Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku.
Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang.
“Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!”
Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”
Mendengar obrolan Oma Fera dengan seseorang di seberang telepon membuat aku menerka-nerka arah pembicaraan mereka. Kok ada bilang sedang patah hati, jadi berasa aku yang sedang jadi bahan omongannya. Hanya saja, katanya Bunda baru buat Una, gak mungkin lah kalau aku yang dimaksud Bu Fera. Bukannya Ibunya Mas Bara pun bilang kalau aku hanya guru SD.
Miris! Apa salahnya kalau aku guru SD? Apa akan merugikan dia? Apa sehina itu kastaku di matanya? Apa karena aku masih belum PNS juga jadinya dipandang sebelah mata oleh Tante Vamela?
Ah sudahlah … mengingat mereka hanya membuat rasa sakit ini makin lama hilangnya. Andai boleh aku minta, aku ingin sekali amnesia parsial, cukup lupa bagian perihnya saja.
Otak yang tak fokus membuat kaki ini tak sengaja tersandung pada pot tanaman yang berjajar rapi di sekitar gazebo dan menimbulkan suara. Bu Fera jadinya menyadari kehadiranku. Wajahnya tampak sedikit terkejut, tapi kemudian kembali tenang dan bicara lagi dengan seseorang di seberang telepon dengan nada yang kali ini terdengar lebih santai.
“Mama tunggu di rumah. Jangan lupa kado ulang tahun buat Mama, ya! Assalamu’alaikum!” Dia pun mematikan panggilan.
“Jingga dari tadi?” Sorot mata itu memindai wajahku seolah hendak bertanya, apakah aku nguping obrolannya atau tidak? Ah, bukan … itu hanya perasaanku saja. Biasa, orang yang bersalah akan merasa dituduh dengan sendirinya.
“Ahm, baru saja, kok Bu Fera.” Tak ingin membuatnya merasa tak nyaman, akhirnya aku berbohong. Padahal sudah agak lama aku berdiri dan mendengar beberapa penggal obrolannya. Sepertinya dia bicara dengan Pak Banyu, lelaki yang baru kukenali dari bingkai foto wisuda yang terpajang di ruang keluarga.
Ya, semenjak aku ngajar less privat Aluna, belum pernah bertatap muka langsung dengan Pak Banyu. Pernah bicara melalui telepon pun seperlunya. Sepertinya dia memang orang yang benar-benar gila kerja, sampai-sampai akhir pekan seperti ini pun memilih ke kantor dan menghabiskan waktu seharian di sana.
“Ibu tinggal ke dalam dulu, ya, Jingga! Mau check itu Bi Sesa, sudah selesai belum masak untuk makan malamnya.” Bu Fera pun berlalu meninggalkanku dan Aluna yang kembali melanjutkan belajar. Sebetulnya waktunya hanya tinggal setengah jam lagi, tapi karena Bu Fera menahanku untuk makan malam di sini, jadinya aku mengajak Aluna belajar santai sambil bercanda ringan sampai habis waktu mengajarku di sini.
Ponselku berdering, panggilan masuk dari Imelda. Aku lupa, belum mengabarinya. Tadi pagi dia yang mengantarku ke sini karena sepeda motor vega R warna merah keluaran generasi pertama milikku (warisan dari almarhum Bapak) sedang dibengkel.
“Jingga Nirmala sahabat baikku, sorry … aku jemputnya telat. Ini baru habis dimintai tolong sama Mama dulu ngambil belanjaannya yang ketinggalan di grosiran. Sudah kelar dari tadi, ya? Duh duh duh sorry banget, ini masih di jalan pun. Tunggu bentar lagi, ya.” Suara Imelda terdengar di antara deru kendaraan di belakangnya.
“Syukurlah belum jalan ke sini, Mel. Aku juga minta maaf, lupa mau ngabarin. Aku pulangnya malem. Diajak makan malam dulu sama Bu Fera. Gak enak pun mau nolak.”
“Whatss?? Diajak makan? Wah, wah, wah … jangan-jangan ….”
“Hushhh! Jangan suudzon dulu kamu, Mel. Bu Fera ulang tahun.”
Dia terkekeh lalu melanjutkan kalimatnya yang tadi seperti sengaja dijeda,”Siapa yang suudzon pun? Baru bilang jangan-jangan, sudah nyimpulin sendirian.”
Aku memutar bola mata ke atas. Semenjak dia ikut nganter ke sini dan lihat foto Pak Banyu serta tahu statusnya duda. Terus saja Imelda menggodaku.
“Sudah dulu, ya! Ini aku mau ikutan maghriban dulu.”
“Eh tapi nanti kamu pulangnya gimana?”
“Aku pesan ojol saja nanti. Gak usah risau. Kalau mau nolongin, ambilin sepeda motorku saja di bengkel Bang Ako, besok biar sudah bisa dipake.”
“Jam segini, mana ada bengkel masih buka. Besok aku jemput seperti biasa saja.”
“Oh ya udah, deh, oke.”
“Eko.”
Aku memutar bola mata ke atas. Kebiasaan Imelda suka maen plesetan, oke jadinya eko.
Tut!
Panggilan pun berakhir.
Aku menatap layar gawai yang akhirnya redup setelah kutekan. Gawai yang harganya sekitar satu jutaan dan ramnya pun alakadarnya teman setia. Beruntung masih bisa kumiliki hasil menyisihkan dari gaji bulananku yang gak seberapa.
Kumandang adzan terdengar seiring dengan ditutupnya panggilan. Aku yang kini sudah berada di ruang tengah kembali minta izin untuk numpang shalat maghrib sambil nunggu acara dimulai. Hanya saja, kenapa belum ada tamu satu pun yang datang? Mungkin masih terlalu sore, ya? Atau hanya aku saja yang diundang? Ah, gak mungkin kan, ya? Aku gak se-spesial itu … ingat, katanya aku ini cuma guru SD.
Mulai deh, baper lagi.
Usai shalat maghrib, Bu Fera meminta bantuanku mendandani Aluna. Dia masih sibuk katanya. Kini di kamar Aluna-lah aku berada. Kamarnya luas, sepertinya satu setengah kali lebih luas dari kamarku. Meja belajar, lemari pakaian dan beberapa container kecil berisi mainan tertata rapi.
Aluna sudah memakai dress princess warna merah, kontras sekali dengan kulit putihnya. Cantik, manis, menggemaskan serta pintar. Aku pun menyisir rambutnya yang panjang sepinggang dan hitam legam. Kalau dilihat-lihat, Aluna ini seperti karbitan, tubuhnya yang bongsor, rambut lebat dan otaknya yang cepat tanggap membuatnya tak terlihat seperti anak usia enam tahun pada umumnya. Usai menyisir rambutnya, lekas kupasang mahkota kecil pada kepalanya.
“Yang ulang tahun itu Una atau Oma, sih? Kok Una yang cantik kayak princess gini? Oma pake juga gak ini bandonya?” Aku menggodanya. Dia tertawa kecil membuat lengkungan lesung pipi mempermanis senyumannya. Satu hal yang harus digaris bawahi, aku dan dia sama-sama memiliki lesung pipi. Namun senyumnya tak berkembang lama, dia menatapku seperti ragu-ragu lalu bicara, “Miss, Una mau kasih tahu sesuatu … tapi ini rahasia, ya?”
“Rahasia gimana?”
Aku menyimpan sisir pada tempatnya semula. Lalu menatap lekat wajah imutnya.
“Ahmm jadi gini, Oma itu sebenarnya ….”
Krieet!
Belum selesai Aluna bicara, pintu terbuka. Aku dan Aluna sama-sama menoleh, kukira Bu Fera yang datang. Namun cukup terkejut ketika yang muncul sosok lelaki yang masih menenteng tas laptop di tangannya. Kaca mata masih bertengger menghiasi hidung bangirnya. Bibirnya tampak merah alami, tapi tak terlihat seberkas senyum pun di sana. Hanya tatapan tajamnya dari balik kaca mata yang menatap ke arahku.
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men