Malam itu, Justin kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Ia mencoba mencari ketenangan di samping Alina, namun bayangan Cindy yang terbaring lemah di rumah sakit terus menghantuinya. Alina menyadari kegelisahan suaminya. Ia mengusap punggung Justin dengan lembut.
"Ada apa, Justin? Apa yang terjadi di rumah sakit?" tanya Alina, tatapannya penuh perhatian.Justin menghela napas panjang. "Cindy... dia menuduhku tidak mencintainya, tidak peduli pada anak kita." Ia mengepalkan tangannya, "Aku lelah, Alina. Lelah dengan semua tuntutan dan kemarahannya."Alina memeluk Justin erat. "Aku mengerti. Tapi kau sudah melakukan yang terbaik, Justin. Kau tidak sendiri."Di sisi lain, Cindy, yang masih bersembunyi setelah kabur dari rumah sakit, merasa hatinya membara. Ia menghubungi seseorang, "Aku ingin kalian menghancurkan keluarga Williams. Mulai dari Alina!"Beberapa hari berlalu, Justin berusaha untuk fokus pada pekerjaannya dan hubunganSebelum pesta digelar, Alina dan Justin menghabiskan waktu di pantai, menikmati matahari terbenam. Senyum merekah di wajah Alina, memancarkan kebahagiaan. Kenangan indah yang sempat terlupakan, kini membuka kembali lembaran baru untuk menciptakan kenangan indah lainnya. "Aku mencintaimu, Alina!" bisik Justin, tangannya menggenggam erat seraya tersenyum lebar. Sementara itu, Cindy meringkuk di dalam sel tahanan, tatapannya kosong, memeluk lutut di tengah cemoohan yang menerpa. Tangannya terkepal, menyimpan kebencian yang mendalam pada Alina. Malam telah tiba, pesta digelar dengan mewah, dihadiri para tokoh penting. Alina tampak gugup saat memandang wajahnya di pantulan cermin. "Seharusnya, kalian ada di sampingku," katanya pelan, mengingat ayahnya yang telah memutuskan hubungan dengannya sejak insiden itu. Justin datang, memecah suasana, memeluknya dari belakang lalu mengecup lehernya. "Sayang, apa kamu sudah siap?" Alina mengangguk pelan.
Setelah badai kebohongan Cindy berlalu, rumah Williams diselimuti ketenangan yang aneh, namun juga kesedihan yang mendalam. Ibu Justin masih terlihat sangat terguncang. Kebahagiaan akan cucu yang ia dambakan ternyata hanyalah ilusi pahit. Alina menghabiskan banyak waktu bersamanya, menghibur dan memberikan dukungan yang tulus. Ia memasakkan makanan kesukaan Ibu Justin, menemaninya berjalan-jalan di taman, dan mendengarkan keluh kesahnya. Perlahan, senyum tipis mulai kembali ke wajah Ibu Justin, meskipun sorot matanya masih menyimpan kesedihan. Sementara itu, Justin mengurung diri selama beberapa hari. Ia tidak pergi bekerja, hanya berdiam di kamarnya, merenungkan semua yang telah terjadi. Alina tahu Justin membutuhkan waktu untuk memproses pengkhianatan ini. Ia membiarkan Justin sendiri, hanya sesekali mengetuk pintu untuk mengantarkan makanan atau teh hangat. Ada rasa bersalah yang besar dalam diri Justin karena tidak mempercayai Alina sejak awal. Pada hari ketiga, J
Alina menyimpan sampel rambut dan bulu sikat gigi itu dengan sangat hati-hati, menyembunyikannya di tempat yang aman, jauh dari jangkauan siapa pun. Jantungnya masih berdebar setiap kali mengingat aksi nekatnya. Ia tahu ini adalah langkah pertama yang krusial, dan sekarang tugasnya adalah menunggu Lia menemukan cara terbaik untuk melakukan tes DNA secara rahasia. Beberapa hari berikutnya terasa seperti setahun bagi Alina. Ia menjalani hari-harinya di rumah Williams dengan penuh kepura-puraan. Senyum tipis yang ia paksakan selalu tersungging di bibirnya setiap kali berpapasan dengan Cindy, yang kini semakin merajalela dalam perannya sebagai calon ibu dan menantu idaman. Cindy sering kali menyentuh perutnya di hadapan Alina, seolah ingin menegaskan posisinya. Alina hanya membalas dengan tatapan datar, menyimpan amarah dan tekadnya rapat-rapat. Hubungannya dengan Justin semakin dingin. Justin tampak sibuk dengan pekerjaannya, atau mungkin ia hanya menghindarinya. Setiap
Alina kembali ke rumah dengan hati yang berkecamuk. Informasi dari Perawat Lia tentang Maya dan cerita palsu Cindy tentang penemuan Ibu Justin, semakin memperkuat keyakinannya bahwa ada konspirasi di balik semua ini. Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih jauh mencari Perawat Maya, sebuah bom waktu meledak di tengah keluarga Williams, menjepit Alina ke sudut yang lebih sempit lagi. Beberapa hari kemudian, sebuah pengumuman mengejutkan datang dari Justin. "Aku punya kabar penting untuk kalian semua," kata Justin, mengumpulkan keluarga di ruang keluarga. Wajahnya tampak tegang, tetapi ada kilatan harapan di matanya saat ia menatap Cindy yang duduk di sebelahnya, tersenyum malu-malu. Alina duduk di sofa terpisah, merasakan firasat buruk. "Cindy... dia hamil." Ruangan itu hening sesaat, lalu pecah dengan seruan gembira. Tante Mira dan Paman Heru langsung menghampiri Cindy, memeluknya erat, mengucapkan selamat. Ibu Justin, yang sudah sedikit p
Alina menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian yang menyiksa. Rumah yang dulu hangat kini terasa dingin, setiap sudutnya dipenuhi kenangan yang kini terasa pahit. Ia sering duduk di taman belakang, memandang kosong ke arah kolam ikan, mencoba mencari ketenangan yang tak kunjung datang. Air mata sudah terlalu sering membasahi pipinya hingga terasa kering. Ia tahu harus bangkit, tetapi rasanya terlalu sulit untuk menemukan kekuatan di tengah kehancuran ini. Suatu sore, saat Alina sedang termenung di kamarnya, ia menerima pesan dari nomor tak dikenal. Awalnya ia ragu membukanya, tetapi rasa penasaran mengalahkan keengganannya. Pesan itu berisi sebuah foto lama, foto Justin dan Cindy saat masih jadi sekertaris, tertawa bahagia di sebuah taman. Di bawah foto itu, ada tulisan: "Mereka punya rahasia yang tidak kau tahu." Jantung Alina berdebar kencang. Siapa pengirim pesan ini? Dan rahasia apa yang dimaksud? Ia mencoba membalas, tetapi pesan itu tidak terkirim. Pengi
Keesokan harinya, kabar mengenai insiden di rumah sakit menyebar dengan cepat di kalangan keluarga Williams. Cindy, dengan lihai, menambahkan bumbu pada ceritanya, membuat Alina terlihat sebagai sosok yang tidak berperasaan dan hanya mementingkan diri sendiri. Ia bahkan menuduh Alina mencoba menghasut Ibu Justin yang masih lemah agar membenci Cindy, padahal niatnya hanya ingin menjenguk Ibu mertuanya. Akibatnya, pandangan keluarga terhadap Alina berubah drastis. Jonathan, yang sebelumnya merasa iba pada Alina dan masih memiliki sedikit keraguan, kini sepenuhnya membela Cindy. Ia merasa sangat marah dan kecewa pada Alina. "Bagaimana bisa Alina melakukan itu? Mama kita baru saja sadar dari koma! Apa yang ada di pikirannya sampai mencoba membuat masalah di saat seperti ini?" ucapnya penuh amarah kepada Justin, yang hanya bisa menghela napas lelah. "Kau harus bicara padanya, Justin. Ini tidak bisa dibiarkan. Sikapnya sudah keterlaluan!" Tante dan paman Justin juga mu