Share

Surat dalam Botol

34-06-81

Semilir angin berembus lembut membujuk Nod untuk beralih dari renungan panjangnya. Meski begitu, dia enggan melepas kenangan itu. Perjalanan panjang yang telah dilaluinya akan selalu membekas di sana. Mengukir hingga ke relung hati yang paling dalam. Lembut nan pasti, bayangan akan wajah mereka kian memudar bersama kabut. Membumbung tinggi dan menyatu bersama gumpalan awan.

Nod duduk seraya menyalakan dua lilin di atas potongan kue tart mungil yang berwarna jingga, menjaganya dengan telapak tangan agar cahaya tersebut tak padam ditepis angin kencang. Lalu dia mulai membuka kotak kayu di sampingnya. Menarik dua lembar kertas yang telah berisi barisan pesan di dalamnya.

Hania yang manis,

Selamat ulang tahun. Semoga ulang tahunmu kali ini membuatmu semakin bahagia. Tetaplah menjadi anak yang baik, Hania. Jaga ibumu. Ayah merindukanmu.

Ayah

Untuk Regan tercinta,

Mimpi indah yang diciptakan tadi malam seperti ungkapan penyertaanmu dalam hidupku. Aku ingin kau selalu hadir seperti itu. Selalu indah dan menawan. Kerinduan besar yang tak bisa kubendung hanya dapat kuungkapkan lewat sepucuk surat ini. Reganku yang kusayang, kenangan kita akan senantiasa abadi seperti samudera yang membentang ini. Semoga engkau selalu bahagia di sana.

Nod

Nod menggulung kertas berisi surat tadi dan memasukkannya dalam sebuah botol kaca. Sumbat karet menutup bagian dalam botol hingga kedap udara. Dengan sekuat tenaga, Nod melempar botol yang berisi lembaran surat tadi sejauh mungkin. Botol tadi lenyap bersama gemuruh ombak. Hanyut terbawa arus air menuju ke tempat yang tak dapat diterka.

Cuaca sore yang mendung turut menambah kelusuhan hatinya. Terlihat benar wajahnya yang sedang kalut itu. Saat ini usianya sekitar 35 tahun, dan akan tampak lebih tua 10 tahun jika dia terus memasang ekspresi seperti itu.

“Mereka tidak akan bangkit meski laut ini kau penuhi dengan botol suratmu!” ujar seorang pria paruh baya yang sejak sepuluh menit tadi mengamati Nod dari kejauhan. Dia melangkah melewati hamparan semak dan batu karang menuju ke tempat Nod.

“Aku tahu Regan mendengarkanku, Likos,” ucap Nod sambil menyeka air mata yang sempat bergulir di pipinya.

“Dia mendengarkanmu, Nod,” tukas Likos. “Tapi dia juga tidak ingin kau hidup seperti ini.”

Nod menggeleng.

“Kau melayangkan jutaan surat hanya demi memuaskan obsesimu,” timpal Likos.

“Aku yakin dia mendengarkanku,” kata Nod berkeras. “Dia membalasnya dalam mimpiku.”

Dia meraih potongan kertas surat dan menyusun ulang urutan surat yang ditulisnya sejak berminggu-minggu yang lalu. Angin kencang menerpa lembaran surat tadi sehingga Nod harus mengurutkannya lagi. Kemudian dia meninggalkan potongan kue tart tadi di atas batu. Biasanya akan ada hewan-hewan sekitar yang menghabiskannya.

Likos mengambil botol yang masih tergeletak di atas batu dan menyerahkannya pada Nod dengan raut prihatin. Dia tersenyum miris menyaksikan Nod begitu tekun melakukan ritual surat tak berbalas tersebut. Hanya saja, Nod tidak pernah mau menggubris ucapan temannya itu.

“Aku rasa… kau mulai gila,” gumam Likos.

Nod sedikit menoleh ke arah temannya. Dia menatap sinis tak berkedip sampai akhirnya pria paruh baya itu melanjutkan lagi, “Aku mengerti kau merasa kesepian, tapi bukan begitu cara mengisi kepergian.”

“Aku menikmati tugas ini,” pungkas Nod. “Bila mengiriminya surat juga menjadi suatu hal yang terlarang, aku tidak tahu dengan cara apa lagi aku menebus kehilangan itu.”

Likos menepuk bahu Nod berusaha menenangkannya. Dia terlihat enggan melakukan hal tersebut jika perkataannya justru menyulutkan kemarahan Nod.

“Aku tahu kau tidak suka membicarakan masalah ini padaku,” bisik Likos. “Aku juga tak suka menceritakan hal ini pada sesama pria. Menurutku pembicaraan ini bukan untuk pria, tapi sepertinya kau butuh seseorang yang bisa menggantikan keberadaan keluargamu itu.”

Senyum tipis merekah di wajah Nod. Matanya mengerjap ketika cahaya matahari berhasil meloloskan diri dari gumpalan awan. Cuaca mendung urung menghampiri mereka. Nod bergegas melangkah menuruni tanah berbatu di hadapannya. Lagi-lagi dia tak mengacuhkan celoteh Likos. Pasir basah dan percikan busa laut menerpa jemari kakinya yang pecah-pecah.

Dengan perlahan dia memilah pijakan yang mengantarnya menuju area yang lebih datar di bawah. Kotak berisi botol dan kertas surat tadi dipeluk dengan erat agar tidak terkena air laut. Nod berhasil mencapai tanah berpasir yang lebih kering diikuti Likos yang menandak-nandak berusaha menghindari bagian batu karang yang tajam.

“Nod, aku punya teman wanita yang kujamin kau pasti suka,” ujar Likos. “Aku bisa memperkenalkannya padamu. Dia sangat cekatan dan pandai mengurus rumah tangga. Aku yakin kalian pasti sangat cocok.”

Nod tetap melaju tanpa menggubris tawaran Likos. Dia masuk ke dalam mobil bak besarnya yang bertengger di tepi jalan. Likos langsung meluncur dan melompat masuk ke jok sebelahnya. Lirikan tajam terhunus ke arah Likos yang segera dibalas dengan cengiran polos.

“Gadis itu sudah mapan dan dia sangat mandiri—kurasa,” lanjut Likos.

“Likos, keberadaan Regan tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapa pun,” lontar Nod tegas. “Jika kau masih akan terus membicarakan masalah perempuan itu, kau bisa turun di sini.”

Likos menggaruk dahinya sambil tetap tersenyum kecil. Gertakan Nod membungkam mulutnya.

“Aku akan meninggalkan tempat ini,” kata Nod setelah suasana kembali tenang.

“Kau yakin akan pergi dari sini?”

Nod mengangguk.

“Sudah tidak ada yang tersisa di sini,” ucap Nod.

Keduanya kembali termenung. Pikiran akan perpisahan merasuki khayalan mereka. Nod tidak pernah bermimpi akan melepaskan semua kehidupan yang telah berpuluh-puluh tahun dijalaninya di tanah perantauannya itu.

“Kau sedih karena tempat ini mengingatkanmu akan Regan dan Hania,” ucap Likos. “Aku paham. Itu juga keputusan yang baik. Jadi kapan kau akan berangkat?”

“Margipa bilang aku bisa ikut dengan kapalnya besok,” ucap Nod lagi.

“Secepat itu? Aku bisa ikut?” tanya Likos.

“Aku mau kembali ke tanah kelahiranku, kau yakin mau ikut?” tanya Nod mengerling heran.

“Jika hal itu bisa membuatmu berhenti menyuguhkan kue tart untuk kancil rakus di sana, aku tidak keberatan ikut denganmu,” jawab Likos.

Nod tertawa.

“Sebaiknya kau bergegas jika tidak mau ketinggalan.”

Likos mengangguk dengan semangat.

“Tapi aku serius, lebih baik kau berhenti melakukan ritual aneh itu,” lanjut Likos. “Hal itu justru membuatmu makin tidak waras. Kau tidak benar-benar berpikir mereka akan kembali kan? Maksudku, kita harus berpikir realistis. Sesuatu yang sudah hilang tak akan bisa kembali.”

“Terlepas dari dia merasakannya atau tidak, hal itu menenangkan jiwaku. Itu mengobatiku.”

Perjalanan mereka membelah sabana kekuningan menghanyutkan mereka dalam lamunan yang panjang. Mobil Nod berderu keras menembus jalan kering yang berdebu. Kerikil kecil berdenting ketika ban mobilnya menggilas permukaan tanah. Lahan bergelombang menyambut mereka menyusuri bukit berpasir di sisi jalan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status