Home / Romansa / MADU Titipan / Anak Siapa?

Share

Anak Siapa?

Author: Askama95
last update Last Updated: 2021-04-09 21:31:00
Mas Kamal meraih dan menggenggam tanganku. "Iya, Pak. Dia istriku,” jawabnya.

Aku tersenyum, bahagia mendengar pengakuannya. “Kupikir dia tidak akan mengakui statusku,” batinku.

Aku sudah berpikiran negatif dan takut diakui sebagai seorang asisten rumah tangganya saja.

Pak Yanto terus memperhatikanku. Matanya tak beralih sedetikpun. Ia seperti tak suka jika aku diakui sebagai istri Mas Kamal juga.

"Oh, cantik juga. Ya ... tapi masih cantikan anak Bapak. Oh iya, Mawar mana?" Matanya berkeliaran mencari kesana-kemari.

Aku tak suka dibanding-bandingkan seperti itu. Aku mengerucutkan bibirku. Jengkel.

"Di kamar, Pak,” jawab suamiku. Ia tak peduli jika istrinya sedang dibanding-bandingkan dan malah menyuruhku, "An, panggil Mawar!"

“Kenapa harus aku, sih?!” Dengan malas aku berjalan dan mengetuk pintu kamar Mawar. Kupanggil-panggil namanya hingga orang yang ku maksud pun keluar. Ia memakai baju yang kuberikan. Terlihat sangat cocok dipakainya.

Mawar tak menghiraukanku. Ia berlari melewatiku begitu saja dan menghampiri kedua orang tuanya. Kulihat mereka begitu menyayangi putrinya.

Mawar duduk di samping Mas Kamal. Kursi itu sempit hingga tidak memungkinkan jika aku pun berada di antara keduanya. Kuputuskan saja untuk berdiri di samping Mas Kamal sambil memegang nampan kosong. "Kok, aku malah kaya ... babu," gerutuku.

Kuhela nafas panjang, mencoba bersabar sambil mendengarkan apa yang mereka akan bicarakan.

"Mawar, ini Ibu bawakan kamu baju, Nak! Kok bisa sih sampai ketinggalan di teras?" tanya istri Pak Yanto. Aku belum mengetahui namanya. Ya, aku tak peduli.

"Iya, Bu. Mas Kamal buru-buru ngajaknya," jawab Mawar.

Ia merangkul lengan suamiku. Lalu menyandarkan kepala di bahunya. Ia begitu manja. Mataku mendelik. Emosi ini kucoba tahan.

“Tuhan ... apa aku terlalu baik?” batinku sambil menengadah dan mengusap wajahku kasar. Frustrasi.

"Pengen buru-buru bulan madu, ya?" goda Pak Yanto yang membuat mataku melotot.

Menurutku keluarga Mawar sungguh tak punya sopan santun. Mereka sama sekali tak peduli akan kehadiranku. Mereka dengan bebasnya berkata masalah kamar dengan sesuka hati. Sungguh keterlaluan.

"Bulan madu apanya? Memangnya dia ga lihat apa, kalau anaknya lagi melendung kaya gitu?" Pikiranku mulai konyol.

"Hahaha. Bapak bisa aja.” Mas Kamal tertawa geli.

Kulirik suamiku. "Apalagi Mas Kamal? Kaya beneran suaminya aja. Euh, menang banyak dia!" Kepalan tangan sudah siap meluncur kapan saja.

Pak Yanto memandang ke luar dari balik jendela. Katanya, "Kaya mau ujan, ya?"

Kulihat memang langit begitu gelap tidak seperti tadi pagi yang begitu cerah sampai aku berkeringat karena berlarian di pasar.

Selang beberapa menit, hujan pun turun. Tetesannya sudah sampai mengenai tanah.

"Pantas aja gerah banget!" kataku. Entah kegerahan karena cuaca entah karena kedekatan Mas Kamal dengan Mawar. Pokoknya, panas.

"Yah, gimana dong kita pulang, Pak? tanya Ibu Mawar. Panik.

Tanpa perundingan terlebih dahulu, Mawar langsung berkata, "Menginap aja, Bu! Mas Kamal juga ga keberatan kok! Iya ‘kan, Mas?" Kulihat ia mengedipkan matanya, genit.

"Eh?! Mmm ..." Mas Kamal berpikir. Ia memainkan jenggot tipisnya. Mengusapnya pelan. Bulu-bulu halus itu memang sangat asyik dimainkan. Geli.
Aku menatap Mas Kamal tajam. Kedua alisku sampai menukik dan bersentuhan satu sama lain. Kugelengkan pelan kepala ini dan lalu tersenyum pada kedua orang tua Mawar.

"Boleh," ucap Mas Kamal yang mengejutkanku. Tanganku yang jahat lalu mencubit punggung suamiku itu. Ia menggelinjang, kesakitan.

Tatapan marah, jengkel kulayangkan pada suamiku. Mas Kamal malah tersenyum padaku.

"Ya udah, Bu. Kita menginap sehari aja di sini," kata Pak Yanto.

"Iya, Pak.” Ibu Mawar mengangguk, mengiyakan.

"Kalau begitu, kita makan dulu, Pak, Bu?" ajak Mas Kamal, sepertinya ia pun sudah merasa lapar.

Mawar meraih kedua tangan orang tuanya. "Iya, Mawar juga udah laper. Kasian 'kan si utunnya kalau sampai telat makan.”

"Manja banget sih?!" sindirku seraya membuang muka.

Kedua orang tua Mawar pun mengangguk. Mas Kamal mengarahkan mereka ke ruang makan. Aku pun mengikuti mereka.

"Wah, kayanya enak. Siapa yang masak?" tanya Pak Yanto sesaat setelah melihat hidangan yang tersaji.

"Istriku, Pak!" sahut Mas Kamal sambil menarik kursi. Ia duduk.

Pak Yanto masih dalam keadaan berdiri. "Yang mana? Istrimu ‘kan sekarang dua,” ucapnya, terkekeh.

"Apaan? Anakmu cuman istri palsu?" batinku meraung-raung.

"Eh?! Anita yang masak, Pak.” Mas Kamal memegang tanganku, berisyarat agar aku segera duduk.

"Oh begitu, pasti rasanya tidak seenak buatan Mawar." Pak Yanto menepuk pundak suamiku, lalu duduk.

"Iyalah Pak, Ibunya juga ‘kan pinter masak," bela Ibu Mawar. Aku semakin terpojok.

Pipi Mawar memerah. Ia duduk di sebelah kiri dan aku di sebelah kanan Mas Kamal. Pokoknya suamiku berada di tengah-tengah.

"Ih? Apa, sih? Kok mereka berdua gitu banget? Sebel!" Aku hanya bisa menggerutu dalam hati karena aku masih menghormati mereka yang lahir terlebih dahulu.

Tanpa basa-basi lagi. Mereka pun mengambil dan mulai mencicipi semua masakanku. Untuk Mas Kamal, aku yang menyiapkan piringnya. Kuambil tiga centong nasi dan lauk pauknya. "Makasih," ucapnya yang membuat jantungku berdebar. Aku mengangguk dan melempar senyum termanisku padanya.

Di sela-sela makan, tiba-tiba Pak Yanto berkata, "Kau harus makan banyak, Mal! Biar kuat. Dua orang gitu, loh!” Beliau tertawa terbahak-bahak.

"Uhuk! Uhuk!" Aku terkejut sampai terbatuk-batuk. Mas Kamal yang sigap segera memberiku air minum.

"Pelan-pelan!" katanya, mengingatkan. Aku mengangguk pelan.

"Ih, Mbak Anita jorok banget sih?!" cela Mawar.

"Maaf," sahutku, agak malu. Semua mata kini tertuju padaku.

"Oh iya, Bapak juga bawa obat kuat buatmu. Ada jamu juga loh!" tambah Pak Yanto.

"Uhuk! Uhuk!" Lagi-lagi aku terbatuk. Mataku melotot mendengar perkataan Pak Yanto. Kuteguk air minum itu lagi.

"Tidak usah, Pak! Tidak perlu repot-repot," jawab Mas Kamal. Ia mengusap punggungku.

"Gimana Mawar?" tanya Pak Yanto. Ia menyikut tangan Mas Kamal.

Aku dan Mas Kamal saling bertatapan. Lalu mata suamiku beralih karena Mawar menarik dagunya. Mawar menguasai suamiku.

"Gimana apanya, Pak?" Mas Kamal tak mengerti, begitu pun denganku yang malah plonga-plongo.

Pak Yanto menggoyang-goyangkan pinggulnya sambil duduk. Ibu Mawar terlihat tertawa kecil sambil menepuk pundak suaminya. Sementara Mawar tersenyum, tersipu malu.

Mereka seakan tidak menganggap keberadaanku. Aku merasa tersisihkan di rumahku sendiri. “Lalu ... siapa tuan rumah di sini?” pikirku.

"Hahaha. Bapak bisa aja!" Mas Kamal tertawa terbahak-bahak membuat mataku mendelik kesal padanya.

"Hahaha. Itu buktinya! Kalian bakalan cepet punya anak," tutur Pak Yanto seraya menunjuk perut anaknya yang membuncit.

Perkataannya justru mengundang tanya dalam benakku.
Mas Kamal dan Mawar terlihat saling bertukar pandang.

"Ada apa ini? Apa benar itu anak Mas Kamal?" Pikiranku mulai kacau. “Apa aku sedang dibodoh-bodohi?”
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MADU Titipan   Perang Dingin Masih Berlanjut

    Setelah mendapatkan uang, aku pun segera pergi. Rasanya aku benar-benar ingin terbang menjauh dari orang yang selalu membuatku naik darah itu.Keringat mulai bercucuran. Ya, mungkin ini akibat dari jarangnya aku berolahraga hingga baru berjalan beberapa meter saja, aku sudah terasa sangat kelelahan.“Gorengan ...!”Suara ini begitu bergetar. Aku sempat minum sebelumnya tadi karena tenggorokan ini mulai kering. Indah tampak nyaman dalam gendongan.“Anak pintar,” ucapku sambil terus berjalan.Tanpa disadari, langkah ini ternyata membawaku ke sebuah tempat yang tak asing. Di sana ada mobil dan ada orang yang kini sangat membenciku.“Mas Rendi,” ucapku pelan. Aku berdiri mematung.Mas Rendi pun menghentikan aktivitasnya yang sedang mengelap kendaraan kesayangannya itu. Ia menatap ke arahku. Bukan, maksudku kepada kami, aku dan Indah.Entah kenapa, aku merasa jika hati ini seolah ingin sekali kembali menjalin hub

  • MADU Titipan   Berjualan

    Rasa takut terus menghantui bahkan sampai mendatangiku di alam mimpi. Ya mimpi buruk tentunya. Mimpi di mana ketika aku sudah sangat mencintai dan menyayangi Indah, tiba-tiba saja Mawar mengambilnya. Sungguh jahat.“Untung cuman mimpi,” kataku yang sudah berkeringat panas dan dingin.Kutatap jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan aku baru ingat jika aku belum makan sejak tadi siang.Kutinggalkan Indah yang tertidur lelap, lalu kupergi ke dapur. Serangan malam seperti ini memang sering terjadi dan aku pun untungnya selalu menyediakan mie instan sebagai ‘jalan jinjaku’.Mie hangat dengan telur. Sebenarnya makanan itu adalah memang makanan favoritku. Ya, itu jadi favorit sesaat setelah Mas Kamal sering pergi. Pergi meninggalkanku tanpa uang sepeser pun. Makanya aku harus irit dan jarang makan royal.Setelah kurasa perutku kenyang, aku pun menonton TV. Sengaja volume-nya pun tak begitu besar karena takut membangunkan Inda

  • MADU Titipan   Biarkan Aku Memilih

    Aku membawa bayi ini menuju ke rumah Mas Rendi. Dengan jantung yang dag-dig-dug tak karuan aku pun masuk. Ternyata Mas Rendi sudah menungguku sambil berkacak pinggang."Anita!" Tentu Mas Rendi akan membentakku seperti itu dan aku sudah sangat siap. Kusimpan tas besar milik bayi ini di atas meja. Tanganku mulai terasa kram."Kenapa kamu ini? Kenapa malah membawa anak itu ke rumah?" Begitupun dengan pertanyaan ini. Aku masih berdiri tak jauh dari pintu sambil mendengarkan apa-apa yang akan dikatakan Kakakku.Kutatap saja matanya. "Kenapa, Mas? Apa tidak boleh?" Padahal aku pun sudah sangat tahu apa yang akan dikatakannya."Sudah jelas tadi Mas ngelarang!" katanya masih dengan nada yang memekikkan telingaku."Tapi, Mas--" Pandangan mataku kini beralih pada si bayi. Kutatap nanarnya yang begitu berbinar. Menggoda dan menggelitik hatiku agar melindunginya."Udah, Mas ga mau ngurusin adik kaya kamu. Mas ga mau juga terbebani anak haram itu!” kata Ma

  • MADU Titipan   Bayi yang Malang

    Pria itu pun melenggang pergi. Ia pulang dan aku masih merasa jantungku belum bisa berdegup dengan normal. Kututup pintu dan kulihat sepasang suami-istri sudah menunggu. Bersiap untuk menggodaku."Cieeee ....," goda Mas Rendi."Ih, apa sih, Mas?" Aku tersipu malu. Pipiku sudah memerah seperti kepiting rebus.Kami bertiga tertawa bersama. Mbak Rina pun menepuk pundakku. "Mbak lihat ... mereka cocok," katanya."Hahaha. Maen cocok cocok aja si Mbak." Aku tertawa terbahak-bahak.Tok! Tok! Tok!Sekitar sepuluh menit, terdengarlah suara pintu diketuk lagi. "Masa dia balik lagi?" pikirku. Hatiku sudah merasa tak karuan.“Jangan-jangan dia balik lagi, An?!” Mbak Rina menyikut perutku pelan sambil terkikik. Begitu pun dengan suaminya. Mereka terlihat begitu kompak. Bahagia melihat penderitaanku."Cieee ... bukain sana!" suruh Mas Rendi. Ia bahkan sengaja mendorongku.Kurapikan rambutku dan dengan semangat kubuka pintu. Ternyata ...."Mas Kamal?"

  • MADU Titipan   Pria Asing

    Ceklek!"Wa'alaikum salam ...," jawab Mas Rendi sambil membuka pintu.Semua mata mengarah ke arah luar. Aku menatap aneh. "Syukurlah, kukira dia Mas Kamal. Tapi ... dia siapa?" batinku.Mbak Rina tersenyum padaku. Aku tak mengerti maksud dibalik senyum itu. Mas Rendi bergegas menghampiri tamu tersebut."Ah ... Mas Rido? Masuk!" Mas Rendi mempersilakan orang asing itu masuk.Kakakku menyebut pria asing itu dengan nama Rido. Kulihat wajahnya memang tampan. Seperti Mas Kamal, dia juga berjanggut dan berkumis tipis. Ia memakai kemeja putih, dengan jas menggantung di lengannya. "Apa dia seorang Bos?" pikirku."Silakan duduk!" titah Mas Rendi. Sementara itu, aku dan Mbak Rina masih berdiri berdampingan seperti sedang mengantre pembagian sembako."Terima kasih, Mas," sahut Rido. Ia pun duduk di sofa tempatku menangis dulu. Ya, tentu saja aku masih ingat.Mas Rendi menatap ke arah kami berdua. Katanya, "Kok malah bengong?! Ambilin air! Masa

  • MADU Titipan   Dilema

    "Hahahahaha ...." Serentak semua tertawa. Ya, menertawakanku."Ya iyalah. Itu kan memang anaknya," ucap Pak Yanto."Mas??" Mataku berkaca-kaca dan segeralah aku berlari keluar. Kupinjam telepon rumah sakit dan mencoba menghubungi Mas Rendi."Mas jemput aku di rumah sakit Bintari!" ucapku di telepon.Setelahnya kututup sambungan telepon itu dan menunggu di bibir pintu masuk rumah sakit. Rasanya aku ingin segera pergi jauh dari tempat ini. Malu.Akan tetapi, tiba-tiba Mas Kamal memelukku dari belakang. "Percayalah! Dia bukan anakku," bisiknya.Aku terkejut. Sejenak aku terdiam. "Lepasin, Mas!" pekikku. Aku sudah menyingkirkan rasa malu ini. Aku berteriak.Namun, Mas Kamal tak menyerah. Ia tak hilang akal dan malah membawaku ke tempat parkir. Di sana memang agak sepi."Udah jelas-jelas wajahnya aja mirip kamu, Mas. Pokoknya aku minta kita cerai. Pisah!" tegasku."Ga. Ga akan. Mas ga mau, An!" Mas Kamal menarik pinggangku. Merangkul tubuhku. Kupaling

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status