“Jadi, tadi malam Mbak Aruna sudah pulang? Jangan-jangan saat hujan-hujan aku datang itu kalian sedang berseteru, Mas?” Andhira berdiri dan mempersilakan Tibra duduk.“Sebelum itu, hujan turun deras setelah Aruna keluar dari rumah.” Tibra menarik Andhira hingga wanita itu terduduk di pangkuannya. Aroma minyak wangi yang dikenakan wanita itu memenuhi hidungnya.“Untung tadi malam aku telat datang, Mas. Kalau aku datang di jam biasa, bisa-bisa Mbak Aruna memergoki kita berdua.” Aruna menoleh pada Tibra yang memeluk pinggangnya erat.“Hmm ….” Tibra hanya berdehem pelan. Tubuh Andhira terasa hangat hingga membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Dia butuh pelepasan agar tidak pening memikirkan permasalahan yang sangat semrawut dan tidak bisa dia kendalikan lagi.“Ini di kantor, Mas. Lagi pula, Mas sedanga da rapat penting tadi.” Andhira melepaskan tangan Tibra di pinggangnya. Wanita itu langsung berdiri dan tersenyum lebar menatap suaminya. “Kemana Mbak Aruna? Kenapa hanya kuasa hukumnya yang
“Assalamualaikum.” Aruna memencet bel sekali lagi setelah menunggu beberapa lama belum ada jawaban dari dalam. Wanita itu memperhatikan teras rumah. Dua gelas dengan sisa air teh dan setangkai melati di dalamnya terletak di atas meja.Aruna tersenyum tipis. Sudah menjadi kebiasaan Ibu dan bapaknya sejak dulu menikmati pagi sambil menunggu matahari terbit di teras mereka. Selepas shubuh, ibunya akan menyeduh dua gelas teh dan meletakkan setangkai melati segar di dalam gelas teh.Sambil menikmati suasana pagi yang sejuk ditemani segelas teh hangat dan sepiring kudapan, Ibu dan bapaknya akan menghabiskan waktu dengan bercerita. Tentang masa muda saat masih sekolah, kehidupan awal saat pengantin baru, membahas tentang anak dan cucu bahkan mereka juga membahas berita terkini terkait kabar-kabar yang sedang banyak dibicarakan.“Waalaikum Salam.” Aruna menarik nafas lega saat mendengar suara yang sangat dia rindukan. Suara kunci diputar terdengar khas. Tidak lama, pintu dengan ukiran lama it
Kesadaran itu akhirnya datang setelah kini bahtera rumah tangganya hampir karam. Perasaan bersalah karena menentang kedua orangtuanya bertahun-tahun lalu menghujam setiap titik di relung terdalam perasan Aruna.Dia bahkan sempat sesumbar pada keluarga besar, mengatakan keputusannya dulu memilih Tibra adalah benar. Aruna terisak kencang saat mengingat peristiwa itu. Ibu dan Bapaknya hanya mengangguk dan tersenyum, saat dia dengan wajah yang sumringah di acara peresmian cabang kelima mereka setengah tahun lalu mengatakan beruntung dulu dia mengikuti hatinya.Tidak disangka, satu bulan kemudian peristiwa itu terjadi, seolah Tuhan menjawab kesombongan Aruna pada kedua orangtuanya. Aruna yang saat itu melakukan kunjungan mendadak ke cabang luar kota yang bisa ditempuh dengan jarak kurang dari dua jam perjalanan harus mendapati kenyataan pahit.Dia menyaksikan dengan mata dan kepalanya sendiri Tibra memeluk Andhira dari belakang sambil menciumi leher wanita tidak tahu terima kasih itu, memb
Sementara Adya menunggu dengan wajah harap-harap cemas di samping suaminya, berharap ada kabar dari anak semata wayang mereka. Wanita itu sangat hafal sifat Aruna. Putri mereka itu tidak pernah menceritakan masalah apapun yang sedang menimpanya. Aruna selalu bercerita justru setelah masalah yang dia hadapi berhasil diselesaikannya.Wajar, karena itu hasil dari didikan Wira. Lelaki itu tidak mau Aruna menjadi anak yang manja karena hanya anak satu-satunya. Dari kecil dia sudah memberi pemahaman pada Aruna, jika menginginkan sesuatu maka dia harus berusaha untuk mendapatkannya. Bukan dengan rengekan, tangisan, ataupun amukan tetapi dengan kerja keras.Aruna tumbuh seperti yang diharapkan bapaknya. Dia menjadi gadis yang tangguh dan pantang menyerah. Karena didikan ayahnya juga dia menjadi berbeda dari teman-teman wanitanya yang gampang menangis karena diganggu teman lelaki sebaya. Saat dijaili, dia bukannya menangis tetapi malah menyusun rencana bagaimana cara membalas mereka agar jera
“Kamu yakin tidak apa-apa kesana sendirian?” Adya menatap Aruna yang sedang mengisikan ayam rica-rica ke dalam wadah. Sejak pagi tadi, anaknya itu memang sudah sibuk di dapur memasak makanan kesukaan kedua anaknya. “Tunggu Bapak pulang saja ya? Biar ada yang menemani?”“Tidak apa-apa, Bu.” Aruna mengelus bahu Adya. “Mas Tibra paling masih kerja, siang jarang di rumah. Lagi pula, kalau pun ada orangnya ya nggak apa-apa. Kami belum bicara lagi sejak malam itu. Mungkin saja setelah masalah ini masuk ke kantor polisi dan menjadi pemberitaan, kami jadi bisa bicara baik-baik demi anak.”“Alah! Kamu itu seperti tidak tahu saja suamimu seperti apa.” Adya berdecak sebal.“Doakan saja yang terbaik untuk kami, Bu.” Aruna terkekeh. “Aku sudah kangen sekali sama Zahir dan Zafar. Belum pernah kami berpisah selama ini. Paling lama tiga hari kalau aku ke luar kota.” Aruna mengulurkan tangan untuk berpamitan. Dia langsung mengambil tas tangan dan wadah yang berisi lauk kesukaan Zahir dan Zafar.“Hati-
“Bawa Zahir dan Zafar masuk!” Dendra, sepupu Tibra dengan cepat menarik dua keponakannya dari pelukan Aruna dan menyerahkannya pada Riri. Aruna memicingkan mata mendengar kalimat perintah yang barusan dia dengar.Riri, gadis berusia dua puluh dua tahun yang pekerjaannya bertugas menemani Zahir dan Zafar selama Aruna mengurus usaha di siang hari itu menggandeng Zahir dan Zafar. Kedua anak lelaki itu memberontak dan menangis, membuat Riri kewalahan. Dendra akhirnya turun tangan, dia langsung mengangkat Zafar ke pundaknya sementara Zahir diseret paksa. Setelah itu, sepupu Tibra mengunci rumah agar kedua keponakannya tidak bisa keluar lagi."Ibu! Ibu!" Suara tangan beradu dengan kaca terdengar jelas. Jendela bahkan bergetar-getar karena Zahir dan Zafar memukulinya tanpa henti.Kejadian yang sangat cepat di depan mata Aruna membuat wanita itu terpana. Dia bahkan seperti tidak menyadari apa yang terjadi sampai dia melihat Zahir dan Zafar menangis memukul jendela kaca sambil meneriakkan nama
"APA YANG KAU LAKUKAN ARUNA?!” Aruna mengerutkan kening. Dia seperti mendengar suara yang tak asing. Otaknya masih belum sepenuhnya bisa mencerna apa yang terjadi.“Kalian lihat?” Aruna langsung menoleh saat menyadari orang yang ada di sampingnya adalah Tibra.Dia mengalihkan pandangan ke arah halaman rumah, di sana terlihat sekitar sepuluh orang awak media yang tengah mengacungkan kamera kepadanya, beberapa sibuk membawa alat perekam suara dan buku catatan.“Apa menurut kalian masuk akal, saya seorang yang selama ini dikenal sangat menyayangi istri dan anak-anak bisa melakukan kekerasan? Sementara di sini, kalian lihat sendiri kan apa yang terjadi?”Aruna mengerutkan kening. Dia masih berusaha membaca dan memahami situasi.“Lihat? Bukankah kalian menjadi saksi bagaimana kasarnya Aruna yang katanya korban KDRT ini memperlakukan sepupu saya?” Tibra menunjuk ke arah Dendra yang meringis kesakitan.Aruna mengepalkan tangan, Tibra menjebaknya. Lelaki itu tersenyum tipis ke arahnya, rencan
“Saya rasa cukup dulu ya teman-teman. Sepertinya kejadian yang sangat kebetulan terjadi hari ini tentu sudah menjawab pertanyaan dari kalian bukan? Apa mungkin seorang Tibra yang terkenal family man ini bisa melakukan KDRT? Kalau sekarang saya bersikap dingin pada Aruna ya karena semua kekacauan yang dia sebabkan sendiri.” Tibra mengangkat kedua tangan sambil menggelengkan kepala.“Satu pertanyaan lagi, apakah benar akan terjadi perceraian? Bagaimana tanggapan anda tentang Aruna yang sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama?” Salah satu awak media kembali bertanya. Dia merasa berita yang dia perlukan belum cukup informasinya.“Lihat nanti. Saya hanya memikirkan kondisi kedua anak saya. Cukup dulu ya saya rasa?” Tibra mengangguk sopan ke arah awak media yang berkerumun. Dia memberi kode pada Dendra untuk meminta mereka meninggalkan halaman.Aruna mendengus mendengar ucapan Tibra. Memikirkan anak-anak? Menikah lagi itu apakah salah satunya yang termasuk memikirkan anak-anak? D