Share

Tekanan Untuk Berpoligami

"Aku nggak akan kayak begini kalau kamu bersikap jujur sama aku, Mas! Katakan, siapa perempuan yang sudah merusak rumah tangga kita, Mas," bentak Prita.

Aryo tetap diam

"Jawab, Aryo!" teriak Prita.

Aryo yang sedang menyetir justru tangannya ditarik-tarik oleh Prita hingga mobilnya pun mulai oleng.

"Eh, Prita! Kamu tenang dong. Aku ini lagi bawa kendaraan," sergah Aryo.

"Aku nggak perduli. Ayo tabrak, tabrak, Aryo!" pekiknya.

Terjadi tarik-menarik hingga Aryo mulai hilang kendali. Mobil yang sedang berjalan di jalanan ibukota yang sedang sepi itu nyaris menabrak beberapa kendaraan, pengguna jalan hingga para pedagang kaki lima disekitar. Hingga akhirnya Aryo berhasil menahan mobilnya dan berhenti di sebuah sudut ibukota.

Aryo dan Prita akhirnya menarik napas panjang setelah mobilnya oleng dan nyaris menabrak banyak orang jika saja Aryo tidak bisa mengendalikannya.

"Astaghfirullah," ucap Aryo.

"Kamu gila yah?! Apa yang kamu lakuin itu bahaya buat kita. Bahaya buat orang!" pekik Aryo.

"Kamu bisa jujur nggak sih sama aku? Kamu punya pria idaman lain kan?" tanya Prita yang terus menyerang Aryo.

"Kamu ini tuh aneh. Dulu kamu tuduh aku masih cinta sama pacar aku yang dulu dan sekarang kamu tuduh aku punya wanita idaman lain. Kamu gila," cecar Aryo.

Prita menggeleng. Wanita yang masih sah menjadi Nyonya Aryo ini berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Netranya sudah berkaca-kaca.

"Kamu benar-benar egois. Kamu nggak pernah mau mengerti perasaan aku. Aku benci sama kamu. Aku benci," jerit Prita.

"Kalau kamu benci sama aku, kenapa kamu masih perduli? Kenapa kamu masih bertahan? Dua tahun lalu, saat kamu mengajukan gugatan cerai, kamu bilang muak. Tetapi, kenapa sekarang kamu marah-marah?" serang balik Aryo.

"Karena kamu selalu bikin aku marah. Dari awal pernikahan kita," teriak Prita.

"Kamu lupa, yang menginginkan pernikahan ini kamu, bukan aku. 8 tahun yang lalu, kamu bilang mau nuntut aku karena kamu hamil.  Aku yang harus bertanggung jawab atas kehamilan kamu," ujar Aryo menunjuk ke arah Prita yang duduk disebelahnya.

"Terus kenapa kamu menikah dengan aku?"

"Karena ancaman kamu, Prita.Kamu dan teman-teman kamu yang borjuis di Amerika itu, sengaja kan jebak aku kan? Sampai aku nggak bisa bela diri. Tega kamu," serang Aryo.

"Cukup, Aryo!" bentak Prita.

"Cukup!" jeritnya.

"Nggak usah dibahas lagi. Semua udah jadi masa lalu, Aryo," dalih Prita.

"Masa lalu aku hancur. Aku kehilangan semuanya. Orang tua, saudara bahkan pacar aku. Mereka berharap banyak ketika aku sekolah di Amerika. Tetapi, ternyata apa? Aku dituduh menghamili anak orang!" cecar Aryo.

"Dan satu hal, aku tidak pernah meniduri kamu, Prita!" jawab tegas Aryo.

Prita tertawa kecil

"Ho'o, jadi kamu mau mengungkit kembali masa lalu kita?" tanya Prita.

"Aku cuma pengen menyadari kamu. Kalau kamu, nggak selamanya benar. Toh, sekarang kita hanya menunggu keputusan hakim dan kita bercerai. Dan aku akan segera terbebas dari kemarahan kamu, caci maki kamu dan semua fitnahan kamu selama ini," ungkap Aryo.

"Dengan sikap dingin kamu, aku yakin kamu berselingkuh ditengah proses perceraian kita. Eh, jangan kamu pikir aku akan berdiam diri gitu aja. Aku akan membatalkan proses perceraian kita dan kamu akan kehilangan hak asuh atas anak kita," ancam Prita.

Aryo seketika menoleh dengan ancaman Prita. Aryo terdiam. Prita tahu, jika Sisil adalah kelemahan Aryo. Aryo sesungguhnya tidak pernah bisa jauh dari Sisil.

****

Rumah orang tua Sabrina

"Ini benar-benar keterlaluan, Pa. Kita nggak bisa tinggal diam. Sabrina sudah mulai tertekan dengan pernikahannya. Belum lagi, kelakuan ipar-iparnya yang sudah sangat keterlaluan," pekik Sinta, Mama Sabrina.

"Ma, Papa juga bisa marah. Tetapi, Ma, ini kan keluarga. Kita nggak bisa ikut campur terlalu dalam. Ini ...." ujar Martin, Papa Sabrina.

Sinta menggeleng.

"Ini masalah keluarga, Ma. Yang paling penting, Doni masih mencintai Sabrina," ucap Martin demi menenangkan sang istri.

"Cinta aja kan nggak cukup, Pa. Tetap harus ada dukungan dari 2 keluarga. Tetap aja nggak bisa seperti itu kan, Pa?" ujar Sinta menggebu-gebu.

"Pernikahan mereka seperti bom waktu yang suatu saat akan meledak dan itu akan sangat fatal," jerit Sinta yang tidak ingin Sabrina mengalami banyak tekanan dari keluarga suaminya.

"Ma, ini demi Sabrina," bujuk Martin.

"Iya, sampai kapan kita harus sabar. Sampai kapan kita harus ngalah? Papa tahu kan, ini sudah menyangkut harga diri keluarga kita. Ya Allah, Mama nggak rela Sabrina diperlakukan begini, Pa," ujar Sinta menangis.

Martin pun merangkul istrinya. Berusaha menenangkan wanita itu yang sedih melihat keadaan putri semata wayangnya yang sudah tertekan. 

Di kamarnya, Sabrina hendak meminum obatnya. Saat hendak mengambilnya di meja, tiba-tiba foto pernikahannya dengan Doni yang ada di meja kerjanya tiba-tiba terjatuh.

"Ya Allah, pertanda buruk apakah ini?" gumam Sabrina.

"Ya Allah ...."

Sabrina pun mengambil bingkai foto itu.

"Ya Allah, aku mohon ya Allah, berikanlah aku keturunan. Jadikanlah aku menantu yang disayang mertuaku," kata Sabrina dalam hatinya. Air matanya pun luruh.

Sinta dan Martin yang mendengar kegaduhan dari kamar Sabrina,langsung lari berlari memasuki kamar sang putri.

"Sayang, kamu kenapa?" tanya Sinta heran melihat putrinya menangis memegangi bingkai foto pernikahannya.

Martin pun mengambil bingkai foto itu dan melihat jika kaca itu sudah retak. Seketika Martin melirik ke arah sang istri. Tatapan penuh makna. Namun, ia memilih diam agar Sabrina tidak semakin cemas. Martin pun duduk disamping putrinya.

"Sabrina, sebaiknya kamu cepat pulang. Nggak baik kalau suami istri sering terpisah. Takutnya ada setan yang menghasut, nanti takutnya rumah tangga kamu akan berantakan," usul Martin pada putrinya.

"Kecuali jika di antara kalian, sudah tidak ada lagi cinta," celetuk Sinta.

Sabrina pun menoleh ke arah Mamanya yang berdiri dihadapannya kemudian melirik ke arah Papanya yang duduk disebelahnya.

"Papa dan Mama benar. Sabrina harus pulang. Sabrina dan Mas Doni saling mencintai. Nggak ada yang bisa memisahkan aku dan Mas Doni kecuali maut. Aku memang harus pulang," ucap Sabrina yang yakin dengan keputusannya.

Martin pun merangkul erat putrinya.

****

Rumah Sania

Sania kini mulai menekan anak lelaki satu-satunya itu menyoal Sabrina yang tidak kunjung hamil.

"Kamu harus segera mengambil keputusan," cecar Bunda Sania.

"Maaf, Bunda, kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Bunda. Aku nggak mungkin bisa menceraikan Sabrina," jerit Doni.

"Bunda nggak pernah meminta kamu menceraikan Sabrina. Itu dilarang dalam agama," timpal Sania.

"Tetapi, apa yang bisa kamu harapkan dari Sabrina? Dia jelas-jelas tidak bisa memberi kamu keturunan.  Dan itu artinya kamu tidak mempunyai kesempatan untuk memiliki keturunan," pekik sang Bunda.

Doni dan sang Bunda terdiam.

Tanpa sepengetahuan Doni dan sang Bunda yang sedang berdebat di lantai 2 rumahnya yang megah itu, Sabrina pun pulang.

Sabrina pun mulai mendengarkan perdebatan suami dan mertuanya itu 

"Kenapa Bunda menekan aku seperti ini? Bunda juga tahu, kalau aku sangat mencintai Sabrina. Sabrina itu nggak mandul. Yang penting, kita berikhtiar," jawab Doni tegas. Doni pun mulai menuruni anak tangga.

"Cukup Doni. Kamu jangan terlalu naif. Oke, kamu punya hak untuk mempertahankan pernikahanmu. Namun, sebagai seorang Ibu, Bunda berhak menasehati kamu. Kamu mau menunggu Bunda sampai tua, sampai mati?" pekik Sania.

"Ingat Doni, fitrah seorang manusia itu menikah dan mempunyai keturunan. Semua itu sudah digariskan oleh Allah," cecar sang Bunda terus menerus.

Doni pun terdiam, ia mulai berpikir.

Sabrina hanya mendengar dibalik tembok yang tidak jauh dari tempat di mana Doni dan Sania sedang berdebat hebat.

"Maksud Bunda apa sih?" tanya Doni.

"Rasanya tidak perlu ada lagi yang kamu tanyakan. Kalau kamu bisa memiliki keturunan tanpa harus menceraikan Sabrina, adil kan?" serang Bunda Sania terus menerus.

Sabrina pun menangis, ia tidak lagi mampu menahan bulir bening itu jatuh membasahi pipinya.

"Bunda ingin aku berpoligami,begitu?" sahut Doni.

"Iya," jawab Bunda Sania tegas.

"Itu semua dihalalkan di dalam agama," sambung Sania.

"Poligami memang halal. Cuma resikonya sangat berat dan aku merasa belum mampu untuk bersikap adil," jawab Doni dengan wajah tertekan.

"Kalau begitu, kamu siap-siap menggali kuburan untuk Bundamu sendiri. Bunda tidak akan mampu melihat kamu hidup tanpa mempunyai keturunan," lirih Sania.

Doni terdiam. Ia tidak tahu lagi harus bicara apa. Apa yang harus dilakukannya?

"Akhirnya, apa yang aku takutkan terjadi," gumam Sabrina.

Sabrina yang tidak lagi tahan mendengar pertikaian itu akhirnya memilih pergi. Ia tidak lagi perduli, ditengah derasnya hujan malam itu, ia membawa mobilnya dengan sangat laju ditengah derasnya hujan. Air mata itupun terus membanjiri wajahnya tanpa henti.

Di dalam perjalanan, Sabrina terus menangis. Tangisnya pun pecah. Sabrina mulai kehilangan kontrol, ia membawa mobilnya sangat laju ditengah derasnya hujan. Tidak perduli, jalanan licin itu terus diterjalnya.

Sambil mengendarai mobilnya, ia mengambil gawai dan menghubungi Fani, wanita yang hendak dijodohkan mertuanya untuk menjadi istri kedua suaminya. Sahabat baiknya yang disiapkan untuk menjadi madunya.

[Hallo]

[Assalamualaikum, Fani.]

[Wa'alaikumsalam.]

Sabrina terus menangis. Mobilnya pun semakin tak terkendali.

[Sabrina. Sabrina, kamu kenapa?]

[Apa malam ini aku bisa menginap di rumah kamu?]

Tangis Sabrina pun semakin pecah. Fani pun mulai khawatir dengan keadaan sahabatnya yang mulai terdengar tidak bisa mengontrol dirinya.

[Kok, suara kamu kayak begitu?]

[Aku nggak tahu lagi apa yang harus aku lakukan?]

[Ya udah. Aku tunggu sekarang ya]

Sabrina terus saja menangis.

[Sabrina, kamu di mana sekarang?]

[Sabrina, kamu cerita sama aku?]

Fani pun semakin cemas.

[Bunda Sania meminta Mas Doni untuk menikah lagi karena aku belum bisa memberinya keturunan]

Sabrina pun menceritakan semuanya pada Fani dengan Isak tangis.

Fani pun syok mendengarnya.

[Sekarang kamu tenang. Kamu nggak usah mikir apa-apa dan kamu diam aja. Kamu sekarang kasih tahu aku, di mana kamu sekarang?]

Sabrina terus menangis. Gawainya  pun sudah tidak lagi berada di telinganya. Sabrina terus menangis sambil membawa kendaraannya dan gawai yang masih dalam genggaman.

[Sabrina!]

Sabrina yang terus menangis tidak menyadari jika ada mobil di depannya. Saat tersadar, Sabrina langsung panik dan membanting stirnya demi menghindari tabrakan itu. 

"Astaghfirullah," ucap Sabrina saat mobilnya sudah berhenti mendadak.

[Sabrina?]

[Sabrina, hallo?]

Fani menjadi panik karena Sabrina tidak menjawab panggilannya.

Sabrina terdiam ditengah-tengah jalanan. Ia terus menangis tanpa henti. 

Tiba-tiba sebuah truk besar menabraknya mobilnya. Supir truk yang mengantuk pun tidak lagi bisa mengontrol kendaraannya.

[Sabrina ....]

[Sabrina ....]

"Astaghfirullah. Ya Allah, apa yang terjadi dengan Sabrina?" gumam Fani saat mendengar hal tak biasa saat panggilan itu belum terputus.

bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status