”

“Kok kaget begitu?” Tanya Sadewa.

“Soalnya Luna kira, Tante Mia yang jadi wali baptisnya Luna.”

Sadewa tertawa. “Tahu, nggak? Tante Mia waktu itu memang ngotot mau jadi wali baptis kamu. Dia hampir setiap hari telepon Papa cuma buat tanya kapan kamu mau dibaptis.”

“Terus, Papa bilang apa?”

“Papa matiin aja ponsel Papa, terus bilang ponselnya rusak jadi lupa kasih tahu tanggal baptisan kamu. Tante Mia habis itu langsung ngamuk,” kata Sadewa yang cekikikan karena berusaha menahan tawa.  Ia lalu melirik arloji di tangannya. “Wah, udah mau sore gini. Kapan-kapan Papa cerita lagi, deh. Kita belanja dulu, yuk.”

Mereka lalu masuk ke  pasar swalayan.  Sadewa langsung mengambil keranjang belanja di pintu masuk dan pergi ke bagian makanan cepat saji. Tidak butuh waktu lama untuk beberapa bungkus mie instant, nugget, dan sosis untuk masuk ke keranjangnya.

“Kita masih harus beli roti tawar, selai , biskuit, buah, terus-” Sadewa mengecek daftar belanjaan di ponsel dan tersenyum jail. “Satu botol besar Cola, hadiah buat kamu yang nggak jadi mogok sekolah.”  

Luna mencubit pinggang Papanya dan tertawa. Ia juga setuju untuk merayakan satu bulan di mana semuanya berjalan dengan baik-baik saja.  Dengan semangat, Luna berjalan ke deretan lemari yang berisi minuman bersoda, sedangkan Sadewa pergi ke bagian roti dan kue.

Sambil berjalan pelan, Luna memandangi lemari pendingin yang berisi banyak botol minuman dengan berbagai macam warna dan kemasan. Mulai dari hitam gelap sampai biru muda yang cerah. Luna berharap seandainya saja ia bisa mencicipi minuman itu satu persatu.

Ia begitu sibuk menentukan mana yang akan mau ia beli antara cola hitam, merah atau kristal sehingga tidak menyadari kalau seorang pemuda berjaket tebal menubruknya dan membuatnya terhuyung. Ketika Luna pulih dari rasa kagetnya,  si pemuda langsung melenggang pergi begitu saja dengan cueknya.

Sambil menggerutu, Luna memandangi si pemuda yang pergi tanpa minta maaf. Pemuda itu berbelok dan menghilang ke balik rak yang menjual susu kaleng. Dengan perasaan masih sedikit jengkel, Luna memutuskan untuk kembali melihat-lihat cola lagi untuk segera menentukan pilihan. Ia lalu mendengar sepasang suami istri berdebat di sampingnya.

“Tadi Papa taruh ponsel di sini. Kok nggak ada, ya?”

“Makanya, dari dulu udah sering dibilangin titip ponselnya ke Mama. Papa ngeyel terus. sih ,” omel si istri.   

Mungkin saja ponsel si bapak memang jatuh entah dimana, pikir Luna. Namun, di seberang tempatnya berdiri,  ada keributan lain yang terjadi. Kali ini tentang masalah dompet yang hilang.

Orang yang menabrak Luna muncul lagi. ia menuju ke bagian makanan beku dan melihat-lihat daging seolah mau membeli, tetapi ia tidak membawa keranjang belanja. Karena terlihat mencurigakan Luna  memutuskan untuk mengikutinya. 

Si pemuda terus berjalan menyusuri rak sayur-mayur, dan lagi-lagi ia menabrak seorang ibu  yang sedang mendorong kereta bayi. Ketika si ibu mulai mengomel, pemuda itu menunduk untuk minta maaf,  tetapi Luna tahu, si pemuda tidak hanya sekedar menabrak. Sepersekian detik ketika tabrakan terjadi, tangan si pemuda dengan gesit memindahkan dompet  dari kantung celana jins si ibu ke kantung celananya sendiri.

“Copet!” teriak Luna seketika. “Ada copet!”

Orang-orang langsung menoleh.  Selama beberapa detik, si pemuda yang ternyata pencopet itu memandangi Luna dengan kaget. Sebelum si ibu yang marah sempat menghantam wajahnya dengan tas, si pencopet sudah berbalik dan melarikan diri.  

Luna langsung mengejarnya. Mereka berlarian di sepanjang etalase berisi  ikan dan makanan laut segar, lalu berbelok menuju bagian peralatan dapur yang kebetulan sedang sepi. Diantara tumpukan parutan, centong nasi, dan sendok , Luna menambah kecepatan sampai ia semakin menyusul si pencopet. Ketika jarak mereka sudah sangat dekat, ia mengulurkan tangan berusaha untuk meraihnya.

Sebuah bola cahaya keemasan langsung melesat dari telapak tangan Luna yang terbuka.

Bola itu meluncur lalu meledak begitu mengenai punggung si pencopet, membuatnya terpental dan menabrak dinding yang digantungi wajan. Sebuah wajan enamel 30 senti menimpa kepala si pencopet tanpa ampun disusul berturut-turut oleh wajan kuali 60 cm lalu wajan stainless 30 cm . Tubuhnya langsung melorot ke lantai.

Dengan hati-hati, Luna mendekati si pencopet yang ternyata sudah pingsan. Sementara orang-orang mulai berdatangan dan berkumpul untuk melihat apa yang terjadi, Luna hanya bisa melongo sambil memandangi tangannya dan si pencopet bergantian.  

Secercah rasa bangga terbit di hatinya. Ia nyaris melompat kegirangan karena merasa telah menjadi jagoan sungguhan.

Seorang petugas keamanan kemudian muncul dari kerumuman orang yang menonton.  Usianya mungkin lima puluh tahun lebih sedikit. Bertubuh  tinggi besar dengan wajah lebar dan berhidung mancung seperti orang timur tengah. Beberapa rambut berwarna kelabu menyembul dari topi yang ia pakai.

“Tadi … tadi ini ada copet, terus saya kejar. Waktu copetnya di sini, tau-tau dia kepeleset terus jatuh deh, pak.” Luna berusaha menjelaskan situasinya kepada pak satpam.

Pak satpam berjongkok dan memeriksa tubuh si pencopet. Di saku jaket dan celananya, ia menemukan beberapa ponsel dan dompet yang jelas bukan milik pemuda itu.

Pak satpam menoleh kepada Luna dengan senyum lebar. “Kamu hebat banget,nak. Pencopetnya langsung KO begini lho,” ia memujinya. “Kamu seperti Garda Patriot aja.”

“Garda Patriot itu apa?” tanya Luna bingung.

“Oh,  itu-”

Pak satpam mau menjawab, tetapi suara Sadewa terdengar memanggil-manggil Luna  di antara orang-orang yang menonton. Setelah susah payah menerobos kerumuman, ia menghampiri putrinya dengan tampang cemas.    

“Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang luka ‘kan?” tanya Sadewa sambil mengamati Luna, lalu berbisik. “Kamu pake itu?”    

Luna tahu maksud Papanya.“Tadi Luna cuma mau nangkep copetnya.”

Sadewa menunjuk bandul di kalung Luna. Warna kristalnya mulai berubah keruh, tidak secemerlang biasanya. “Lain kali kamu harus lebih hati-hati lagi. Kristal ini harus kita hemat. Tangan kamu juga bau hangus, tuh.”

Satpam lain kemudian berdatangan. Mereka membawa si pencopet pergi, juga mencatat nama-nama orang yang kehilangan barangnya.  Sementara Luna dan Papanya dibawa keluar dari pasar swalayan untuk menjauh dari keramaian oleh si satpam paruh baya. 

Setelah Satpam itu mencatat nomor ponsel dan alamat Sadewa agar sewaktu-waktu bisa dihubungi , ia lalu memperkenalkan diri. Namanya Wira.

“Anaknya hebat, pak,” kata pak Wira. “Anak bapak ikut beladiri? Saya lihat tadi, tadi copetnya bisa langsung keok gitu.”

Sadewa tersenyum canggung. “Iya, Pak. Anak saya ini memang  … spesial,  tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa, ya?”

Luna ingin sekali bertanya tentang Garda Patriot yang sempat diucapkan oleh pak Wira, tetapi Sadewa keburu menggandeng tangan Luna.

“Kita buruan bayar ini habis itu pulang, yuk,” ajak Sadewa sambil mengangkat keranjang belanjaannya. “Kalau nggak,nanti  keburu sore sampai rumah. Kamu juga belum ngerjain PR,kan?”

Mereka berdua lalu pamit kepada pak Wira, tetapi Luna menyempatkan diri melirik ke belakang dan melihat pak Wira yang melambaikan tangan ke arahnya dan Luna juga balas melambai. Dalam hati, ia membuat catatan, setelah urusan tugas sekolah dan belajarnya beres, ia akan mencari tahu tentang apa itu Garda Patriot.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status