Share

Bab 5

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2023-06-30 14:13:59

Deg!

Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habi rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang.

“Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”

Aku memijat pelipis, rasanya sebulan ini saja hidupku sudah terasa berat. Rasa sakit hatiku karena dikhianati keluarga Bara belum juga sirna. Belum lagi gunjingan yang aku tahu ramai di belakang. Ya, namanya hidup di pinggiran kota, aib seperti ini masih umum menjadi konsumsi para ibu yang berbincang setiap pagi di penjual sayuran.

“Aku gak mikirin dulu masalah pernikahan, Uwak. Lagian aku dan A Andi ini masih sepupuan. Kenapa harus jodohin kami sih, Wak? Lagian, ngapain juga Uwak mau mungut mantu orang gak punya kayak aku? Oleh keluarga Bara saja, kata Uwak, aku dibuang ‘kan?”

Aku melirik ke arah perempuan berbadan tambun yang kini berdiri di ambang pintu kamar Ibu. Masalahku saja masih runyam, bukannya ngasih solusi malah nambahin beban pikiran.

“Kamu jangan sewot gitu dong, Jingga. Uwak bicara betul ‘kan? Keluarga Bara itu kaya raya, Bapaknya saja pegawai di BUMN. Lah kamu, ngajar di SD juga masih honorer ‘kan? Gajinya saja gak seberapa? Jauh panggang dari pada api kamu sama keluarga mereka.”

Aku menarik napas panjang. Mencoba meredam rasa perih yang makin menjadi, lalu perlahan aku mengangkat wajah dan menatap tajam wajah Wak Tika.

“Wak, aku kira Uwak sudah berubah. Kalau mau hanya ngehina-hina aku dan Ibu, sebaiknya Uwak pulang saja!” Suaraku bergetar, menahan agar tak mengeluarkan kata-kata kasar. Bagaimanapun aku ini seorang pendidik, meskipun di rumah, citra sekolah akan tetap terbawa-bawa, tak peduli gajiku berapa, tak peduli statusku apa, tapi tanggung jawabku pada nama baik tetap sama. Aku adalah seorang guru.

Wak Tika tampak murka, matanya melotot tajam, bibirnya tertarik ke atas dan tersenyum merendahkan, “Secara gak langsung kamu ngusir Uwak, Jingga?”

“Aku gak bilang gitu, Uwak yang bilang sendiri.” Aku menjawab singkat.

“Ma, kok malah ribut sama Jingga, sih? Aku gimana?” A Andi muncul dan tampak menatap kesal pada Wak Tika.

“Sudah Mama bilang, kamu itu gak cocok sama Jingga. Dia itu bukan cuma miskin, tapi belagu juga. Ngapain sih, masih ngotot banget mau nikahin dia?” omel Wak Tika menatap kesal pada A Andi.

“Mama kok gitu, sih? Bukannya sudah janji mau lamarkan Jingga buat aku, Ma?” A Andi tampak kesal. Wak Tika terlihat memijat pelipis lalu melengos pergi begitu saja.

“Jingga, niat Aa tulus sama kamu. Datang jauh-jauh dari Purwakarta karena gak mau keduluin lagi seperti dulu si Bara. Aa beneran suka sama kamu, Jingga.”

Aku kembali mengatur napas, kulirik wajah Ibu yang tampak keruh juga.

“Sudah malam, A. Pulanglah … Aku masih belum mikirin lagi masalah pernikahan. Sakit hatiku saja belum sembuh, A. Lagian kita ini saudara … kita ini sepupuan, A. Sebaiknya gak usah terlibat urusan percintaan.” Aku bicara dengan menekan segala kegusaran.

“Sepupu itu boleh nikah, Jingga … Aa sudah tanya sama Pak Ustadz. Mau, ya! Kita nikah dan hidup bahagia setelah ini.” Wajahnya memelas dan langkahnya mendekat. Tanpa permisi dia hendak meraih tanganku, tapi aku menepisnya.

“A, maaf … aku gak bisa. Aku gak bisa nikah sama A Andi. Aku anggap Aa itu kakakku sendiri, mana bisa seperti ini. Lagipula, aku tak lagi mau mikirin pernikahan dalam waktu dekat. Aku masih trauma.” Aku bicara dengan tegas tapi hati-hati. Takut sebetulnya melihat wajahnya yang memang tampak serius sekali dan takut juga dia nekat dan ngapa-ngapain aku setelah ini. Bagaimanapun, aku hanya tinggal berdua bersama Ibu.

“Andi ayo kita pulang!” Terdengar suara cempreng Wak Tika dari ruang tengah.

“Jingga, please!” Dia masih memasang wajah memelas dan menatapku.

“Ya Tuhaaan …,” batinku menjerit. Kuusap wajah dengan gusar.

“Andi!” Teriakan Wak Tika terdengar lagi.

“Jingga, jika kamu belum siap sekarang, gak apa. Aa pulang dulu, ya. Satu minggu lagi Aa ke sini buat minta jawaban kamu. Kalau perlu, Aa langsung bawa penghulu. Aa pulang dulu, bye!”

Aku menghela napas kasar setelah makhluk itu pergi, lalu mendudukkan diri di tepi ranjang di mana Ibu terbaring lemah dan tampak juga lelah. Kutangkup wajah dan kucoba tenangkan pikiran. Perlahan terdengar deru mobil yang menjauh. Syukurlah akhirnya mereka pergi.

“Jingga … sepertinya percuma mendepat Uwak kamu. Dia itu keras kepala. Apa kita jual saja tanah dan rumah ini? Hasil penjualannya nanti mungkin bisa buat cari rumah yang lebih kecil? Ibu gak rela lihat kamu tertekan seperti itu.”

Aku menoleh padanya, lalu memaksakan diri untuk tersenyum.

“Ibu istirahat saja dulu, jangan banyak pikiran. Sayang kalau kita jual, rumah kita tepi jalan sekarang. Semoga ada jalan.” Aku menggenggam tangannya mencoba menguatkan, meski hati sendiri sama-sama rapuhnya. Dia hanya mengangguk, aku pun lekas beranjak dan menuju kamarku setelah memastikan semua kunci dan jendela terkunci dari dalam. Ngeri kalau tiba-tiba A Andi datang dan mengusikku malam-malam seperti dulu lagi.

Hanya saja, rasa takut dan resah membuat aku tak bisa memejamkan mata. Aku bangun dan memeriksa semua jendela dan pintu sekali lagi, lalu jemariku beralih ke layar gawai. Aku mencoba berselancar meski tanpa tujuan. Aku hanya sedang menghibur sendiri pikiranku yang kacau.

[Belum tidur?]

Sebuah pesan tiba-tiba masuk dari sebuah akun baru yang berteman belum lama denganku. Akun tanpa foto profil. Aku mengabaikan, kemarin aku sedang patah hati begitu dalam ketika pernikahan Bara dan perempuan pilihan keluarganya dilangsungkan, meskipun untuk resepsinya katanya masih akan diadakan satu bulan lagi, tapi mereka sudah sah dan resmi menjadi sepasang suami istri. Aku menjadi begitu kacau bahkan main konfirmasi saja akun tanpa nama yang tak kutahu itu siapa setelah aku blokir semua akun yang terhubung dengannya---Bara.

[Bisakah kita berteman?]

Dia kembali mengirimiku pesan.

Apakah benar semua energi negatif kini sedang terkumpul dalam diriku. Bagaimana semua masalah dan ketidak jelasan ini datang bersamaan. Kehilangan Bara membuat hati dan moodku benar-benar berantakan. Bertemu pula dengan Pak Banyu yang mengesalkan, pulang disuguhi keluarga Wak Hendi yang tak kalah menyebalkan dan kini? Siapa lagi? Akun tanpa nama yang tiba-tiba mengajak berteman?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
bara ya itu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 120

    “Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 119

    Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 118

    “Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 117

    MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 116

    Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.

  • MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD!   Bab 115

    Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status