Luna seharusnya bisa menebak bagaimana kalau Papa tahu ia membakar telapak tangannya sendiri. Seharusnya ia bisa menyembunyikan hal itu dengan lebih baik.
Di malam hari, Luna membukakan pintu untuk Papanya yang lupa membawa kunci. Dahi Sadewa langsung mengkerut.
“itu tangan kamu kenapa?” selidik Sadewa “Coba Papa lihat.”
Dengan gelagapan Luna menyembunyikan tangannya yang terluka ke balik punggung sambil menggeleng cepat. “Ng-nggak apa-apa, kok, pa.” kata Luna, “Cuma-”
“Cuma apa?” tanya Sadewa. “Sini, Papa mau lihat.”
Sambil tertunduk lesu, Luna menjulurkan tangan yang terluka kepada Sadewa. Ada bercak berwarna merah gelap yang cukup besar di telapaknya, dan rasanya masih sakit. Padahal Luna sudah mengguyurnya dengan air keran cukup lama dan mengoleskan pasta gigi yang banyak.
“Kamu main-main lagi pakai kekuatan kamu?” Suara Sadewa meninggi.
“Maaf, pa.” kata Luna dengan memelas, “Tadinya yang keluar cuma bola kecil, terus bolanya cepat besar kayak buah jeruk.”
Sadewa langsung berdiri sambil menggandeng Luna menuju pintu apartemen. Awalnya, Luna mengira Papa bakal menghukumnya untuk tidur di lorong sampai pagi, tetapi Papanya menoleh dan hanya mengatakan. “Kita ke dokter. Sekarang.”
Dalam perjalanan ke dokter, Sadewa menceramahi Luna agar tidak main-main dengan kekuatan dari kalungnya. Hal itu sudah ratusan kali Luna dengar, juga hampir ratusan kali ia melanggarnya, dan yang bisa dilakukan Luna hanya minta maaf sambil berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Telapak tangan Luna akhirnya harus diperban. Rasanya sangat tidak nyaman. Awalnya terasa perih, lalu beberapa hari kemudian tangannya jadi gatal yang menyengat, membuat Luna selalu tergoda untuk melepas perban dan menggaruknya sampai puas.
Ia jadi terlihat seperti orang aneh yang selalu memakai sarung tangan setiap kali pergi ke sekolah. Untungnya tidak ada yang peduli selain Ibu Win dan Dirga yang mengangkat alis begitu Luna masuk kelas dengan tangan diperban.
“Ketumpahan minyak waktu goreng nugget.” Hanya itu yang bisa Luna katakan sebagai alasannya.
Bulan Juli, bulan pertama sekolah akhirnya berlalu tanpa kejadian besar yang lain. Tidak ada anak yang terluka atau benda yang meledak lagi karena kekuatannya dan itu bagus untuk Luna.
Hal yang membuatnya sebal adalah Boris. Luna sering memergoki anak itu meminta uang secara paksa kepada anak lain yang lebih kecil. Berulangkali Luna melaporkan hal itu kepada ibu Win, dan Bu Win juga sudah sering menghukumnya, tetapi Boris tampak tidak jera. Itu membuat Luna kesal. Kalau saja tidak dilarang, ia ingin sekali membuat anak nakal itu jadi gorila panggang.
Cemara juga sama saja. Anak perempuan itu terus mengejeknya setiap kali ada kesempatan, bahkan banyak anak lain yang mulai ikut-ikutan juga memanggilnya anak setan atau si monster.
Untunglah pikiran menyebalkan itu lenyap di hari Minggu, sama seperti luka bakar di tangannya yang sudah sembuh. Papa mengajaknya ke Mall Patrot. Luna senang sekali, apalagi ia mendapat sepatu sekolah baru warna hitam yang masih mengkilap, menggantikan sepatu lama yang solnya lepas tepat di hari Sabtu.
“Jadi, teman kamu namanya Dirga?” tanya Sadewa setelah Luna bercerita tentang anak laki-laki yang jadi teman sebangkunya, “yang rambutnya tebal dan pesek,itu kan?”
Luna mengangguk. “Lho, kok Papa tahu?”
Sadewa tersenyum. “ Dia ‘kan dibaptis bareng kamu waktu kecil. Papa dulu yang jadi wali baptisnya. Nah Papanya Dirga yang jadi wali baptis kamu.”
“Oh, ya?”
“Kok kaget begitu?” Tanya Sadewa.
“Soalnya Luna kira, Tante Mia yang jadi wali baptisnya Luna.”
Sadewa tertawa. “Tahu, nggak? Tante Mia waktu itu memang ngotot mau jadi wali baptis kamu. Dia hampir setiap hari telepon Papa cuma buat tanya kapan kamu mau dibaptis.”
“Terus, Papa bilang apa?”
“Papa matiin aja ponsel Papa, terus bilang ponselnya rusak jadi lupa kasih tahu tanggal baptisan kamu. Tante Mia habis itu langsung ngamuk,” kata Sadewa yang cekikikan karena berusaha menahan tawa. Ia lalu melirik arloji di tangannya. “Wah, udah mau sore gini. Kapan-kapan Papa cerita lagi, deh. Kita belanja dulu, yuk.”
Mereka lalu masuk ke pasar swalayan. Sadewa langsung mengambil keranjang belanja di pintu masuk dan pergi ke bagian makanan cepat saji. Tidak butuh waktu lama untuk beberapa bungkus mie instant, nugget, dan sosis untuk masuk ke keranjangnya.
“Kita masih harus beli roti tawar, selai , biskuit, buah, terus-” Sadewa mengecek daftar belanjaan di ponsel dan tersenyum jail. “Satu botol besar Cola, hadiah buat kamu yang nggak jadi mogok sekolah.”
Luna mencubit pinggang Papanya dan tertawa. Ia juga setuju untuk merayakan satu bulan di mana semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Dengan semangat, Luna berjalan ke deretan lemari yang berisi minuman bersoda, sedangkan Sadewa pergi ke bagian roti dan kue.
Sambil berjalan pelan, Luna memandangi lemari pendingin yang berisi banyak botol minuman dengan berbagai macam warna dan kemasan. Mulai dari hitam gelap sampai biru muda yang cerah. Luna berharap seandainya saja ia bisa mencicipi minuman itu satu persatu.
Ia begitu sibuk menentukan mana yang akan mau ia beli antara cola hitam, merah atau kristal sehingga tidak menyadari kalau seorang pemuda berjaket tebal menubruknya dan membuatnya terhuyung. Ketika Luna pulih dari rasa kagetnya, si pemuda langsung melenggang pergi begitu saja dengan cueknya.
Sambil menggerutu, Luna memandangi si pemuda yang pergi tanpa minta maaf. Pemuda itu berbelok dan menghilang ke balik rak yang menjual susu kaleng. Dengan perasaan masih sedikit jengkel, Luna memutuskan untuk kembali melihat-lihat cola lagi untuk segera menentukan pilihan. Ia lalu mendengar sepasang suami istri berdebat di sampingnya.
“Tadi Papa taruh ponsel di sini. Kok nggak ada, ya?”
“Makanya, dari dulu udah sering dibilangin titip ponselnya ke Mama. Papa ngeyel terus. sih ,” omel si istri.
Mungkin saja ponsel si bapak memang jatuh entah dimana, pikir Luna. Namun, di seberang tempatnya berdiri, ada keributan lain yang terjadi. Kali ini tentang masalah dompet yang hilang.
Orang yang menabrak Luna muncul lagi. ia menuju ke bagian makanan beku dan melihat-lihat daging seolah mau membeli, tetapi ia tidak membawa keranjang belanja. Karena terlihat mencurigakan Luna memutuskan untuk mengikutinya.
Si pemuda terus berjalan menyusuri rak sayur-mayur, dan lagi-lagi ia menabrak seorang ibu yang sedang mendorong kereta bayi. Ketika si ibu mulai mengomel, pemuda itu menunduk untuk minta maaf, tetapi Luna tahu, si pemuda tidak hanya sekedar menabrak. Sepersekian detik ketika tabrakan terjadi, tangan si pemuda dengan gesit memindahkan dompet dari kantung celana jins si ibu ke kantung celananya sendiri.
“Copet!” teriak Luna seketika. “Ada copet!”
Orang-orang langsung menoleh. Selama beberapa detik, si pemuda yang ternyata pencopet itu memandangi Luna dengan kaget. Sebelum si ibu yang marah sempat menghantam wajahnya dengan tas, si pencopet sudah berbalik dan melarikan diri.
Luna langsung mengejarnya. Mereka berlarian di sepanjang etalase berisi ikan dan makanan laut segar, lalu berbelok menuju bagian peralatan dapur yang kebetulan sedang sepi. Diantara tumpukan parutan, centong nasi, dan sendok , Luna menambah kecepatan sampai ia semakin menyusul si pencopet. Ketika jarak mereka sudah sangat dekat, ia mengulurkan tangan berusaha untuk meraihnya.
Sebuah bola cahaya keemasan langsung melesat dari telapak tangan Luna yang terbuka.
Bola itu meluncur lalu meledak begitu mengenai punggung si pencopet, membuatnya terpental dan menabrak dinding yang digantungi wajan. Sebuah wajan enamel 30 senti menimpa kepala si pencopet tanpa ampun disusul berturut-turut oleh wajan kuali 60 cm lalu wajan stainless 30 cm . Tubuhnya langsung melorot ke lantai.
Dengan hati-hati, Luna mendekati si pencopet yang ternyata sudah pingsan. Sementara orang-orang mulai berdatangan dan berkumpul untuk melihat apa yang terjadi, Luna hanya bisa melongo sambil memandangi tangannya dan si pencopet bergantian.
Secercah rasa bangga terbit di hatinya. Ia nyaris melompat kegirangan karena merasa telah menjadi jagoan sungguhan.
Seorang petugas keamanan kemudian muncul dari kerumuman orang yang menonton. Usianya mungkin lima puluh tahun lebih sedikit. Bertubuh tinggi besar dengan wajah lebar dan berhidung mancung seperti orang timur tengah. Beberapa rambut berwarna kelabu menyembul dari topi yang ia pakai.
“Tadi … tadi ini ada copet, terus saya kejar. Waktu copetnya di sini, tau-tau dia kepeleset terus jatuh deh, pak.” Luna berusaha menjelaskan situasinya kepada pak satpam.
Pak satpam berjongkok dan memeriksa tubuh si pencopet. Di saku jaket dan celananya, ia menemukan beberapa ponsel dan dompet yang jelas bukan milik pemuda itu.
Pak satpam menoleh kepada Luna dengan senyum lebar. “Kamu hebat banget,nak. Pencopetnya langsung KO begini lho,” ia memujinya. “Kamu seperti Garda Patriot aja.”
“Garda Patriot itu apa?” tanya Luna bingung.
“Oh, itu-”
Pak satpam mau menjawab, tetapi suara Sadewa terdengar memanggil-manggil Luna di antara orang-orang yang menonton. Setelah susah payah menerobos kerumuman, ia menghampiri putrinya dengan tampang cemas.
“Kamu nggak apa-apa? Nggak ada yang luka ‘kan?” tanya Sadewa sambil mengamati Luna, lalu berbisik. “Kamu pake itu?”
Luna tahu maksud Papanya.“Tadi Luna cuma mau nangkep copetnya.”
Sadewa menunjuk bandul di kalung Luna. Warna kristalnya mulai berubah keruh, tidak secemerlang biasanya. “Lain kali kamu harus lebih hati-hati lagi. Kristal ini harus kita hemat. Tangan kamu juga bau hangus, tuh.”
Satpam lain kemudian berdatangan. Mereka membawa si pencopet pergi, juga mencatat nama-nama orang yang kehilangan barangnya. Sementara Luna dan Papanya dibawa keluar dari pasar swalayan untuk menjauh dari keramaian oleh si satpam paruh baya.
Setelah Satpam itu mencatat nomor ponsel dan alamat Sadewa agar sewaktu-waktu bisa dihubungi , ia lalu memperkenalkan diri. Namanya Wira.
“Anaknya hebat, pak,” kata pak Wira. “Anak bapak ikut beladiri? Saya lihat tadi, tadi copetnya bisa langsung keok gitu.”
Sadewa tersenyum canggung. “Iya, Pak. Anak saya ini memang … spesial, tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa, ya?”
Luna ingin sekali bertanya tentang Garda Patriot yang sempat diucapkan oleh pak Wira, tetapi Sadewa keburu menggandeng tangan Luna.
“Kita buruan bayar ini habis itu pulang, yuk,” ajak Sadewa sambil mengangkat keranjang belanjaannya. “Kalau nggak,nanti keburu sore sampai rumah. Kamu juga belum ngerjain PR,kan?”
Mereka berdua lalu pamit kepada pak Wira, tetapi Luna menyempatkan diri melirik ke belakang dan melihat pak Wira yang melambaikan tangan ke arahnya dan Luna juga balas melambai. Dalam hati, ia membuat catatan, setelah urusan tugas sekolah dan belajarnya beres, ia akan mencari tahu tentang apa itu Garda Patriot.
Sejak kejadian di Mall, Luna selalu mencari berita tentang Garda Patriot setiap kali ada kesempatan.“Kamu mau ngapain sih, sekarang jadi suka pinjam ponsel Papa terus?” tanya Sadewa waktu Luna meminjam ponsel untuk kelima kalinya dalam minggu itu.“Tugas sekolah, pa.”“Jangan bohong,” kata Papanya. “Kamu pasti cari Garda Patriot lagi. Iya kan?”Dengan malu-malu, Luna mengangguk. “Habis, seru sih,” katanya.“Di Internet banyak yang bilang, mereka itu sama kayak Luna yang punya kekuatan hebat lho, dan juga sering bantuin nangkep penjahat.”“Kalung yang kamu pakai itu buat bikin kamu sehat bukan buat main-main jadi jagoan.” Sadewa mengingatk
Untungnya hari Senin di minggu berikutnya sekolah diliburkan. Para guru sedang melakukan persiapan untuk lomba hari kemerdekaan. Ia jadi bisa membuat janji belajar memasak di rumah Dirga.Sebelum berangkat ke kantor, Sadewa mengantar Luna dulu. Satu hal yang Luna baru tahu, ternyata Dirga tinggal di perumahan di kompleks yang sama dengan apartemennya. Tempat tinggal Dirga adalah ruko dua tingkat yang di lantai bawahnya merupakan sebuah restoran, tepat di pinggir jalan besar yang mengarah masuk ke dalam kompleks. Mungkin ini sebabnya kenapa lauk makan siang Dirga selalu terlihat enak.“Wah, udah lama Papa nggak ke sini, nih,” kata Sadewa sambil melepas helm. Rambutnya yang keriting sudah berantakan dan mengikal dengan bentuk hati di tengah dahi. “Papa sama mama dulu sering makan di sini.”“Masa? Terus, kenapa sekarang nggak pernah lagi?&rdqu
Luna sudah berulang kali diberitahu oleh Papanya tentang kekuatan dahsyat dari kristal matahari, dan hari ini ia hampir menghancurkan kakinya sendiri.Saat bola cahaya ditembakkan, tanah di bawah kakinya meledak, menghamburkan butiran kerikil , debu, dan pasir. Luna terhempas beberapa meter ke belakang. Untungnya, ia mendarat di tanah yang cukup lunak dan ditumbuhi rumput, sehingga rasanya tidak terlalu sakit.Ia merasa lega ketika mendapati kakinya masih ada dua dan sudah bisa bergerak lagi. Ujung sepatu barunya tergores dan berbau hangus, tetapi hal itu lebih baik daripada kakinya yang hilang, apalagi harus ditelan hidup-hidup oleh cairan aneh itu.Kumpulan debu yang berterbangan perlahan mulai mereda. Luna melihat sosok hitam itu masih ada di sana, bahkan rasanya semakin besar saja. Ia butuh waktu agar otaknya bisa memproses kejadian yang baru saja ia hadapi, Tenggorokannya terasa kering begitu menyadari wujud seb
Pin baju murahan.Luna sering menonton acara TV di mana ada orang diberi pilihan yang akan membawanya untuk mendapatkan hadiah-hadiah mahal seperti mobil, motor, atau bahkan rumah. Kebanyakan dari mereka selalu berakhir dengan tidak mendapatkan apa-apa, atau bisa disebut juga zonk.Sekarang ia merasakan kekecewaan yang sama. Seperti sebuah zonk.Beberapa kalipun Luna berusaha mengamati, benda di depannya itu tetap sebuah pin baju kecil murah yang bisa dibeli di penjual kaki lima dengan harga dua ribu rupiah.Pin itu sebenarnya tidak terlalu jelek. Bahkan mungkin cukup keren untuk dipasang di baju atau topi kalau saja benda itu masih baru. Bentuknya berupa huruf G berwarna perak metalik yang sayangnya sudah kusam. Di ujungnya yang melengkung, ada bagian yang nampak meleleh dan menghitam seperti terkena api.“Pin ini jatuh waktu Garda Patriot nolong aku.” kata Dirga. “Mer
“ Anak saya nggak apa-apa kok. Nggak, Luna nggak ada luka sama sekali.” Sadewa mondar-mandir di kamar sambil bicara dengan ponselnya , sementara Luna duduk di sofa panjang ruang televisi dan melihat Papanya dengan pandangan hampa. Rambutnya yang tebal sekarang kusut seperti sabut kelapa karena tidak disisir selama berhari-hari, wajahnya juga semuram pikiranya saat ini. Sudah hampir seminggu sejak kejadian itu dan Luna akhirnya benar-benar mogok sekolah. Ia selalu menangis bahkan terkadang menjerit setiap kali Sadewa membangunkannya di pagi hari. Makanan yang setiap hari dihidangkan di depannya hampir tidak tersentuh. Di malam hari, Luna tidak bisa tidur. Meskipun selalu berdoa di waktu malam, ia selalu bermimpi buruk. Sadewa sudah berusaha keras untuk membujuknya sampai akhirnya ia menyerah. Dua hari terakhir, ia membiarkan Luna apa adanya seperti sekarang ini. “Nggih,
Pagi esok harinya adalah yang paling sulit.Luna mati-matian melawan keinginan untuk tidak sekolah. Ia berjanji untuk tidak akan menangis lagi. Obrolan dengan Papanya kemarin sudah membuatnya membulatkan tekad, ditambah bayangan tinggal bersama dengan Tante Mia entah kenapa begitu menghantuinya kali ini.Sebenarnya kalau semua baik-baik saja, tidak terlalu buruk juga kalau tinggal bersama Tante Mia.Tante Mia sangat memanjakannya. Di rumahnya yang besar dan berlantai dua bagai istana, Luna diperlakukan seperti seorang tuan putri. Ia bebas mengambil kue-kue kering atau permen cokelat yang ada di ruangan makan.Makanan,pakaian, atau apapun yang Luna inginkan, semuanya akan tersedia dengan cepat hanya dengan perintah Tantenya yang seperti sebuah sihir.Masalahnya, ia tidak bisa membayangkan setiap hari akan melihat wajah si Tante yang seperti gabungan antara nenek sihir
Dirga bilang ada rahasia pin garda patriot, tetapi Luna tidak yakin. Sayangnya, sebelum Luna bertanya lebih lanjut, Ibu Win sudah masuk ke kelas. Rahasia apa yang bisa ditemukan Dirga di dalam pin itu? Peta markas kelompok itu? Alat komunikasi untuk memanggil mereka? Atau sesuatu yang kalau ditekan di pin, benda kecil itu bisa meledak seperti bom? Rasanya semua kemungkinan yang dipikirkan Luna hampir mustahil. Di jam pertama ternyata ada ulangan matematika, tentu saja Luna belum belajar. Dengan lesu, Ia mencatat soal yang tertulis di depan kelas. Semuanya ada lima, tentang perbandingan dan skala. Dua soal pertama Luna cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi untuk tiga yang lain, ia kebingungan. Luna diam-diam melirik Dirga. Temannya itu bekerja dengan tenang dan santai, seolah-olah semua soalnya hanya satu tambah satu sama dengan dua. Sesaat, Luna tergoda untuk melirik kertas jawaban Dirga.
Apa sih yang Dirga lakukan sampai dikejar seperti tukang copet? Luna berlari ke lift yang ada di tengah lorong apartemennya, lalu menekan tombol agar lift itu naik. Dengan tidak sabar ia menunggu pintunya terbuka, tetapi angka penanda lantainya bergerak ke atas dengan sangat lambat. Tidak ada waktu lagi. Semakin lama ia berdiri di sini, entah apa yang akan terjadi kepada Dirga. Jadi Luna terpaksa memilih alternatif jalan lain yang kurang disukainya: Tangga darurat. Tangga itu sempit dan curam, jelas bukan pilihan pertama untuk orang yang sedang terburu-buru. Penerangannya juga suram. Luna menuruni tangga secepat mungkin sambil berhati-hati menjaga langkahnya agar ia tidak terpeleset. Walaupun ingin segera sampai ke bawah, turun sambil jatuh berguling-guling jelas bukan ide yang bagus. Udara di sana juga pengap dan berbau cat yang menyengat. Orang biasa mungkin bisa pingsan kalau mereka menuruni dua belas lan