Hidup laksana air yang mengalir. Kita tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi di depan sana. Batu besarkah yang akan kita tabrak, tebing kah, atau justru arus yang tenang. Kita hanya tinggal mempersiapkan diri untuk siap dengan segala kondisi yang akan kita temui ....Firna menuliskan sebuah kalimat dalam secarik kertas saat malam telah larut. Matanya belum juga bisa terpejam. Banyak beban yang seakan tiba-tiba datang menindih tubuhnya. Ia duduk di bawah jendela dan menatap dinding tinggi yang ada di luar sana. Ditatapnya dua orang yang sangat ia sayangi terbaring tanpa bergerak.Rianti jatuh sakit setelah tahu bila sang suami dan anak lelakinya tersandung kasus hukum hukum. Sementara Yasmin, menjadi lebih susah dikendalikan.Selama Cokro dan Farhan berada di dalam sel tahanan, ia belum sempat sekalipun menjenguk keduanya. Waktunya tersita untuk mengurus sang ibunda yang sakit keras, juga mengais rezeki dengan cara berjualan nasi keliling.Sungguh ironi, itu yang ada dalam benak
Danang menjatuhkan kepala di atas meja. Menangisi sesosok wanita yang telah ia buat hatinya mengeras seperti batu. Kini lelaki itu sadar, bahwa rasanya terhadap Firna, hanyalah nafsu dan pelampiasan sesaat. Namun, penyesalan tidak akan membuat semuanya kembali seperti sedia kala.Di atas kasur yang keras, tubuh Danang meringkuk. Memeluk laranya sendiri. Semuanya telah hancur. Orang tua yang sangat ia sayangi, kini terpisah jauh. Pekerjaan yang hilang. Harta yang lenyap. Dan keluarga yang pergi dari hidupnya, serta dingin dan pengapnya keadaan di dalam penjara laksana sebuah mimpi panjang yang entah kapan akan berakhir.*Firna memasak di tengah rasa kantuk yang masih mendera, akibat tidur hanya dua jam saja. Tangannya yang dulu halus berulang kali terluka saat memarut kelapa. Ini bukan kali pertama tentunya. Kini, jari jarinya yang lentik sudah banyak terdapat bekas goresan. Sesekali, ia menyeka air mata yang keluar. Ingin rasanya menjerit, tapi percuma saja. Karena tidak ada satupun
PART 73Firna berlari kecil menuju rumahnya sambil menenteng sebuah plastic yang berisi sisa nasi bungkus yang tidak laku. Hatinya merasa gelisah memikirkan Rianti yang terbaring di rumah hanya ditemani Yasmin.Kakinya mendadak berhenti, saat melihat kerumunan warga sekitar—yang semua dari mereka tidak ia kenal, rami di depan rumahnya. Setelah tersadar, ia segera berlari dan berusaha menembus orang-orang yang berdiri di depan rumah.“Mama …,” teriaknya kala melihat tubuh Rianti sudah terbaring di atas kasur yang dipindah ke ruang depan dengan ditutup kain.Yasmin menangis di samping kepala Rianti yang sudah tertutup kain.“Mbak anaknya?” tanya salah satu warga.Firna mengabaikan pertanyaan dari salah satu warga. Ia langsung menangis histeris dan menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Rianti yang sudah tidak bernyawa.***Di atas gundukan tanah yang masih basah, Firna menelungkupkan tubuh. Ia masih memakai celana panjang dan kaos ketat yang digunakan pada saat berjualan. Hanya sebuah keru
“Jangan menyiksa diri kamu. Setidaknya mulai saat ini, belajarlah menerima kenyataan. Kamu dan aku, kita kenal sudah sangat lama bukan? Jika memang aku ditakdirkan untuk kamu, rasa itu pastilah sudah datang sejak dulu, Firna. Namun nyatanya, aku hanya menjadi orang yang selalu menyakiti hati kamu saja,”“Mas, aku bahagia menjadi istri kamu. Meskipun kamu belum mencintai aku. Mas, aku minta maaf jika aku meminta pernikahan kita diresmikan. Aku tidak akan lagi meminta itu. Aku ,minta maaf,” ucap Firna sambil menangis.“Pulanglah! Lanjutkan hidup kamu. Jangan menungguku lagi, apalagi bertahan dalam hubungan yang tidak tentu arah. Aku sangat menyayangi kamu saat ini, tapi tidak lebih dari seorang adik. Aku harus tetap memperjelas status hubungan kita, agar kamu benar-benar bisa menentukan langkah hidupmu setelah ini. Jika keluar nanti, aku akan menjenguk kalian dan tetap ikut bertanggung jawab atas masa depan Yasmin.”“Mas, jangan lakukan apapun. Biarkan aku menjadi istri kamu. Yasmin, d
Kini, Firna harus kembali berada di sebuah ruangan yang menjadi saksi dimana ia mendapat talak dari Danang, lelaki yang sangat ia cintai.Cokro dan Farhan berada dalam lapas yang sama dengan Danang, tapi mereka tinggal dalam sel yang berbeda, sehingga tidak pernah bertemu dengan lelaki yang pernah menjadi suami Firna itu.Ayah dan anak lelakinya itu langsung menangis, saat mendengar kabar bahwa Rianti telah meninggal. Sedih yang sama seperti yang pertama kali Firna rasakan. Bahkan lebih parahnya, mereka tak bisa melihat jasad wanita yang sangat mereka cintai untuk yang terakhir kalinya.“Dan aku juga sudah diceraikan oleh Mas Danang,” aku Firna lirih.Berbeda dengan saat mendengar kabar Rianti meninggal. Kali ini, Farhan tertawa lepas. “Aku bilang apa, Mbak? Kamu terlalu bodoh. Hingga tidak pernah menjenguk kami padahal kami berada dalam satu lapas yang sama dengan Danang,” ujar Farhan sinis.“Aku lupa. Aku ingatnya kalian berada dalam lapas yang berbeda,” kilah Firna.“Kamu bodoh ata
Arini mengangguk paham atas pernyataan Rasti. “Tidak ingin membuka hati untuk lelaki lain?” tanyanya lagi.Rasti tertawa kecil mendengar pertanyaan dari sahabatnya itu. Sebelum akhirnya berkata, “pikiranku tidak melulu tentang pernikahan, tentang seorang lelaki. Dan mencintai atau menerima seseorang yang baru dalam hidup kita, itu bukan hal yang mudah.”“Tapi, kamu perlu seorang pendamping hidup.”“Setidaknya tidak untuk saat ini. Bila pun harus ada sebuah keinginan, aku hanya ingin tahu siapa dan dimana keluargaku yang lain berada. Aku merasa hidup sebatang kara. Aku ingin seperti orang lain, yang bila lebaran datang, ada tempat untuk pulang.” Berkata demikian, pandangan kosong Rasti menatap langit biru.‘Aku yakin, keluargaku memandang langit yang sama denganku. Aku berharap, jika aku bisa bertemu dengan mereka. Menunjukkan makam bapak dan ibu pada kakek nenekku. Itu jika mereka juga masih hidup,’ ucap Rasti dalam hati.Ia lalu berpamitan pada Arini untuk pulang.***“Aku tahu, mama
“Ngapain kamu kesini?” tanya Rasti tegas.“Kenapa? Tidak boleh, Mbak? Ini dulu rumah orang tuaku. Bebas dong, aku ke sini kapan saja. Gimana, enak, Mbak, tinggal di rumah ini sendirian? Rumah yang besar dan mewah. Hasil dari membuat banyak orang menderita dan masuk penjara. Luar biasa memang seorang wanita bernama Rasti. Ah, besok-besok, kalau aku punya anak, mau aku namakan Rasti saja. Biar dia bisa cerdas dan punya sifat kejam seperti kamu.” Firna berbicara dengan memperlihatkan amarahnya.“Bicara apa kamu, Firna?” tanya Rasti bengis.“Apa kamu tidak bisa mengartikan kalimat panjangku tadi, Mbak?” sindir Firna.“Aku hanya mendengar kamu mau punya anak yang akan kamu kasih nama Rasti. Begitu terobsesinya kamu dengan semua yang aku miliki. Hingga nama saja, mau kamu adopsi. Mau punya anak sama siapa? Suami kamu dipenjara. Atau, kamu mau berselingkuh di luar?” Rasti tidak mau lagi berkata yang santun terhadap Firna.“Aku orang yang setia, Mbak. Tidak seperti kamu yang hanya memakan man
“Mau pergi naik mobil, siapa sopirnya?” tanya Rano saat Rasti menelpon dan berpamitan.“Aku sudah punya sopir yang bisa aku ajak. Dia bekerja pada Pak Aris,” jawab Rasti.“Kalau sopirnya orang lain, kamu akan tergesa-gesa di sana. Belum lagi kalau ada sesuatu hal yang terjadi. Kamu berangkat saja sama Huda. Lebih enak. Nanti, saya yang akan bilang sama Maryam,” usul Rano.Rasti tidak langsung menjawab. Ia berjanji akan memikirkannya. Sejak tinggal di rumahnya sendiri, ia jarang bertemu Huda. Menjadikan dia kurang nyaman untuk pergi bersama lelaki yang usianya lebih muda darinya itu.“Tidak apa-apa, Mbak. Mbak akan lebih nyaman pergi bersama Mas Huda. Aku dan emak juga tidak akan merasa khawatir,” desak Maram saat ia bermain ke rumah Rasti. Wanita itu sudah tahu tentang hal tersebut dari ayah mertuanya.Rasti tidak langsung menjawab desakan yang disampaikan Maryam. Namun, tak berapa lama, akhirnya dia mengangguk pelan. “Apa kamu tidak apa-apa, Mar?” tanyanya ragu.“Tidak sama sekali, M