Share

Wanita itu

Cahyo mendekat dan meniup leher

Yuni bagian belakang, “Apa kau sedang menginginkanmu saat ini?”


Yuni menggeleng, bukan karena dia

tidak ingin, hanya saja dia sangat sadar dengan batasannya sendiri. Isi

perjanjian yang dibuat oleh Cahyo sangat terekam dengan jelas di dalam otaknya.


“Jadi? Aku tidak menarik? Apa

pria bernama Hendra itu yang menarik? Dan akan kau rayu lagi dengan baju sialan

ini?”


“Tidak, Mas. Aku tidak pernah

merayunya, aku hanya mengobrol sebentar dengannya, tidak lebih.” memang itu

yang dilakukan Yuni tadi pagi.


Cahyo segera membalik Yuni dan

melumat bibirnya dengan kasar. Menghisap dan juga memainkan bibir atas dan

bawah itu, “Balas.”


Yuni yang belum pernah melakukan

hal seperti ini, otaknya terasa buntu dan tidak tahu harus melakukan apa.


Cahyo menggigit bibir Yuni dan

membuat gadis itu mengaduh. Saat bibirnya terbuka, Cahyo tidak menyiakannya,

dia segera menyelusupkan lidahnya dan menautkannya dengan lidah Yuni.


Pegawai yang tidak sengaja

melihat hal itu hanya bisa memalingkan wajahnya agar pelanggannya tidak malu

jika menyadari jika di ruang itu tidak hanya ada mereka berdua.


Cahyo menyapu bibir basah Yuni

akibat dari perbuatannya dan menatapnya awas, “Jangan pernah bermain denganku.”


Yuni hanya menggeleng meski

tubuhnya terasa sangat lemas sekarang.


Cahyo segera berbalik dan melihat

pegawai itu, “Bungkus yang ini dan yang dipilih oleh istriku tadi.”


“Baik, Tuan.” pegawai itu segera

mendekati Yuni, dia akan mengemas dan membantu Yuni melepas gaun yang dikenakan

itu, “Nona, suaminya sangat sayang banget ya? Saya sampai ngiri.”


Yuni hanya tersenyum simpul

mendengar kalimat itu. Andai saja dia tahu yang sebenarnya, apakah kalimat

indah itu masih mampu membuatnya iri dengan keadaan Yuni.


~~~


Sudah beberapa hari Yuni serasa

dipenjara oleh Cahyo. Meski bukan dalam artian yang sesungguhnya, nyatanya saat

di kampus serasa dikejar hantu setiap hari.


“Yun, kamu ke mana aja sih?

Diajak keluar mesti gak bisa mulu.” Ratih memang ingin mengajak Yuni nonton

sekarang.


“Aku tidak bisa, Rat. Ada pekerjaan

di rumah.” dusta Yuni.


“Pekerjaan apa emang? Kayak orang

susah aja, orang mobil gonta-ganti gitu.”


Yuni hanya tersenyum dan

menggeleng. Tak lama ponselnya berdering dan Yuni segera mengangkatnya, “Iya

... masih kurang satu pelajaran lagi, aku---“


Ratih segera menyambar ponsel

Yuni, “Hey, Pak. Aku Ratih temennya Yuni, nanti pulang kuliah aku mau ngajak

dia nonton di deket sini juga, boleh ya Pak?”


Yuni hanya bisa mencoba meraih

ponselnya kembali meski sangat sulit dilakukan.


“Ya, trimakasih Pak.” Ratih

mengembalikan ponsel itu dalam keadaan telepon sudah mati.


“Gimana sih, ah?!” Yuni segera

memanggil nomor itu kembali, “Halo, aku---“ mendengar dari seberang saja bahwa Cahyo

memang memberinya izin membuat Yuni tersenyum lebar, rasanya seperti baru saja mendapatkan

permen lolipop yang sangat besar dan manis.


“Hebat kan aku?” Ratih

menyombongkan dirinya dengan bangga.


Yuni berdiri dan memeluk sahabatnya

itu.


“Cieeeee, ganti lesb-i setelah

gak laku?” Hendra yang baru bergabung dan melihat kedua temannya itu

berpelukan.


“Eleh, ngeres Lu. Yuk, Yun ...

kita pergi aja.” Ratih mengambil tasnya dan memilih ke kelas sekarang, Yuni

pun juga melakukan hal yang sama.


Hendra yang ditinggal hanya bisa

melongo melihat dua cewek yang suka susah ditebak itu.


~


“Tadi pulang jam berapa, Yun?”

tanya Cahyo saat baru pulang kerja dan menemukan istrinya sudah ada di dapur,

sedang membuatkan susu jahe untuknya.


“Tadi habis nonton, Mas.” segera

disodorkannya cangkir berisi cairan putih pekat itu mendekat ke Cahyo.


“Besok kamu libur kan? Aku mau

ngajak kamu ke kantor.”


“Ada acara apa, Mas?”


“Ada relasi yang pengen ketemu

sama kamu.” tidak ada tindakan lain selain hanya mengangguk untuk Yuni.


~~~


Dengan baju berwarna senada, Yuni

berangkat ke kantor bersama Cahyo. Ini adalah pengalaman pertamanya berada di

depan umum sebagai istri dari Cahyo, suaminya.


Yuni merasakan sikap Cahyo yang

begitu lembut. Membukakan pintu mobil, menggandeng tanyanya, mengecup kening

dan juga punggung tangannya sesekali, Yuni begitu terbuai dalam suasana ini.


Bahkan saat mengenalkan dengan

relasinya saja, tidak dibiarkannya tangan itu terlepas dari genggaman Cahyo.


“Lebih baik kita istirahat dan

makan siang? Di sini sangat banyak tempat yang menyenangkan dan hidangan yang

lezat untuk di santap.” Cahyo mengajak relasinya karena hampir memasuki jam dua

belas siang.


“Tentu saja. Nona Yuni, mari.”


Yuni sangat merasa hidupnya

begitu lengkap saat ini.


Setelah acara makan siang yang

hangat itu, relasi Cahyo ternyata langsung pamit undur diri. Cahyo yang masih

memiliki pekerjaan lainnya, mengajak Yuni kembali ke kantornya.


“Mas, aku ke kantin ya? Pengen es

krim.” Yuni tersenyum agar Cahyo mengabulkan keinginannya, cuaca siang ini

sangat panas, dan es krim pasti akan nikmat.


Setelah mendapatkan izin dari

Cahyo, Yuni menuju lift dan akan mendapatkan es krim yang dia dinginkan di

kantin. Meski Cahyo akan menyuruh OB mengantarkan tadi, nyatanya Yuni juga bosan

terus ada di dalam ruangan dan hanya diam saja sejak tadi.


Lift terbuka. Wanita yang

badannya sangat sempurna bak gitar Spanyol dengan bibir bergincu merah merona

menatapnya sinis meski Yuni sudah tersenyum menyapa lebih dulu tadi, dan

sialnya lift itu hanya berisi wanita itu saja.


“Apalah arti seorang istri jika

tidak bisa menghangatkan ranjang yang dingin seperti bongkahan es di musim hujan,

tidak berguna dan tidak menguntungkan.” kata wanita itu.


Yuni menoleh dan tersenyum lagi

ke wanita itu, “Apa maksud Mbak ... ngomong sama saya?”


“Kamu pikir siapa lagi? Di sini cuma

ada kamu saja.”


“Maaf, Mbak. Tapi saja gak ngerti

sama maksud Mbak apa.”


Wanita itu terkekeh, berbalik menghadap

Yuni dan mencoba membuka pakaian atasnya.


Yuni yang merasa terancam hanya

bisa melangkah menjauh ke belakang dan menempelkan tubuh kecilnya di dinding

belakang lift.


Wanita itu memamerkan beberapa

kissmark yang berceceran di buah dadanya bagian atas, sangat banyak sampai Yuni

pun merasa jijik jika harus menghitungnya secara terang-terangan.


Meski belum pernah melakukan apa

pun, Yuni bukanlah gadis bodoh yang tidak mengetahui hal semacam itu di usianya

yang sekarang ini. Dia hanya bisa menunduk agar tidak sampai melihat semua itu,

“Maaf, Mbak. Mungkin Mbak salah orang.”


Dengan posisi masih memunggungi

pintu keluar, lift itu pun terbuka. Wanita itu segera merapikan kembali pakaiannya,

dan berbalik bersiap keluar lebih dulu, “Bilang pada suamimu, Cahyo. Aku selalu

siap menghisap dan memuaskannya setiap waktu meski di ruang kantornya sekali pun.”


Yuni hanya bergeming di tempatnya.

Soal sakit jangan ditanya, dia hanya tidak ingin memperlihatkan sisi lemahnya

di depan musuhnya saja. Setidaknya berkat kejadian ini, Yuni semakin sadar siapa

dirinya.


“Es krimnya kamu makan di sana?”

tanya Cahyo yang melihat Yuni kembali dengan tangan kosong.


Yuni mengangguk, “Mas ... aku capek,

boleh pulang duluan gak?”


“Sopir kita lagi nganter mama ke

Solo.”


“Gak papa, aku naik taksi aja,

kepalaku agak pusing.”


“Bentar lagi selesai, kurang dikit.”


“Nanti Mas gak fokus kalo

terburu-buru, aku pulang sendiri aja ya, Mas?”


Memang benar kata Yuni, Cahyo pun

mengangguk karena pekerjaannya juga tidak bisa ditinggal.


Setelah keluar dari kantor Cahyo,

Yuni berjalan dengan gontai menyusuri trotoar yang lumayan panas itu. Tidak tahu

harus ke mana karena di rumah pun dia akan bosan.


“Hey! Mau ke mana?”


Yuni tersenyum karena menemukan

teman yang akan mengajaknya mengobrol dan melupakan masalahnya setelah ini.​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status