Pagi itu, aku kembali menyusuri jalan kenangan masa kecil. Sebelum menemui seorang teman, aku akan ke rumah Bik Sum terlebih dahulu.
Dari balik helm, aku melihat lagi, ibu Firna keluar dari rumah orang tuaku. Terlihat membawa sebuah kantung plastik sampah yang ia letakkan di tempat sampah yang tersedia di depan rumah.
Tuas gas aku tarik dengan cepat, menghindari wanita itu melihatku.
Rumah Bik Sum terlihat sepi, tapi pintunya terbuka. Kuketuk daun pintu yang berwarna cokelat usang. Meskipun sudah terbuka, aku tidak berani masuk.
“Eh, Rasti!” Tergopoh wanita itu berlari ke arahku.
Menit berikutnya, kami sudah terlibat obrolan hangat. Tak ingin membuang waktu, segera kutanyakan maksdu kedatanganku ke sini.
“Bagaimana, Bik, apa Bibik sudah menemui ketua RT saat itu untuk menanyakan perihal rumahku?” tanyaku pada Bik Sum.
Ia lalu kembali, meninggalkanku dengan Bik Sum. Sejenak bernafas lega, karena tidak jadi menjawab pertanyaan wanita yang akrab dengan keluargaku sejak dulu. Berharap dirinya akan lupa dengan keingintahuannya.“Bik, aku harus segera pergi. Karena mau menemui temanku. Kapan-kapan, aku datang lagi ke sini, ya?” ujarku dengan mengambil dan mencangklongkan tas di pundak.“Mbak Rasti anaknya Pak Sasmita pemilik dan Ibu Fitri, ya? Pemilik showroom mobil bekas dulu kala?” Tiba-tiba, Huda kembali dan berkata demikian, membuatku menghentikan aktivitas hendak pergiku.“Iya, kamu kenal dengan kedua orang tuaku?” tanyaku kemudian.“Sangat mengenal, Mbak. Kadang-kadang, bapak mengajakku ke sana. Saat orang tua Mbak Rasti meninggal, aku masih kelas tiga SMA. Rencananya, setelah lulus akan bekerja di showroom Pak sasmita. Akan tetapi, takdir berkata lain,” ujar Huda de
“Mas?” ucapku tak kalah kaget. “Kenapa bisa ada di sini?” tanyaku kemudian.“Itu, aku sedang mencari ….”Belum sempat Mas Danang meneruskan ucapannya, seorang karyawan datang tergopoh. “Pak Danang, ada orang yang mau menjual mobil. Sepertinya buru-buru,” ujarnya membuat suamiku salah tingkah dan terlihat panik.Dari situ aku berpikir kalau pria yang telah lama hidup bersamaku itu ikut menyembunyikan sesuatu hal. Sertifikat yang kutemukan di lemari, juga keberadaan Mas Danang di tempat yang dahulu adalah milik orang tuaku membuat pikiran dan hati ini semakin yakin, mereka telah mengambil alih apa yang seharusnya menjadi hakku.“Rasti, kamu sedang apa di sini? Kenapa bisa kamu ke sini?” tanyanya gugup.“Aku hanya ingin menyambangi tempat yang menjadi kenangan dengan orang tuaku, Mas. Entahlah, aku sangat merin
Mas Danang bercerita tentang perjuangan Pak Har untuk bisa membuatku terbebas dari segala tuntutan orang-orang yang terlibat.“Dari mana kamu tahu, Mas? Dan kapan kamu tahu itu?” tanyaku setelah sekian lama terdiam.“Bapak bercerita semuanya setelah kita menikah. Bapak menceritakan ini saat memintaku mengelola kembali showroom milik bapak kamu. Namun, aku diminta merahasiakan ini dari kamu karena tidak ingin kamu terluka lagi dengan kejadian di masa lalu saat kamu kehilangan mereka,” jawab Mas Danang lancar.“Dan sekarang, memberikan luka baru lagi dengan memintaku berbagi suami dengan Firna?” ujarku jujur.Mas Danang terdiam tidak bisa menjawab.“Mas, bolehkah aku bekerja di showroom? Aku ingin mendapatkan uang. Toh bagaimanapun, tempat itu yang merintis adalah orang tuaku. Jadi, berikanlah sedikit tempat agar aku merasa menjadi or
Danang menatap wajah Rasti yang tertidur lelap. Diusapnya perlahan dahi yang tertutup rambut. Ada sakit yang menyayat hati, kala mengingat segala masa lalu dari wanita yang telah ia nikahi selama bertahun-tahun itu. Tentang sebuah hal yang ia ikut sembunyikan, dan juga sikap orang tuanya terhadap Rasti.Segala hal yang ia pikirkan tentang sang istri membuat hatinya semakin mantap akan keputusan untuk mengakhiri pernikahannya dengan Firna. Sebuah hubungan yang hanya status semata demi menyenangkan hati wanita yang telah melahirkannya. Dan ia sama sekali tidak mencintai wanita dengan status aduk ipar."Sabarlah, semua akan kembali seperti sedia kala. Aku berjanji," ucapnya lirih seraya mengecup dahi Rasti.*"Kenapa menatapku seperti itu, Mas?" tanya Rasti penuh selidik suatu pagi kala sepasang suami istri itu masih berada di dalam kamar. Kedua anaknya telah diantar ke sekolah."Ka
Pesan terakhir Rasti tidak dibalas. Ia lalu duduk termenung di sofa, melempar pandangan ke arah taman yang ada di luar. Tatapannya terhenti pada sebuah anggrek yang ia tanam. Bunga yang juga disukai mendiang ibunya.'Bila aku mendapatkan suami dan ayah dari anak-anakku kembali, dan hidup tanpa bayang-bayang Firna, aku tak perlu mencari tahu kebenaran dari masa lalu. Aku akan menganggap semuanya sudah menjadi sebuah barang yang harus dikubur. Tak ada yang aku inginkan selain Mas Danang dan anak-anak. Biarlah semua menjadi masa lalu yang takkan pernah terungkap, asalkan aku masih bisa hidup bersamanya, merenda hari yang damai dan mengukir masa depan yang lebih indah. Karena dialah yang aku punya setelah kematian Bapak dan Ibu.' Hati Rasti berkata.Ia mengabaikan isi pesan yang dikirimkan Huda, lalu beranjak untuk beraktivitas seperti sedia kala.*"Mama, hari ini Mama sepertinya gembira sekali," ujar R
Sepulang dari bekerja, Danang melajukan kendaraan menuju rumah orang tuanya. Niat hatinya sudah mantap, ingin menyelesaikan hubungan dengan Firna. Apapun yang terjadi. Meski harus melawan kedua orang yang sangat ia hormati.Danang sudah bertekad, akan melindungi Rasti apapun yang terjadi.Di tengah perjalanan, bahgan bakar kendaraannya hampir habis. Lelaki itumampir ke tempat pengisian bahan bakar yang ada di pinggir jalan yang ia lalui. Di saat bersamaan, hasrat untuk buang air tidak terbendung lagi. Dengan cepat ia berlari mencari toilet. Dan saat menemukannya, Danang tanpa hati-hati melepas celana, hingga ponselnya terjatuh ke dalam ember yang berisi air. Saat ia mencoba menghidupkannya, benda pipih itu ternyata rusak.“Tak mengapa, aku nanti akan pulang cepat agar Rasti tidak khawatir,” gumamnya seorang diri.Selesai melakukan segala kegiatan di tempat itu, Danang kembali meneru
“Aku belum mandi. Karena dari tadi sibuk mengompres Bunda. Kalau keluar belum mandi, aku tidak nyaman.” Yasmin berkata dengan kepala menunduk.“Baiklah. Kamu mandi dulu, ya? Pak Dhe menunggu di ruang tamu.”“Tapi aku tidak bisa ambil baju di lemari. Itu sebabnya juga aku belum mandi.”Danang menghembuskan napas pelan, sebelum akhirnya berkata, “Ayo, kita ambil. Bajunya ada di lemari mana?” tanyanya kemudian.“Ada di kamarku. Bunda juga tidur di sana, katanya biar tidak ingat Ayah.”Dilema. Itu yang Danang rasakan. Di satu sisi, ingin rasanya segera pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Akan tetapi, di sisi lain, hati nuraninya tidak tega, membiarkan anggota keluarga dalam keadaan sakit.“Baiklah, ayo kita ambil,” kata Danang lagi. Mereka lalu berjalan beriringan menuju sebuah kamar denga
Part 21"Pak Dhe, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Yasmin saat kami sudah di dalam mobil hendak pulang."Apa?" tanya Danang yang masih fokus di balik kemudi."Aku ingin duduk di teman kota. Sudah lama aku tidak ke sana. Aku ingin naik motor kecil dan juga beli gulali," jawab Yasmin jujur."Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Danang memastikan."Iya. Dulu Ayah sering mengajakku ke sana. Aku sudsh tidak pernah ke sana lagi karena Bunda sangat sedih. Kalau aku mengajak ke sana, pasti akan bilang, takut menangis ingat Ayah." Jawaban dari Yasmin membuat Danang memalingkan wajahnya. Ia melihat seorang anak kecil yang malang, yang harus kehilangan ayahnya sejak usia kecil. Hatinya tentu sedih. Namun, bila diminta menggantikan sosok Adrian, Danang merasa itu tidak adil baginya."Nanti main sama Pak Dhe, sampai Yasmin puas," ujar Danang saat keduanya t