Share

Pabrik Awan

Udara dingin menggesek wajah Nod dengan kuat. Gravitasi di tempat ini menarik dirinya kian mendekati atap menara besar di bawah sana. Tubuhnya terpental masuk melalui cerobong asap yang menjunjung tinggi di atmosfir Luxavar. Udara berwarna jingga mengepul dari cerobong yang sama.

“Oh! Tidaaak!”

Teriakan Nod bergema sepanjang lorong panjang yang mengantarnya masuk kian dalam. Asap kuning lebih pekat di tempat yang lebih dalam, tapi dia sama sekali tak merasa kepanasan. Malah sebaliknya, dia merasakan hawa yang sejuk menerpa kulitnya.

Kedua tangan Nod sibuk meraih apa pun untuk mencegahnya terperosok semakin dalam ke cerobong itu. Baru kali ini dia begitu membenci gravitasi. Cerobong itu mengantar tubuhnya ke sebuah wadah besar yang di dalamnya berisi cairan kental. Tubuhnya kandas seumpama permen yang tercelup ke dalam susu berwarna jingga. Dalam keadaan panik ia berusaha berenang menuju tepian wadah.

“Cairan apa ini?” Nod menggapai tangannya ke penyangga terdekat.

“Siapa itu?” Suara seseorang wanita terdengar dari balik dinding batu. Kepalanya terjulur dari jendela di sisi wadah tak lama setelah Nod berhasil membasuh wajahnya dengan cairan oranye pekat itu.

“Aku? Aku tadi terpental dan jatuh ke sini.” Nod masih menyeimbangkan tubuhnya yang berada di dalam wadah berisi cairan setinggi dadanya.

“Aku bertanya kau siapa?” tandas wanita itu lagi.

“Aku….” Nod ragu menyebutkan namanya. Apakah dia akan terbunuh kalau diketahui?

“Kenapa? Lupa dengan nama sendiri?”

“Likos.” Nod mendadak ingat nama Likos dan menyebutkan saja secara asal nama tadi.

“Likos apa? Apa yang kau lakukan di sini?” tanya wanita gemuk itu dengan wajah penuh ancaman.

“Aku Likos hmmm… Greinthlen,” jawab Nod makin terbata.

“Aku tidak tahu kalau Profesor Greinthlen masih memiliki keluarga yang masih hidup,” gumam wanita tadi.

“Aku paman jauhnya,” kata Nod mencoba membenarkan.

Untungnya wanita tadi tidak begitu peduli dengan jawaban Nod. Rambutnya yang keriting tak beraturan menutupi separuh wajahnya. Sementara bagian wajah yang lain ditutupi benjolan merah. Krim berwarna hijau dibubuhi pada bagian tersebut. Nod heran bagaimana bisa ada orang yang begini tidak terawat di tengah peradaban yang sedemikian maju. Dia tidak mungkin rokern, pikir Nod. Rokern tidak mungkin segemuk itu. Tidak ada orang yang mau membuat rokern sejelek itu—tentu saja. Kecuali Louie—mungkin.

Nod berhasil melepas ikatan tas Kaltor yang sudah terendam cairan berwarna jingga tadi dengan susah payah. Dengan penuh perjuangan dia menggapai pijakan di pinggir bejana. Ketika dia mencoba turun dari wadah yang tergantung itu, dia mendengus kecewa. Nod bahkan tidak bisa melihat dasar bangunan yang gelap di bawah tersebut.

“Kenapa? Mau lari?” tanya wanita itu. Matanya menyiratkan ekspresi curiga. Ia berkacak pinggang sambil menjelit ke arah Nod yang kini mencoba menyelinap di sela wadah-wadah dengan cairan lengket tadi. Tidak ada lubang yang cukup lebar baginya untuk bisa keluar dari tempatnya sekarang berdiri. Dia terus memaksakan dirinya agar bisa keluar dari celah sempit itu. Separuh badannya masih tersangkut di dalam. Sepertinya dia mulai kesulitan mengeluarkan tubuhnya dari sana.

“Kau di sini rupanya!” Fibrela datang dari arah belakang wanita itu. “Maaf sudah mengacaukan awanmu nona, kami tadi diserang Cerecza. Aku sedang membawa rokernku ke Balorop. Kami melakukan beberapa modifikasi untuk rokern terbaru. Aku Fibrela Greinthlen. Kau bisa mampir ke tempat kami lain kali jika mau.”

“Fibrela Greinthlen?” ucap wanita tadi separuh mengernyit. “Aku kenal dengan ayahmu.”

“Haha, tentu kau kenal dia,” jawab Fibrela sambil menarik tangan Nod keluar dari lubang tadi. “Dia pendiri Balorop.”

“Dia rokern barumu?” tanya wanita yang tidak diketahui namanya itu. “Dia mengaku paman jauhmu.”

“Iya, ada beberapa sistem yang rusak. Dia jadi suka berbohong sekarang,” Fibrela melangkah menjauhinya.

Nod mengernyit ke arahnya. Bagaimana mungkin dia dianggap rokern? Benar-benar menjatuhkan harkat dan martabatnya sebagai manusia daratan. Terlebih anak itu menyebut dia suka berbohong. Walau dia mengatakan hal-hal tidak benar sebelumnya, itu karena dia terdesak.

“Kami harus pergi. Sampai jumpa lain kali ya,” ujar Fibrela sambil membantu Nod keluar dari cairan tadi.

“Tunggu,” sela wanita itu lagi.

Fibrela diam seraya berbalik. “Ya?”

“Kau sudah merusak larutan awanku. Kau harus mengganti rugi,” kata wanita tadi.

“Hmm... aku rasa kerusakan kecil ini tidak akan terlalu mempengaruhi warna awan kan? Kurasa para atlic tidak akan keberatan warna birumu berbaur dengan sedikit merah.”

“Tentu saja berpengaruh. Satu tetes warna bisa menimbulkan kemarahan publik. Kau tahu Para Kanselir akan murka bila warna awan mereka tiba-tiba jadi hijau lumut, kan?”

“Mereka tidak akan tahu sampai hujan membersihkan jejaknya,” timpal Fibrela.

Wanita tadi merengut sinis. Dia terlihat belum mau mengalah. Rambut ikal dengan corak kelabu itu membuat wajahnya tampak lebih buruk lagi.

“Tapi baiklah,” lanjut Fibrela. “Aku punya ramuan penumpas uban yang pasti sangat kau minati. Kau bisa ke Luxy besok. Aku akan mengirim pesan ke mereka. Siapa namamu?” tanya Fibrela.

“Aku tidak mau ramuan penumpas uban, aku mau paket kecantikannya,” jawabnya lagi.

Fibrela menghela napasnya. “Satu gentong cairan awanmu itu tidak sebanding dengan paket kecantikan di sana. Lagian rambutmu lebih membutuhkan ramuan itu ketimbang paket kecantikan lain,” tawar Fibrela lagi. “Tapi jika masih tidak mau, aku terpaksa mengganti larutan awanmu.”

Fibrela melangkah pergi. “Eits,” cegat wanita itu lagi, “Griva. Besok di Luxy aku minta lima botol penumpas ubanmu.”

“Dengan senang hati,” kata Fibrela sambil tersenyum lembut dan merunduk pergi.

Sekarang dia harus jadi mengganti rugi larutan awan akibat ulah Nod. Fibrela bergegas meninggalkan tempat tadi sebelum lebih banyak lagi Atlic yang melihat mereka. Mereka menelurusi lorong panjang sampai akhirnya menemui akhir dari lorong itu.

“Lompatlah!” perintah Fibrela. Ketika mereka tiba di ujung lorong, hanya ada jalan menuju ke bawah. Nod tidak dapat melihat ada apa di bagian bawah.

“Kau gila! Aku bahkan tidak bisa melihat ujungnya.”

“Terserah kalau kau mau lebih lama di sini!” Fibrela pun melompat turun.

“Woi!”

“Turunlah cepat!” Nod mendengar teriakan Fibrela yang menandakan dia akan selamat jika ikut melompat.

Nod pun mengikutinya. Tapi lompatannya tidak semulus Fibrela. Dia masih harus bertubrukan dengan wadah yang berisi cairan hijau, biru, dan merah. Tak lama kemudian ia terjerembap di atas lemari putih yang berwarna seperti porselen. Fibrela sudah berdiri tak jauh dari lemari tadi. Ada lingkaran yang lunak di dekat dia jatuh. Fibrela tampaknya terpental ke sana makanya dia terlihat baik-baik saja.

“Di mana kita?” Nod masih meringkik kesakitan.

“Ruang pengendali gravitasi. Ayo turun! Aku tidak punya waktu menunggumu bertengger di atas sana.” Fibrela berjalan pergi.

“Kau bilang aku bertengger?!”

“Terserah, kalau kau menganggap itu bekerja keras sekalipun.”

Nod melompat turun, tapi ia merasakan tubuhnya amat berat sekali. Lebih berat dari membawa dua karung gandum. Lebih berat lagi dari itu. Dia merasa tubuhnya tergencet sesuatu. Langkahnya terseok-seok. Perlahan-lahan separuh tubuhnya tak bisa terangkat lagi, kemudian seluruh tubuhnya melekat ke lantai karena dia begitu tak berdaya mengangkat tubuhnya lagi.

“Fibrela, tubuhku mengapa sangat berat?” tanyanya berusaha mengangkat kakinya.

Fibrela berbalik, wajahnya tiba-tiba tampak serius seakan Nod akan berubah menjadi macan yang hendak menerkamnya. Matanya menghunjam ke leher Nod.

“Kau masih mengenakan kalung yang kuberikan, kan?” tanya Fibrela.

Nod langsung mengelus lehernya dengan susah payah. Mulus. Tidak ada sesuatu yang tergantung di lehernya.

“Tidak, kalungnya mungkin terlepas saat aku terjatuh tadi. Memang kenapa?” Nod ikut panik melihat ekspresi Fibrela.

“Kan sudah kubilang, kau akan mengalami hal mengerikan kalau kau melepas benda itu.” Fibrela berceloteh sambil mengutak-atik mesin kubus berbahan seperti porselen tadi, berharap mendapat petunjuk yang bisa dipakai untuk melepaskan Nod dari tarikan gravitasi tersebut.

Lemari itu bukan lemari biasa, tapi sebuah mesin besar yang di dalamnya terdapat jutaan konfigurasi pengatur gaya gravitasi. Sementara kepala Nod sekarang tak bisa digerakkan lagi dari lantai. Dia bersungut-sungut bangkit dari lantai dengan berat. Dia tidak pernah merasakan tubuhnya begitu sulit diangkat.

Samar-samar terdengar suara Cerecza yang berseru mendekati mereka. “Cerecza akan datang menangkapmu.” Fibrela mendongak ke segala arah menerka kegaduhan dan desing mesin yang bergema mendekati mereka. Cerecza itu pasti sudah mengendus keberadaan manusia daratan di tempat ini.

“Mudah-mudahan ini benar,” kata Fibrela seraya menghela napas, dan dengan ragu-ragu ditekan tiga kali tombol itu.

Seakan semua berat tubuh Nod hilang. Kakinya tidak lagi ditelan lantai itu. Melainkan sekarang semua benda yang ada di ruangan itu melayang, termasuk Fibrela. Nod langsung menarik tubuhnya agar tidak melayang lebih tinggi. Dengan mengurangi gaya gravitasi tersebut, membuat penghuni tempat ini lebih ringan. Nod masih mempertahankan tubuh Fibrela yang bergelantungan ke atas.

“Aku akan ke atas mengambil kalung itu. Kau tunggu di sini dan jangan sentuh apa pun!” Fibrela berbisik separuh mengancam.

Nod menunggu di bawah membenarkan tubuhnya yang sempat terseret ke lantai yang kasar. Tubuhnya terasa lebih ringan dari seharusnya. Tampaknya Fibrela menurunkan gaya gravitasi terlalu besar.

Semenit kemudian Fibrela turun dengan tubuh bersimbah cairan yang sama dengan Nod.

“Cepat pakai!” Fibrela melayangkan seuntai kalung ke arah Nod. Dia kemudian melompat menuju ke mesin awal. Ditekannya tiga kali dan tubuhnya segera terempas ke bawah. Nod menarik tangan Fibrela sambil menyengir polos. Sekarang keduanya berpoles cairan kental kekuningan di sekujur tubuh mereka.

Mereka langsung bergegas meninggalkan ruangan tersebut.

“Bagaimana kau bisa mengatur benda tadi?”

Dengan terburu-buru Fibrela menarik tangan Nod menjauhi pintu kaca yang terarah ke lorong panjang di luar. Ada segerombol atlic melaju melewati lorong tersebut. Mereka memakai pakaian aneh yang seragam. Tampaknya mereka pekerja di tempat ini.

Fibrela menahan napasnya seraya mempertahankan Nod tetap menunduk di balik pintu. Setelah rombongan atlic tadi berlalu, mereka segera melintasi jalan tadi menuju ke arah luar.

Sekarang Nod mulai paham. Tanpa kalung Atlic yang diberikan Fibrela, Luxavar dengan sendirinya dapat mendeteksi keberadaannya dan mengutus Cerecza untuk menangkapnya. Dia tidak tahu apakah seluruh Luxavar akan terpengaruh dengan pengaturan tadi. Dia hendak bertanya, tapi segera mengurungkan niatnya. Fibrela juga terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan bodohnya.

Mereka berlarian keluar melewati sebuah pintu besi di ujung lorong. Jalanan luas dengan pagar besi yang langsung berhadapan dengan terowongan kaca ke pusat kota terhampar di depan mereka. Meski begitu, Fibrela tidak langsung mengarah ke luar. Nod tahu alasannya saat melihat ada tiga atlic berusia remaja tengah mondar mandir di dekat pintu gerbang. Mereka segera merapatkan tubuhnya di balik tembok.

“Siapa mereka?” Nod ikut mengintip dari balik dinding.

“Para Kanselir. Kurasa mereka menyadari keberadaan kita di sini,” ucap Fibrela. Dia bernapas terengah. Mereka tidak bisa keluar seperti ini.

“Mereka mau menangkapku jika menemukanku di sini?” Dia ikut mengamati gerak-gerik atlic di luar sana. Mereka sedang ngobrol sambil tertawa.

“Mereka tidak hanya menangkapmu, Nod,” jawab Fibrela. “Mereka akan membawamu ke tempat paling mengerikan di dunia ini dan menghabisimu dengan kejam.”

“Begitu mengerikankah tempat itu?” Nod bertanya polos.

Fibrela melirik Nod setengah heran.

“Berdoalah semoga itu tidak mengerikan bagimu, Nod.”

“Malangnya diriku. Ada begitu banyak orang yang begitu tertarik menangkapku.”

Fibrela menyergah tubuh Nod agar dia tidak lengah dari pemantauan para kanselir. Selang beberapa menit, para atlic tadi meninggalkan gerbang depan. Mereka berpencar dan mulai berpatroli.

“Kita keluar.” Fibrela berbisik sambil mengendap-endap ke gerbang utama tadi.

Ada penjaga yang berdiri tegap di dalam posnya. Dari perawakannya, Nod yakin mereka bukan manusia. Fibrela tidak akan keluar jika itu memang atlic. Rokern tidak akan menghalangi mereka keluar seperti atlic.

“Pakaian kami kotor,” kata Fibrela. “Kami harus keluar untuk membersihkan diri.”

Tanpa memberikan jawaban, pria muda tadi segera membukakan mereka pintu. Jalan panjang menuju ke mulut terowongan mengaga di depan mereka. Deretan pohon memenuhi sekeliling tempat tersebut. Tidak banyak atlic berlalu lalang di tempat ini.

Gedung Balorop berada sekitar dua blok dari tempat mereka saat ini. Tapi sebelum mereka mencapai tempat tadi, sosok pria tua yang bernama Louie itu langsung menuju ke tempat Nod dan Fibrela. Kedua tangannya memegang dua handuk berwarna putih. Dia menyerahkannya pada Nod dan Fibrela.

Handuk tadi tidak terbuat dari kain biasa. Benda itu sehalus katun. Ada serat yang bisa mengikat segala jenis kotoran dan cairan hanya dengan diusapkan saja ke permukaannya. Cairan kuning di pakaiannya langsung kembali ke warna semula tanpa perlu cairan pembersih.

“Mengapa kalian tidak membuat pakaian yang bisa membersihkan sendiri saja?” tanya Nod seraya memasuki paus besi yang bisa terbang itu.

Fibrela sudah membersihkan seluruh pakaiannya tanpa bekas.

“Mengapa kalian justru membuat kain ajaib yang bisa menyerap segala jenis kotoran ini?” tanya Nod lagi.

“Kau mau memakai pakaian yang sama seumur hidupmu?” tanya Fibrela acuh tak acuh.

Nod menggaruk kepalanya. Kali ini dia membersihkan rambutnya yang masih berbau lembap.

“Tidak perlu seekstrim itu juga,” jawab Nod.

“Kalau begitu jangan banyak tanya.”

“Tapi benda ini benar-benar hebat. Sekarang seluruh cairan sudah tidak lagi bersisa.” Nod mengelus pakaiannya penuh kekaguman.

“Jangan sebut apa pun dengan nama benda, benda aneh, atau sesuatu. Itu bisa menarik kecurigaan para atlic.”

Nod merengut. Baru kali ini dalam hidupnya, dia bisa ditegur oleh bocah ingusan penghuni kerajaan bawah laut ini.

Yunish melayang cepat meninggalkan menara stasiun klimatologi. Kali ini langit berwarna biru muda dengan sinar bergaris-garis yang redup. Awan putih bersemai lembut. Nod agak bingung dengan pemandangan tadi. Tapi dia tak mau mempermasalahkannya. Lebih baik dinikmati saja, pikirnya.

“Bukankah tadi masih pagi?” Nod seraya memandang ke langit yang biru, menjelang petang.

“Sehari di Luxavar sama dengan 12 jam di daratan,” jawab Fibrela.

“Jadi, kalian makan berapa kali sehari?” tanya Nod yang membuat Fibrela kesal lagi.

“Ternyata benar ya, penghuni daratan sangat menyukai proses makan.”

“Memangnya kenapa? Kalian punya waktu dua kali lebih cepat daripada di daratan. Wajar saja jika aku bertanya tentang hal yang vital ini.”

“Kami tidak memiliki jam makan yang tetap. Biasa kami makan dua kali sehari.” Fibrela menarik setirnya sambil sesekali meladeni komentar dari Nod.

“Berarti seharusnya umurmu menjadi lebih tua?” tanya Nod kembali dengan pertanyaan barunya.

“Tidak. Kami memiliki 60 hari dalam satu bulan,” jawab Fibrela.

Yunish melaju pelan dan rendah mendekati pusat kota. Kali ini Louie yang mengemudikan yunish.

“Kita kembali ke Balorop lagi?” tanya Nod.

Fibrela berpikir sejenak sebelum akhirnya mengatakan, “Ya. Aku tidak punya waktu untuk ke xefle. Ada rapat penting yang harus kuhadiri dan aku belum menemukan Paerovy sampai sekarang.”

Nod mengangguk sambil menyeka bercak cairan jingga di celananya yang belum mau lepas walau sudah diusap berulang kali.

“Kau bisa membersihkan diri di ruanganku nanti,” timpal Fibrela yang sudah menebak ketidaknyamanan yang disiratkan Nod. Hanya sebagian tubuhnya yang berhasil dibersihkan dengan handuk pemberian Louie tadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status