Share

Sabrina Koma

Suara dering telepon rumah Bunda Sania malam itu membuat Doni keluar dari kamarnya. Doni pun mengangkat telepon yang ada di ruang tengah rumah sang Bunda.

[Hallo. Iya, betul, saya suaminya]

[Apa? Istri saya kecelakaan?]

[Baik, saya segera ke sana]

Doni pun langsung mematikan teleponnya.

Saat hendak bergegas pergi, Bunda Sania dan kedua saudaranya itu menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.

"Doni, ada apa?" teriak Bunda Sania dari lantai 2 rumahnya.

"Sabrina kecelakaan, Bun," jawabnya dengan wajah kecemasan.

Doni pun langsung pergi begitu saja tanpa mengindahkan panggilan sang Bunda.

20 menit berlalu

Doni sudah sampai di lokasi kecelakaan. Terlihat sebuah ambulance sudah berada di lokasi dan tubuh wanita yang sangat dicintainya itu sedang dibawa ke dalam ambulance.

"Sabrina, kamu kenapa, Sayang?" jerit Doni saat melihat Sabrina yang dalam keadaan tidak sadarkan diri.

"Pak, cepat bawa sekarang. Ayo, cepat, cepat!" pekik Doni.

Ambulance pun meluncur dengan cepat membawa Sabrina menuju rumah sakit terdekat.

Sebelum masuk ke dalam mobilnya menyusul ambulance yang membawa Sabrina, Doni mengambil gawainya dan menghubungi mertuanya.

[Hallo, Ma, Papa ada?"]

[Sebentar, Don.]

Tidak lama, Papa Martin pun mengambil alih telepon itu.

[Hallo, Don, ada apa?]

[Pa, Sabrina, Pa ....]

[Sabrina kenapa?]

[Sabrina kecelakaan. Sekarang sedang dibawa ke rumah sakit. Papa nyusul ke rumah sakit ya]

Papa Martin kini sudah terduduk lemah

[Iya, Don. Papa ke sana sekarang]

Telepon pun dimatikan.

"Pa, ada apa dengan Sabrina?" tanya Mama Sinta.

"Sabrina ... Sabrina kecelakaan, sekarang sedang dibawa ke rumah sakit,Ma," jawab Papa Martin dengan suara lemah.

Sinta pun langsung syok dan histeris saat mengetahui jika anak semata wayangnya mengalami kecelakaan.

"Sabrina ...." jerit Sinta.

"Ma, ayo kita ke rumah sakit sekarang!" ajak Martin yang bergegas mencari kunci mobil.

"Iya, Pa," jawab Sinta.

Papa dan Mama Sabrina itu langsung pergi menyusul Doni yang membawa Sabrina menuju rumah sakit.

****

Sesampainya di rumah sakit, Doni sudah tidak bisa menemui Sabrina.Sabrina sudah ditangani oleh Om Indra dan Fani di meja operasi.

Doni menanti cemas di luar pintu. Airmatanya pun luruh karena memikirkan istrinya yang sedang berjuang melawan maut.

Setelah menunggu berjam-jam, Sabrina pun akhirnya dipindahkan ke ruangan khusus. Sabrina pun belum sadarkan diri, setelah menjalani operasi.

Hanya ada Doni dan kedua orang tua Sabrina yang menemani.

"Pa, lakukan sesuatu. Aku nggak tega melihat Sabrina seperti ini, Pa," ujar Sinta terisak.

Papa Martin pun mencoba menenangkan istrinya agar tetap tenang. Sedangkan tangan Doni tidak pernah lepas mengenggam tangan Sabrina.

"Insya Allah, Ma, kita akan berusaha semaksimal mungkin. Tetapi, sebagai hamba yang beriman, kita harus pasrahkan segalanya pada Allah. Yang terbaik buat Sabrina," ucap Papa Martin.

"Kita salat, yuk," ajak Martin. 

Martin dan Sinta akhirnya meninggalkan ruangan itu. Kini hanya ada Doni yang dengan setia menemani.

"Aku ada di sini, Sabrina. Aku sangat cinta sama kamu, nggak akan ninggalin kamu. Tolong, kamu sadar, Sabrina," ucap Doni dalam hatinya sambil mengelus kepala Sabrina dengan penuh cinta.

Cuaca malam itu sangat buruk. Suara petir mengelegar sangat kencang, hujan yabg deras membuat malam itu terasa sangat dingin.

"Sabrina, bangun! Bangun, Sabrina ...." teriak Doni yang memekikkan hingga Fani ya g sedang berjalan ke ruang Sabrina pun berlari untuk menenangkan Doni, sahabatnya.

"Don, kamu tenang. Kondisi Sabrina saat ini cukup stabil. Kita hanya menunggu ...."

Belum usai Fani bicara, Om Indra yang menangani Sabrina pun datang. Doni pun langsung menemui adik tiri Bundanya itu.

"Om, keadaan Sabrina baik-baik aja kan?" tanya Doni tergesa.

Om Indra pun menepuk pundak sang keponakan. Ia pun langsung memberikan sebuah kenyataan pahit.

"Don, kesempatan Sabrina untuk hidup hanya 1% saja," ungkap Dokter Indra lemah.

Doni pun terperangah

"Kecuali jika Allah berkehendak lain," dalih sang dokter.

"Berarti cepat atau lambat, aku akan kehilangan Sabrina?" ucap Doni menahan tangisnya.

"Menurut hasil medis, pemeriksaan keseluruhan Sabrina hanya bisa bertahan dengan menggunakan alat-alat bantu," ujar Dokter Indra.

Om Indra tahu, ini hal yang sangat berat. Tetapi, ini harus ia ungkapkan semuanya agar sang keponakan siap dengan segala resikonya.

"Ng-gak, nggak, itu nggak mungkin Om!" jerit Doni histeris. Doni tidak siap jika harus kehilangan Sabrina.

"Om, Om sebagai dokter mungkin bisa berkata apapun tetapi sebagai seorang umat beragama, jika Allah sudah berkehendak semua bisa terjadi," teriak Doni.

"Sabrina pasti sembuh, Dok," jerit Doni dengan suara kerasnya. Doni sedang tidak bisa mengendalikan emosinya.

"Don, tenang! Tahan emosi kamu. Kemarahan kamu tidak akan merubah kondisi Sabrina!" bujuk Om Indra.

Fani hanya diam memperhatikan sahabatnya sejak kecil itu begitu terpuruk dan hancur menerima kenyataan ini.

"Tenang, Don. kamu sabar dan berdoa. Kami pasti akan berusaha sekuat tenaga," ujar Om Indra sedikit menenangkan Doni.

"Om permisi," pamit Om Indra.

Kini hanya Fani yang menemani Doni dsn Sabrina yang masih terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyaknya alat medis terpasang ditubuhnya.

Doni berjalan perlahan mendekati ranjang, Fani pun mengikutinya dan mencoba menenangkan Doni.

"Don, kamu harus optimis, jangan putus asa.demi Sabrina. Sabrina pasti sembuh," bujuk Fani.

"Allah pasti bersama Sabrina," lanjutnya.

"Makasih Fani, kamu udah ngebantu aku buat berjuang demi Sabrina," ujar Doni lirih.

"Kamu nggak perlu berterimakasih, karena Sabrina sahabat aku," sahut Fani.

"Kita berdua, akan bersama-sama jaga Sabrina,"  ujar Fani membuat Doni pun menoleh padanya.

Fani pun kembali teringat akan permintaan Bunda Sania padanya beberapa waktu lalu.

"Bunda serius sekali, Fani. Bunda ingin kamu menjadi menantu Bunda. Jadi istri Doni."

Wajah Fani berubah sendu. Ia pun melirik ke arah Sabrina yang sedang berjuang untuk hidup. 

Akankah Fani sanggup menjaga persahabatannya dan tidak mengkhianati Sabrina?

****

Keesokan hari

Bunda Sania bersama Prita dan Dinda akhirnya datang ke rumah sakit menemui Doni yang masih setia menjaga Sabrina yang belum juga menunjukkan tanda baik akan kesadarannya.

"Don, Doni, gimana keadaan Sabrina?" tanya Bunda Sania cemas.

"Bunda mau tahu keadaan Sabrina," lanjutnya.

"Bunda tenang dulu. Dokter sedang berusaha menangani pendarahan diotaknya," kata Doni lemah.

"Ya Allah ...." ucap Bunda Sania.

"Don, kita harus tahu keadaan Sabrina. Kita ini kan kelurganya," kata Prita membuat Doni merasa aneh.

Doni pun menarik tangan kakaknya itu agak menjauh dari ruang Sabrina.

"Lagian kakak ini aneh. Kenapa jadi perhatian? Bukannya selama ini kakak selalu berusaha untuk memisahkan aku dan Sabrina?" cecar Doni.

"Kakak punya niat apa lagi?" pekik Doni.

Dinda pun merelai pertikaian 2 saudaranya itu.

"Kak, udah. Nanti kita tanya sama Fani aja. Kakak udah telepon Mas Aryo?" tanya Dinda.

"Adik kamu benar. Biar gimana pun, Aryo masih suamimu. Biar dia belajar sedikit menghargai keluarga mertuanya. Gimana sih," sindir Bunda Sania.

Prita hanya terdiam.

Sejam kemudian

Aryo datang ke rumah sakit. Saat diparkiran, ia melihat Fani sedang berjalan. Aryo pun mengejar kekasih lamanya itu. Tetapi, tiba-tiba suara dering gawainya membuyarkan semuanya.

[Hallo, Aryo, kamu di mana?]

[Ini aku ada diparkiran]

[Kamu nggak usah ....]

Aryo langsung mematikan gawainya karena tidak ingin kehilangan jejak Fani.

"Ini sih bukannya mati tetapi dimatiin. Kayaknya dia marah deh," gerutu Prita.

"Gimana nggak marah. Jangankan minta izin. Kamu mint cerai aja nggak bilang-bilang kok," sindir Bunda Sania.

Aryo akhirnya berhasil menemui Fani, ia pun menepuk pundak dokter muda dan cantik itu. Fani pun menoleh.

"Fani ...." 

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status