Hanya suara denting sendok yang terdengar. Makan malam yang aku kira akan ramai dengan teman-temannya Bu Fera ternyata sama sekali salah. Di ruang makan bernuansa lesehan ini, hanya ada aku, Aluna, Bu Fera dan Pak Banyu. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang didesain khusus. Rupanya selain ruang makan dengan kursi dan meja biasa, di teras dapur juga ada tempat bersantai yang memiliki tempat makan lesehan. Setelah kepulangan Pak Banyu tadi, Bu Fera langsung menggiring kami ke ruang makan.
“Ayo yang banyak makannya, Jingga. Ini ikan salmon yang dimasak Bi Sesa itu sangat enak.” Bu Fera hendak mengambilkan potongan ikan salmon lagi ke piringku.
“Saya sudah kenyang, Bu … makasih.” Aku bukan sudah kenyang sebetulnya, tapi sudah tak nyaman. Sejak kedatangan Pak Banyu, semua jadi terasa canggung apalagi sikap diam dan juteknya Pak Banyu mendominasi. Hanya Bu Fera saja yang mengajakku mengobrol sejak tadi.
“Makan kamu kok dikit banget, Jingga, sebelas dua belas sama Banyu.” Dia melirik Pak Banyu. Rupanya Pak Banyu pun sudah meletakkan sendoknya di atas piring. Kini tangannya tengah meraih teko berisi air bening dan mengisi ulang gelasnya yang sudah kosong.
Aku hanya nyengir kuda. Bingung mau komentar apa. Kulirik jam pada pergelangan tangan, masih sore. Baru pukul setengah delapan. Aku pun sambil menunduk dan mengotak-atik ponsel untuk mencari-cari ojek online.
“Iya, Bu Fera. Alhamdulilah sudah kenyang. Selamat ulang tahun, ya, Bu Fera. Mohon maaf saya gak ngasih kado. Semoga panjang umur dan sehat selalu.” Aku mengucapkan ucapan selamat dan doa itu sekali lagi. Layar gawai masih terbuka dan kuletakkan di samping kananku saja. Sementara itu, aku menuang air dalam gelas dan meminumnya sedikit-sedikit untuk mengulur waktu.
Uhuk! Uhuk! Uhuk!
Kalimatku terjeda karena Pak Banyu terbatuk, tapi tak sepatah kata pun terlontar. Dia pun bangun setelah menyimpan gelas berisi air bening yang sisa setengah setelah melirik dengan tatapan seperti tak suka pada Bu Fera.
“Banyu!” Panggilan dari Bu Fera membuat langkah Pak Banyu terhenti. Dia menoleh.
“Apa?” Sorot matanya hanya lurus memandang ke arah Bu Fera saja.
“Nanti anter Jingga pulang!” Seketika ucapan Bu Fera membuatku yang sedang salah tingkah dan sejak tadi minum air yang ada dalam gelas bening sedikit-sedikit hampir tersedak.
“Ahm, gak usah, Bu! Saya naik ojol!” Aku menampik sambil menatap Bu Fera. Mencoba memasang senyuman setulus yang aku bisa, meski kuyakin gagal.
“Ojol? Pasti belum dapet ‘kan? Jam segini tuh tukang ojol susah. Di sini ada pangkalan opang di perempatan depan luar cluster. Jadi ojol-ojol jarang berani masuk dan ngambil trip dekat.”
Oh begitu rupanya? Pantas saja sejak tadi tak ada yang mengambil pesanan dari applikasi ojek onlineku.
“Hmmm … pantas saja. Kalau gitu, biar saya dijemput teman saya saja, Bu. Gak enak kalau merepotkan Pak Banyu.”
Pak Banyu pun mengangguk dan berlalu begitu saja setelah mendengarkan kalimatku.
“Ah gak repot, kok, Jingga. Biar Banyu sambil ngajak Aluna jalan. Banyu itu terlalu sibuk dengan hidupnya sendiri. Kasihan Aluna, Jingga.” Bu Fera bersikeras, walau Pak Banyu tampak secara tersirat pun menolak.
“Una, habis makan anterin Miss Jingga pulang, ya, bareng Papa!” Tanpa persetujuanku, dia langsung saja bertanya pada Aluna.
“Oke, Oma.” Aluna tampak sumringah.
“Duh …,” batinku. Hanya helaan napas pelan kuhembuskan.
Usai makan, aku pamit ke toilet. Padahal itu hanya alibiku saja. Aku mengambil gawai dan menghubungi Imelda.
“Hallo!” Tak menunggu waktu lama, dia mengangkat telepon aku.
“Mel, bisa minta tolong, gak? Jemput dong sekarang!” rengekku sambil berdiri di depan wastafel menatap pantulan diri di depan cermin. Kubetulkan kerudung segi empatku yang sedikit miring.
“Lah, katanya mau naik ojol! Sekarang aku lagi nganter Mama kondangan! Besok lagi ya aku jemputnya, sorry.”
“Oh ya sudah!”
Pasrah kututup telepon. Lalu keluar dari kamar mandi dan mencari-cari Bu Fera untuk pamitan. Tampak dia sudah ada di teras dan berbincang dengan wajah serius dengan Pak Banyu. Hanya saja aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, karena ketika aku mendekat, obrolannya pun berhenti begitu saja.
“Bu, saya pamit pulang!”
“Biar Banyu yang nganter, Jingga. Dia juga sekalian mau keluar? Iya ‘kan, Banyu?”
“Terserah Mama.”
Tuh kan, dia tuh gak mau. Bu Fera ini sukanya maksa. Aku melirik Pak Banyu, wajahnya masih dingin dan ekspresinya datar seperti tadi. Sepertinya hanya titah Bu Fera saja, tak ada sedikit pun lelaki itu berniat mengantarku.
“Gak usah, Pak, Bu … saya beneran sudah dijemput Imelda. Gak enak nanti kalau malah dianter, kasihan Imeldanya! Dia nunggu di depan. Permisi! Assalamu’alaikum!”
Aku pun memutuskan untuk keluar dulu saja dari rumah ini dan berjalan sampai gerbang depan lalu nyari ojek pangkalan.
“Wa’alaikumsalam!” Suara Bu Fera terdengar berat.
Aku pun melambaikan tangan pada Aluna dan mengulas senyuman sekilas, lalu berjalan tergesa meninggalkan rumah megah dengan gerbang tinggi ini.
Akhirnya lega .…
Cluster ini cukup besar. Aku harus jalan kaki cukup jauh untuk tiba di gerbang keluar yang hanya satu akses ini. Semoga saja besok si Vega-ku sudah nyala sehingga aku tak lagi kerepotan seperti ini. Nasib apes kayaknya masih berlanjut, gerimis pun mulai turun dan membuat aku harus mempercepat jalanku.
Tin! Tin! Tin!
Suara klakson terdengar. Aku menoleh dan tampak pajero sport warna hitam metalik melaju lambat beberapa langkah berjarak dariku. Tiba-tiba kacanya diturunkan dan menyembullah kepala Aluna.
“Miss! Ayo naik!” Suara Aluna terdengar.
Aku mematung dan menimbang sejenak. Kulirik lelaki yang duduk di samping Aluna yang hanya fokus pada kemudi.
“Naiklah! Saya antar!” Suara bariton itu seolah paham aku yang sedang ragu akan tawaran gadis kecilnya.
Gerimis yang beralih menjadi hujan, membuatku tak memiliki pilihan. Aku pun segera masuk dan duduk di kursi belakang. Kukira dia mau komplen dan memintaku pindah duduk ke depan seperti pada film-film yang aku biasa tonton. Hanya saja, rupanya aku salah. Dia langsung saja melajukan mobilnya tanpa mempermasalahkanku duduk di mana.
Sepanjang perjalanan, aku hanya mengobrol dengan Aluna, tak sedikitpun bercakap-cakap dengan Pak Banyu. Dia seperti bongkahan es yang baru keluar dari freezer. Dingin, kaku dan beku. Pantas saja meskipun kaya, tampan tapi masih menduda.
Perjalanan yang biasanya singkat ini, terasa amat lama. Aku bernapas lega ketika sudah mendekati rumah tinggalku yang kuhuni hanya berdua dengan Ibu.
“Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga.
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men