Part 78“Mama kenapa Tante Firna seperti itu” tanya Raline ketakutan.“Iya, biarkan saja. Kalian kalau ada yang menggedor pintu keras, jangan pernah membukanya, ya?” pesan Rasti.Nadine dan Raline mengangguk paham.Firna akhirnya pulang dengan tangan kosong. Langkahnya terseok karena menahan lapar.“Aku tidak akan sekolah lagi hari ini, Bunda?” tanya Yasmin saat ibunya pulang dengan wajah murung.“Sayang, tahun ajaran baru ternyata belum dimulai. Ini anak-anak lain baru selesai tes. Kita nunggu beberapa hari lagi, ya?” jawab Firna lembut.“Bunda janji, ya?” ucap Yasmin.Firna mengangguk lemah.‘Aku harus mencari pekerjaan apapun agar anakku bisa sekolah,’ tekadnya dalam hati.Rasti yang takut dengan perilaku Firna, datang menemui Aris. Berkonsultasi dengan lelaki yang sudah dianggapnya sebagai pengganti ayahnya itu.“Jika dia melakukan hal yang anarkis, kamu langsung telpon ya? Untuk menghadapi Firna, sepertinya tidak perlu penjaga rumah. Karena dia hanya seorang wanita lemah. Dia jug
Rasti memandang Hanung dengan perasaan kasihan. Ia tidak menyangka, lelaki yang terkenal berani jika di ruang sidang itu, nyatanya memendam sebuah penderitaan yang dalam.“Semoga bapak dan Alea kuat.” Rasti memberikan support.“Terima kasih,” jawab Hanung sambil tersenyum.“Saya pamit, Pak,”“Hati-hati,”“Tante ….” Alea memanggil saat Rasti hendak mengambil tas yang ada di sofa.“Ya, Sayang?”“Besok ke sini lagi temani aku, ya?” pinta Alea memelas.Rasti mengangguk lalu berkata, “iya, sayang. Sekarang, Tante harus pulang menjemput anak-anak Tante.”Semenjak hari itu, setiap hari, Rasti selalu menyempatkan diri datang ke rumah sakit. Liburan anak-anaknya telah tiba, tapi rumah sakit melarang untuk anak-anak masuk. Jadi, rasti memilih menitipkan mereka di rumah Sumarti. Ia sudah memberikan pengertian pada Nadine dan raline bahwa anak temannya harus menunggu ibunya yang sakit parah seorang diri. Nadine dan raline memahami hal itu, meski mereka agak kehilangan waktu b=ibunya selama hari l
Part 79Alea masih menangis di samping pusara sang ibunda. Hanung pun demikian. Namun, lelaki itu terlihat lebih tegar dari sang anak. Rasti yang memilih tidak pulang usai pemakaman, berdiri dengan didampingi Nadine dan Raline. Ia tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan Alea dan ayahnya diberikan ketegaran dan kekuatan.“Pak Hanung, Alea, saya pamit, ya?” ucap Rasti. Ia masih menggunakan bahasa formal jika berbicara dengan lelaki yang berprofesi sebagai pengacara itu.“Tante, jangan pulang. Tante ikut aku ke rumah dulu,” cegah Alea dengan terbata karena menangis.Rasti memandang Nadine dan Raline secara bergantian. Meminta peryimbangan dari kedua anaknya. Namun, yang ia dapatkan hanyalah dua pasang mata yang balas menatap. “Baiklah,” ujar Rasti memutuskan.“Mbak Rasti naik mobilku saja.” Hanung memberikan tawaran.“Tapi saya bawa sopir, Pak,’ jawab Rasti.“Suruh pulang saja sopirnya. Nanti pulangnya biar diantar sama sopir saya,”Rasti mengangguk pasrah. Karena niatnya memang ingi
Nadine dan Raline sedari datang hanya bergandengan tangan. Mereka bingung hendak bermain apa. Karena Alea sesekali masih merengek, menangis dalam pelukan Rasti. Bahkan saat di kamarnya pun, ia masih berbaring dengan memeluk Rasti.“Mama, jenuh, lapar,” celetuk Raline saat Hanung masuk ke kamar.“Oh, lapar, ya? Sebentar, mau makan apa? Biar Om bilang sama bibik suruh masakin,” jawab Hanung yang mendengar.“Aku mau ayam goreng saja,”“Nadine mau apa?” Hanung melihat putri sulung Rasti.“Sama kayak Raline saja,” jawab Nadine.“Baiklah,” ujar Hanung singkat lalu pergi.Usai makan di ruang makan, Nadine dan Raline kembali dilanda bingung. Tidak ada yang menyapa mereka, meski beberapa orang berlalu lalang. Tidak ada tempat untuk bermain. Sementara ingin mengajak pulang Rasti, tubuh ibunya serasa disandera oleh Alea.“Kak, apa Kak Alea akan minta mama kita?” tanya Raline pada sang kakak dengan berbisik. Mereka berdua masih duduk di meja makan.“Setelah ini, kita larang mama datang kesini,” j
“Maaf mengganggu waktu Mbak Rasti,” kata Hanung.“Jadi Pak Hanung yang menungguku?”“Iya. Soalnya Mbak Rasti tidak mau mengangkat telepon kami.”Dengan setengah memaksa, Hanung mengajak Rasti minum kopi bersama di sebuah café mewah yang ada di dekat butik. Di sanalah Hanung bercerita banyak tentang Alea yang selama ini tidak mau sekolah dan sulit makan. “Ia sempat masuk rumah sakit,” ucapnya.“Maaf, Pak, saya tidak tahu. Dan maaf saya tidak mengangkat telepon Anda,” ucap Rasti sambil menunduk.“Kenapa? Apa boleh tahu alasannya?”Rasti diam sejenak, menatap Hanung lalu berujar, “anak-anak saya meminta saya untuk tidak datang ke sana. Mohon maklum dan mohon maaf sebelumnya, Pak, sebenarnya mereka merasa kehilangan kasih sayang dari saya sejak saya sering ke rumah sakit. Dan saat melihat Alea manja terhadap saya, mereka mengatakan tidak suka. Saya mengatakan ini agar Anda tidak merasa jika saya menghindar. Anak-anak saya adalah segalanya bagi saya, Pak.”Hanung mengangguk paham atas keju
Alea terlihat bahagia. Sepanjang kebersamaan, selalu ingin berada di dekat Rasti. Ia melakukan banyak hal dengan didampingi ibu dari Nadine dan Raline itu. Mulai dari memasak kue, belajar materi yang baru, dan juga memilih tas baru lewat aplikasi belanja online. Hanung pun demikian. Terlalu bahagia melihat Alea tersenyum, ia membatalkan semua janji dengan kliennya. Memilih di rumah menemani putri kesayangannya dan juga Rasti.Hanya Rasti yang menjalani semua itu dengan gelisah. “Pak, sudah saatnya saya pulang. Ini sudah hampir jam satu,” pamit Rasti.“Tapi Alea masih kangen sama Mbak Rasti.”“Lalu anakku?” tanya Rasti sedikit kesal.“Apa tidak bisa saya minta supir untuk menjemputnya? Membawa mereka ke sini?” tanya Hanung lirih.“Pak, anak-anak saya, saya sudah menceritakannya tadi bukan?”Hanung mengangguk paham. “Iya, maaf. Saya hanya ingin mendekatkan anak-anak kita. Tapi jika Nadine dan Raline belum bisa, tidak apa-apa,” jawabnya pelan.“Maksud Pak Hanung?” Rasti bertanya bingung.
Semenjak Subuh, ponsel Rasti terus berdering. Ia tahu siapa yang menelpon, sehingga volume dering sengaja dimatikan. Bila janjinya dengan Raline saja bisa diingkari, mengapa janji dengan Hanung tidak bisa diingakirinya? Padahal saat meminta hal itu, ayah Alea setengah memaksa.“Mama, itu hape-nya getar terus. Berisik.” Nadine yang sedang memakai baju seragam protes.Rasti menyambar ponselnya dan menekan tombol matikan. Ia lalu membantu kedua anaknya bersiap berangkat ke sekolah.Jam di dinding rumah menunjukkan angka tujuh, saat Rasti baru saja pulang dari mengantar anak-anaknya. Karena mengingat sesuatu hal penting yang harus disampaikan pada kedua karyawannya, ia menghidupkan ponsel kembali. Ketika benda pipih itu baru saja menyala, sebuah panggilan masuk dan ia tanpa sadar memencet tombol angkat. Maka dengan terpaksa, Rasti menerima telepon dari Hanung.“Mbak Rasti kenapa kamu ingkar janji?” protes Hanung begitu telepon tersambung.“Pak, saya sebenarnya merasa tidak sanggup untuk
Hanung tersenyum melihat anak semata wayangnya kembali ceria. Hal yang berbanding terbalik dengan yang Rasti rasa.“Maaf, ya? Alea masih remaja yang labil. Ia masih belum bisa mengatur sikapnya. Sepertinya perlu bimbingan dan arahan seorang wanita yang baik,” celetuk Hanung saat Alea sudah lebih dulu turun di depan gerbang sekolah.Rasti hanya menoleh sekilas tanpa ekspresi lalu keluar dari mobil dan mengikuti Alea. Ia kembali lagi setelah memastikan anak Hanung duduk di kursi di dalam kelasnya.“Bagaimana tadi? Tidak aneh lagi, ‘kan?” tanya Hanung saat Rasti kembali ke dalam mobil.“Sempat minta ditunggui sampai selesai. Tapi aku menolaknya,” jawab Rasti dingin.“Aku minta maaf untuk sikap Alea. Aku harap, selain menjadi temannya, kamu juga bisa menasehati anak itu agar berkurang sifat manjanya. Aku seorang lelaki yang memiliki istri sakit sejak lama. Aku harus mengurus Alea seorang diri. Aku salah sepertinya, karena terlalu memanjakan dia. Habisnya, aku bingun, mau bagaiamana. Melih