Mobil telah kembali memasuki halaman rumah. Tanpa mempedulikan Firna yang terlihat kerepotan menggendong Yasmin yang tidur, Danang segera keluar mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Dilihatnya kedua orang tuda yang tengah berbahagia, bernyanyi menggunakan mic dengan melihat teks yang terpampang di layar lebar. Tidak peduli waktu menjelang Maghrib, kedua pasang suami istri yang sudah berumur itu judtru terlihat menikmati alunan musik.Tanpa ijin dari Wening maupun Hartono, Danang mematikan televisi.“Danang kenapa sih?” protes Wening tidak terima.“Kenapa Ibu membuatkan seragam yang berbeda untuk mereka?” tanya Danang tanpa basa-basi.Wening menarik napas, dan merubah posisi duduk, lalu berkata, “Danang, jujur saja, ibu sudah lama mengenal orang tua Rasti, jauh sebelum membawa Rasti ke sini. Ada banyak hal yang membuat kami tidak cocok. Termasuk bapakmu sebagai rekan bisnis. Kamu tahu, bukan? Bila sebuah perasaan itu tidak dipaksakan? Tidak semua orang seperti Firna, yang bisa memaa
“Kenapa matamu sembab?” tanya Danang menyelidik saat Rasti baru pulang dari mengantar anaknya ke sekolah. Ia memang tidak berangkat bekerja, karena akan membahas keadaan rumah tangganya dengan Rasti. Pagi hari, istrinya terdengar melakukan panggilan telepon dengan atasan dan membahas tentang toko yang diliburkan.“Tidak apa-apa. Kenapa kamu belum berangkat?” tanya Rasti balik. Meskipun terdengar dingin, tapi Danang sangat bahagia mendengar sang istri berbicara setelah beberapa hari saling diam.“Aku sengaja menunggumu. Aku ingin bicara sama kamu. Aku, aku rindu sama kamu,” aku Danang lirih.“Oh …,” sahut Rasti datar. Ia lalu memasuki kamar, hendak mengambil baju santai.“Jangan seperti ini terus. Aku tidak tahan. Kembalilah seperti dulu. Aku, aku sangat mencintai kalian,” ucap Danang sambil memeluk tubuh Rasti dari belakang.“Keadaan sudah lain, Mas. Semuanya telah berubah, dan kamu sudah memiliki Firna,” lirih Rasti.“Berhentilah membahas dia saat kita bersama. Agar kamu merasa, hany
Betapa terkejutnya Danang, setelah mengetahui kalau mereka sedang mencari sertifikat showroom.“Kenapa bisa gak ada?” tanya Danang ikut heran.“Ya, ibu tidak tahu, Danang. Ibu taruh di sana. Lagian, siapa yang berani masuk kamar ini dan mengambil benda itu? Itu sertifikat ada di balik map yang sudah usang. Tidak berharga sama sekali,” ujar Wening dengan masih meneliti baju yang ada di lantai satu per satu.Danang menggigit bibir bawahnya. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu hal, kemudian menghubungkan dengan pertanyaan rasti tadi pagi. Ia lalu berbalik dan menuju kamarnya.“Apa mungkin, Rasti mengambil sertifikat itu? Makanya dia tadi tanya tentang orang tuanya?” gumam Danang setelah duduk di tepi ranjang. Ia terlihat berpikir keras.Merasa tidak tenang, dirinya bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.Sebuah ketukan di pintu membuatnya berhenti. Saat ia membukanya, Hartono berada di sana. “Apa ada yang masuk kamar, saat kamu di rumah dan bapak ibu tidak ada di rumah?” tanyan
Hartono memandang wening lekat. “kita ke rumah Danang,” ajaknya.“Kenapa ke sana? Ibu malas ke sana,” tolak Wening.“Karena bapak tahu, siapa yang ambil sertifikat kita,” jawabnya tegas.Meskipun dalam keadaan bingung, Wening akhirnya menurut saja. Ia segera berdandan dan bersiap ke rumah menantu yang tidak diinginkannya.Wanita yang umurnya sudah tidak muda lagi itu, memang selalu menjaga penampilannya, agar terlihat berkelas. Wening akan selalu mempertahankan trah ningrat supaya di mata siapapun, ia akan dipandang sebagai bangsawan.Celana panjang warna abu-abu, dipadukan dengan blouse lengan tiga perempat motif bunga dan riasan yang sempurna serta rambut sepanjang leher yang disisir rapi, membuat tampilannya terlihat mewah dan elegan.Hartono mengendarai mobil dengan masih diam. Pun dengan Wening. Ia sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Karena pikiran dan hatinya sibuk dengan perasaan enggan untuk bertemu dengan Rasti.Halaman rumah Danang tidak cukup untuk parkir kenda
“Bapak!” Danang berteriak. Seolah ingin menghentikan ayahnya untuk menyakiti Rasti.“Diam di sana, atau istrimu bapak celakai.” Ancaman Hartono terdengar tidak main-main.“Cepat tunjukan!” teriak Hartono saat mereka sudah ada di kamar.Danang mengikuti keduanya, tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Hanya sorot mata yang menatap Rasti dengan iba.Satu tangan hartono mencekal lengan Rasti. Sementara tangan yang lain, membuka lemari pakaian dengan paksa.Rasti terlihat kesakitan dan meronta, berusaha melepaskan diri. Namun, tenaga ayah mertuanya lebih besar, sehingga usahanya sia-sia.Dengan beringas, Hartono mengobrak-abrik seluruh isi lemari. Rasti yang berada dalam cekalan, berkali-kali jatuh, mengikuti gerakan ayah Danang.“Lepaskan, Pak Hartono, tanganku sakit,” rengek Rasti.Karena tidak mendapati benda yang diinginkan, Hartono terlihat murka. Ia menatap bengis pada menantu pertamanya. Tangan yang kosong berpindah menjambak rambut Rasti seraya berkata, “dimana kamu sembunyikan sert
“Rasti, kamu mau ke mana?” tanya Danang ketakutan, saat melihat istri yang bibirnya sudah membesar keluar kamar dalam keadaan rapi.Alih-alih mendapatkan jawaban, Danang justru diabaikan. Rasti berjalan begitu saja melewati sang suami yang memandangnya dengan iba.“Aku antar, kamu mau ke mana?” Danang menghalangi langkah Rasti.“Minggir! Jangan campuri urusan aku lagi!” lirih Rasti. Namun, dengan nada yang tegas. Sorot matanya memperlihatkan kalau ia sangat marah.“Rasti! Kamu dalam keadaan tidak baik-baik saja. Kamu mau kemana, katakan! Mau berobat? Mau jemput anak-anak? Biar aku yang melakukan,” bujuk Danang.“Sadar kamu, Tuan Danang, kalau aku saat ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja?” ucap Rasti dengan sinis. “Dari tadi kamu kemana saja? Aku dalam keadaan tidak baik-baik saja saat bapak kamu datang. Melakukan kekerasan yang mungkin saja, dia membunuhku. Dimana kamu? Apa kamu tidak bisa melihat tadi? Kenapa kamu tidak mau menolong? Saat ini, aku sudah lolos dari cengkeram
“Sayang, nanti kita nginep di losmen, ya? Soalnya, tadi itu mama kejar-kejar tikus, ada banyak. Mama bunuh itu, dan saat membersihkan rumah, mama jatuh. Rumahnya kacau. Mama mau suruh tukang bersih-bersih. Jadi, sementara kita menginap di sana, ya?”“Tapi, Ma ….” Hendak menolak, perkataan Raline langsung dipotong oleh kakaknya.“Iya, Ma. Gak papa. Kita sekalian refreshing, ya? Daripada suntuk di rumah terus,” ucap Nadine.“Uluh-uluh, anak mama tahu dari mana itu kata refreshing?” goda Rasti. Nadine hanya tersipu malu.“Tapi, baju kita?” tanya Raline. Ia masih terlihat enggan bila diajak menginap.“Nanti kita beli, ya?”Setelah Raline setuju, Rasti mengajak kedua anaknya pergi ke sebuah losmen. Ia memilih tempat yang paling bersih di tengah kota. Tidak lupa, meletakkan tas sekolah di kamar tempat mereka akan menginap, sebelum ketiganya mengunjungi salah satu toko pakaian.Mereka pun kembali dengan membawa beberapa potong baju, juga makanan.“Mama, kita apa akan menginap di sini lama?
Menunggu gilirannya untuk masuk ruang poli, Rasti iseng berjalan mengelilingi rumah sakit. Beberapa pasang mata mengamatinya karena di bibirnya terlihat bengkak parah. Namun, perempuan beranak dua itu tidak peduli.Mata Rasti tertuju pada satu bangunan yang terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di atas bangunan tersebut, terdapat sebuah kubah kecil. Sejenak, ia berdiri mematung. Ada sebuah getar yang memanggilnya untuk segera berjalan ke sana.Dengan pelan dan tatapan tanpa kedip, Rasti terus melangkah, mendekati tempat ibadah orang muslim yang sengaja disediakan rumah sakit. Langkahnya langsung menuju tempat air wudhu. Dan ia tersadar, jika sedari Dzuhur, dirinya belum menunaikan ibadah wajibPerih ia rasa, saat air ia usapkan ke bagian wajah dan mengenai bibir.Rasti duduk bersimpuh setelah selesai sholat. Nyaman ia rasakan, saat menunaikan kewajibannya dengan perasaan pasrah sepenuhnya pada Sang Pemilik hidup.Mulanya ia hanya menitikkan air mata. Namun, lambat laun, isak tan