Kamar yang dipesan berada berdampingan. Berada di lantai dua. Ada balkon yang berisi kursi yang bisa digunakan untuk duduk memandang indahnya kota Semarang.“Aku takut, Kaka,” teriak raline saat berada di atas balkon.Mereka saling menjerit senang. Hanung dan Alea yang berada di balkon kamarnya, tentu saja mendengar. Namun, tidak ada satupun dari keduanya yang menanggapi celotehan anak-anak Rasti.Selepas Ashar, Hanung mengajak Rasti keluar untuk minum kopi di cafe hotel. Anak-anak mereka tentu saja ikut. Sepanjang kebersamaan, Hanung bersikap cuek pada kedua anak Rasti. Hanya sesekali saja menyapa, saat terpaksa bertanya. Perhatiannya tertuju pada Alea seorang.“Aku nanti malam pengen tidur bareng Tante,” rengek Alea.“Tantenya mau apa tidak, coba ditanya,” sahut Hanung.“Tante ….”Nadine dan Raline saling sikut.“Kamarnya sempit. Kami tidur bertiga,” jawab Rasti.“Pesan kamar Papa, khusus buat aku sama Tante.”Nadine dan Raline mulai melihat sifat asli Alea lagi. Namun, mereka hanya
“Main hape aja yuk, Kak,” ajak Raline. Mereka berdua lalu asyik bermain gadget.“Lain waktu mau kemana lagi, Pa?” tanya Alea. “Tante duduk sini.” Alea menarik lengan Rasti dan duduk bertiga di atas kasur yang sama.“Tanya Tante coba,” jawab Hanung sambil tersenyum.“Tante mau kemana? Ke Bali? Atau ke Bromo?”“Tante gak mau kemana-mana,” jawab Rasti.“Tante cemberut itu, ayo dihibur.,: kata Hanung.“Tante kenapa sih? Ayo foto bertiga. Ayo, Papa, ayo, Tante,”“Kalian berdua saja. Aku yang fotoin,” tolak Rasti.“Gak papa, Ras, buat kenang-kenangan. Sini,” ajak hanung.Nadine melirik aktivitas ketiga orang yang ada di atas ranjang. Ia merasa tersisih.“Kita keluar saja, yuk, Dek,” ajak Nadine.“Ayuk. Mama sibuk sama anak besar yang manja,” bisik raline.Mereka melangkah hendak keluar.“Mau kemana?” tanya Rasti cemas.“Keluar sebentar,” jawab Nadine singkat.“Mama ikuut,”“Tante ….” Alea menahan Rasti untuk tetap duduk.“Kami sebentar aja, Mama,” sahut Nadine. Ia berpikir jika ibunya ikut,
Part 88“Ya, Tante?”“Aku terserah anak-anakku,” jawab Rasti menohok.“Iya. Bagaimana Nadine, Raline? Kita jalan-jalan, ya?” tanya Hanung pada kedua anak Rasti.Keduanya mengangguk pasrah. Sulit untuk mereka mengatakan tidak mau. Terbiasa dididik untuk sopan menjadikan mereka tidak berani membangkang.“Alea duduk belakang sama adik-adik, ya?” perintah Hanung.Alea menurut. Langsung masuk ke dalam mobil. Namun, ia menempati satu kursi penuh. Sementara Nadine dan Raline harus berdesakan dalam satu kursi.Rasti selalu mengawasi anak-anaknya melalui kaca depan.“Jangan nempel-nempel deh, kakinya,” seru Alea saat tidak sengaja kakinya bersentuhan dengan kaki Raline.“Sini, Dek, nempel kakak aja,” ujar Nadine seraya menarik kaki Raline.“Alea!” panggil Hanung.“Apa sih, Papa. Ini dia nih, kakinya ditempel-tempelin aku,”“Paling gitu aja. Adik-adiknya diajak berbincang dong,” suruh Hanung.“Papa aja coba. Papa aja gak pernah ngajak mereka berbincang. Ngapain nyuruh aku.” Seketika, Hanung mem
“Aku yang ajak mereka, Alea,” sahut Rasti kesal. “Karena mereka anak-anakku. Anak kandungku yang harus dijaga. Dan hanya memiliki aku di sini. Jadi, dimana ada aku, disitu ada anak-anakku. Dan mereka sampai di tempat ini, itu karena ajakan dari papa kamu. Tanpa papa kamu mengajak, kami tidak akan kesini. Dan tadi kamu bilang apa? Kamu hanya ingin piknik dan menikmati waktu bersama aku saja? Mereka mengganggu acara keluarga kamu? Siapa yang kamu maksud keluarga kamu? Aku? Aku bukan siapa-siapa kamu, Alea. Kalau kamu ingin bersama keluarga saja, jangan pernah berpikir ingin menghabiskan waktu bersamaku. Aku tekankan sekali lagi, aku bukan siapa-siapa kamu. Jangan mencoba merebut aku dari mereka, karena itu akan sia-sia saja kamu lakukan. Berpikirlah, Alea! Kamu sudah besar. Jangan bertingkah seperti anak kecil yang ingin selalu diperhatikan dan dilayani. aku tidak pernah suka pada anak seperti itu.” Karena tidak tahan lagi, ia mengungkapkan semua kekesalan yang dirasakan.Nadine dan Ral
Part 89Ada yang berbeda saat Rasti masuk kamar di rumah sang nenek. Terlihat cat yang berbeda warna, spring bed baru, dan juga lemari yang terlihat besar dan baru juga.“Mbah, ini kok baru semua?” tanya Rasti. kedua anaknya sudah lebih dulu berbaring karena kelelahan.“Iya. Kamu kirim uang buat simbah terus, buat beli ini. Kasihan anak-anak kamu kalau tidur di kasur kapuk simbah. Buka jendelanya biar segar,” sahut Watri.“Lha terus Simbah makan apa? Uang itu aku kirim buat biaya hidup Simbah kok.”“Simbah ya tiap hari bekerja, Nduk. Biar tidak jenuh. Kalau nganggur badan pada sakit semua.”“Simbah kerja apa?”“Ambil daun cengkeh yang gugur. Nanti dijual ke penyulingan.”“Daun cengkeh laku, Mbah?”“Ya laku. Sekilo dua ribu kok. Simbah dapat sepuluh sampai lima belas kilo sehari. Buat beli lauk. Wes istirahat sana. Kamu capek pasti. Simbah masak dulu, ya? Likmu (om kamu) sudah nyembeleh ayam. Nanti malam tak urut pakai minyak biar pegel-pegel di badan hilang.”Usai berkata demikian, W
Mereka rombongan berjalan sampai akhirnya sampai di halaman rumah yang dimaksud. Tepat di depan kediaman Priono. Muryani yang tengah merapikan bunga di halaman, memandang dua anak yang tidak ia kenal sama sekali. Ia lalu bertanya pada salah satu anak yang bersama Nadine dan Raline.“Ini cucunya Mbah Watri dari Jogja.”Muryani memandang kedua anak Rasti mereka adalah buyutnya. Ingin memanggil, tapi hati rasanya masih enggan.“Ibuk kenapa melihat anak-anak it uterus?” tanya Hantri, adik kandung Astuti.“Itu, dia anak Rasti.”“Siapa Rasti?”Agak ragu Muryani menjawab, tapi akhirnya ia jujur tentang siapa Rasti.“Diajak kesini to, Bu. Mereka keturunan Ibuk, lho. Lagian, Mbak Astuti dan suaminya sudah meninggal. Mau sampai kapan Ibuk memendam dendam? Apa anak Mbak Astuti tahu kalau dia punya keluarga lain selain keluarga bapaknya?”“Tahu. Ibuk sudah pernah kesana pas dia datang dulu.”“Ya Allah, Buk.” Hantri turun dari terasnya dan menemui Nadine dan raline.“Cucunya Mbak Astuti,” ucap Han
Part 90Kembali ke rumah dengan perasaan yang hampa. Itu yang Rasti rasakan. Waktu singkat yang ia lalui bersama keluarganya, sangat memberi kesan mendalam.Iseng, Rasti bertanya pada kedua anaknya saat mereka bersantai sambil melihat-lihat gambar yang diabadikan ketika mereka pulang kampung, “mau tinggal di sana terus?”Nadine dan Raline kompak menunjukkan wajah jika mereka tengah memikirkan jawaban.“Di sana jauh dari kota. Sepi gak banyak kendaraan. Tapi seneng. Banyak teman bermain,” jawab Nadine.“Iya. Banyak saudara juga. Ada simbah juga di sana. Dan masih banyak lagi,” sambung Raline.Hati Rasti mengalami kebimbangan. Sadar jika di kota tempatnya tinggal saat ini tidak ada saudara. Terlebih, Sumarti seakan menjauh sejak kejadian itu.Banyak pesan dari Hanung yang sengaja tidak Rasti balas. Isinya rata-rata permintaan maaf dan ingin bertemu. Namun, tak ada niat dalam hati Rasti untuk menuruti permintaan ayah Alea.***“Aku mulai merasa bosan di sini, Rin ….” Lagi. Hanya Arini te
“Apakah Anda ada keinginan untuk bersikap ramah dan baik terhadap anak-anakku? Setiap single parent, akan mencarikan sosok pengganti ibu atau ayah yang terbaik untuk anak-anaknya. Itu pasti. Tapi, harus mengukur diri sendiri dulu, apakah ia mampu menjadi ibu tiri atau ayah tiri yang baik buat anak yang akan didapatkan dari pasangan barunya nanti. Anda hanya mengukur apa yang Anda butuhkan saja, berusaha mencari dan mendapatkannya. Namun, Anda tidak ingat jika Anda juga harus bersikap demikian pada anak tiri Anda kelak. Aku sudah melihat, jika Anda hanya menginginkan aku saja, tidak dengan anak-anakku. Pantas saja Alea bersikap demikian. Intinya, aku hanya akan direbut dari Nadine dan Raline, agar menjadi milik Alea.”“Rasti, aku minta maaf. Aku akan memperbaiki semuanya. Berilah aku kesempatan untuk bisa membuktikan, jika aku bisa menjadi ayah tiri yang baik dan adil untuk anak-anak kamu. Alea, dia menangis terus ingin bertemu kamu.”“Sudah terlambat. Kesan pertama akan menunjukkan pe