➡️ Lanjut ke Bagian 2 🚀
Serangan Mendadak: Nyawa di Ujung Peluru Moya merayap di belakang mobilnya, napasnya memburu. Tembakan masih terdengar memekakkan telinga, memantul di dinding bangunan kosong di sekitar area parkir klub malam. “Bajingan,” desisnya, menyadari bahwa pertemuannya dengan Senator Ruiz bukan sekadar negosiasi. Ini adalah jebakan. Ia meraih pistol Glock 19 dari balik jaketnya, matanya menyapu area sekitar, mencari sumber tembakan. Dua pria bersenjata otomatis muncul dari bayang-bayang, bergerak seperti bayangan pembunuh. Moya tidak menunggu. Dengan gerakan cepat, ia memutar tubuhnya dan menembak. Dua tembakan pertama melesat ke udara, tetapi tembakan ketiga menembus lutut salah satu penyerang. Pria itu roboh sambil menjerit, tetapi rekannya membalas dengan rentetan peluru yang memecahkan kaca mobil. Moya mengutuk dalam hati. Sial, ini bukan kerja amatir. Saat ia bersiap menembak lagi, suara mesin mobil mendekat dengan kecepatan tinggi. Cadillac hitam matte berhenti mendadak di depannya. Pintu terbuka. Rayder. “Naik sekarang!” suaranya tegas, tanpa ruang untuk penolakan. Rayder dan Moya: Bahu Membahu di Tengah Kematian Tanpa berpikir dua kali, Moya melompat masuk. Rayder menekan pedal gas keras, memacu mobil di tengah hujan peluru yang menghantam bodi mobil lapis baja itu. “Bagaimana kau tahu aku di sini?” tanya Moya sambil mengisi ulang magazin pistolnya. Rayder tetap fokus pada jalan di depannya. “Aku punya firasat buruk saat kau bilang akan menemui Ruiz. Senator itu terlalu licik untuk bermain bersih.” Moya mengangkat alis. “Sejak kapan kau percaya firasat?” Rayder menyeringai samar. “Sejak aku tahu firasatku jarang salah.” Sebuah SUV hitam mulai mengejar mereka di belakang. Moya menurunkan jendela dan mengarahkan pistolnya. Ia menembak, dan kaca depan SUV itu retak sebelum akhirnya kendaraan itu menabrak tiang lampu. “Satu selesai,” gumam Moya puas. Kebenaran yang Terungkap di Tengah Kekacauan Saat mereka memasuki jalanan sepi di perbatasan kota, Rayder memperlambat laju mobil. “Mendoza tidak bilang apa-apa soal kemungkinan jebakan,” ujar Rayder, suaranya lebih rendah. “Seseorang di dalam jaringan memberitahu mereka.” Moya mengangguk pelan. “Aku memikirkan hal yang sama. Dan aku punya firasat, ini bukan kartel biasa.” Rayder menatapnya sekilas. “Kau pikir ini Gardigo?” Moya menggeleng. “Tidak. Terlalu rapi. Ini permainan orang dalam.” Keheningan menyelimuti mereka sejenak. Di dunia mereka, pengkhianatan bukan kejutan—itu keniscayaan. Mendoza: Perintah atau Manipulasi? Kembali ke rumah Mendoza, mereka masuk ke ruang kerja yang terasa lebih dingin dari biasanya. Mendoza duduk di balik mejanya, mengamati mereka berdua seperti seorang raja yang menilai prajuritnya setelah pertempuran. “Kalian berhasil selamat,” katanya perlahan. “Itu berarti kalian cukup berguna untuk tetap hidup.” Moya menyilangkan tangan di dada. “Pertanyaannya, siapa yang mengatur serangan itu?” Mendoza tersenyum tipis, tetapi matanya tak menunjukkan kehangatan. “Musuh ada di mana-mana. Jika kalian tidak bisa mengatasi ancaman seperti ini, kalian tidak layak berada di sisi saya.” Rayder mengambil satu langkah maju. “Ada seseorang di dalam organisasi yang membocorkan informasi,” suaranya dingin dan tegas. “Kau tahu siapa mereka?” Mendoza berdiri, melangkah mendekat hingga jarak mereka begitu dekat. “Kalian pikir aku buta? Aku tahu siapa musuhku, Rayder. Pertanyaannya—bisakah kalian membedakan siapa teman dan siapa pengkhianat?” Rayder dan Moya saling bertukar pandang. Pesan Mendoza jelas—mereka sedang diuji, dan taruhannya adalah hidup atau mati. Loyalitas yang Retak di Balik Bayangan Saat mereka keluar dari rumah Mendoza, malam terasa lebih dingin dari biasanya. Rayder bersandar di dinding luar, menyalakan rokok sambil menatap kosong ke jalanan yang gelap. “Aku tidak percaya padanya,” ujar Moya tiba-tiba, suaranya pelan namun tajam. Rayder meniup asap rokok sebelum menoleh. “Kita tidak punya pilihan selain bermain sesuai aturannya… untuk sekarang.” “Untuk sekarang,” ulang Moya, ekspresinya sulit dibaca. Mereka tahu—di dunia ini, kepercayaan adalah senjata sekaligus kelemahan terbesar. Janji di Antara Darah dan Dendam Di bawah cahaya bulan yang samar, Moya memecah keheningan. “Apa kau percaya aku, Rayder?” Rayder mengalihkan pandangannya dari jalanan dan menatap mata Moya lekat-lekat. “Aku percaya padamu lebih dari siapa pun. Tapi ingat ini, Moya—jika suatu hari kau berkhianat, aku sendiri yang akan menyelesaikanmu.” Senyum samar muncul di bibir Moya. “Itu adil. Jika kau berkhianat duluan, aku akan melakukan hal yang sama.” Mereka saling mengulurkan tangan. Genggaman itu bukan sekadar simbol persaudaraan—itu adalah janji di antara dua calon penguasa, di dunia di mana hanya yang terkuat yang bertahan. ****************Bab 21 Bagian 2: Api yang Menyala di Dalam BayangPagi Santa Cruz tidak pernah benar-benar tenang. Terutama pagi setelah Rayder menerima pesan dari suara yang tak ingin dia dengar lagi.Camila.Ia berdiri di depan peta tua yang tergantung di ruang strateginya, jari telunjuknya menelusuri garis menuju lokasi tersembunyi di hutan barat. Tempat itu—sebuah gudang tua tempat dia dulu belajar mengeksekusi musuh pertamanya—kini menjadi arena masa lalu yang menuntut jawaban."Jika itu jebakan, maka mereka sudah menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya," kata Ghost di belakangnya. Wajahnya keras, tetapi ada ketegangan di mata.Rayder mengangguk, perlahan. "Kalau itu benar Camila... aku harus tahu kenapa dia kembali."Moya masuk dengan tablet di tangan. "Delano tidak menunggu. Orang-orangnya menyerang dua gudang kita semalam. Ada 12 korban.""Kita biarkan?" tanya Ghost."Tidak," jawab Rayder pelan. "Tapi sebelum kita menyerang balik, aku akan hadapi Camila dulu."Di tempat lain, di sebuah villa
Bab 21 : Jejak di Tengah BaraLangit malam Santa Cruz tampak seperti tumpahan darah yang belum mengering. Asap tipis menggantung di udara, memantulkan cahaya kota yang terus menyala. Rayder berdiri di balkon markas pusatnya, memandangi lampu-lampu yang berkedip di kejauhan seperti bintang palsu.Di tangannya, laporan elektronik dari Rafael "Zorro" Morales—koneksi politik dan diplomatik kartel—tentang ancaman besar yang kembali muncul dari utara: Lucas Delano, nama yang selama ini dianggap telah tenggelam dalam sejarah berdarah kartel lama."Dia kembali..." gumam Rayder."Dan dia tidak datang untuk berdamai," Moya menyahut dari balik meja kaca. Ia menaruh berkas hasil interogasi di meja.Rayder menatap wajah sepupunya itu. Dalam lima tahun terakhir, Moya telah tumbuh menjadi arsitek finansial dan strategi diplomatik yang paling Rayder andalkan—dan curigai."Kita pernah membakarnya hidup-hidup. Apa dia bangkit dari neraka?" gumam Rayder setengah sinis."Tidak. Tapi orang-orang seperti d
Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 2) --- Tanda-Tanda Pengkhianatan Kairo tidak bisa diam. Ia terus menatap rekaman yang memperlihatkan Zorro memasuki hotel mewah bersama seseorang yang dikenali sebagai Agen AFC berpangkat tinggi. “Kita harus tanya dia langsung,” katanya kepada Rayder. Rayder hanya menatap layar. “Tanya? Kita bukan polisi. Kita tentara bayangan. Kita cabut kepercayaannya dulu, baru tanyakan sisanya.” Moya masuk, tanpa mengetuk. “Ada yang aneh. Rapat komisi anti-korupsi tiba-tiba dibatalkan. Dan dua pejabat tinggi di Tinarkko tiba-tiba menghilang.” Rayder: “Zorro yang atur itu?” Moya: “Atau dia dimanfaatkan untuk mengalihkan perhatian.” --- Penjebakan Zorro Rayder membuat rencana: bukan hanya untuk mengkonfrontasi Zorro, tapi untuk memancing seluruh jaringan yang mungkin ikut terlibat. “Jebak dia. Undang ke rapat darurat. Buat dia bicara,” perintah Rayder. Di malam yang ditentukan, Zorro datang seperti biasa, tenang, rapi, membawa tas dokumen. Rayde
Bab 20: Neraka yang Kami Bangun (Bagian 1) Langit Tanpa Janji Langit Santa Cruz malam itu seperti lembaran kelam. Awan hitam menggantung berat, menyembunyikan bulan, menekan kota. “Dia itu Leonel Diaz,” kata Ghost cepat. “Rekrutan kita yang hilang dua tahun lalu.” Rayder menatap layar, diam beberapa detik. “Dan sekarang dia mengemudi truk ke arah pusat kota?” “Satu truk. Tapi bukan truk biasa,” timpal Moya. “Sensor tangkap konsentrasi gas neurotoksik. VX, kemungkinan.” Rayder berbalik. “Matikan jalur akses ke Zona Empat. Siapkan ledakan di jembatan Del Norte.” Ghost: “Kau yakin mau ledakkan jalan utama?” “Kita tidak buka pintu neraka. Kita segel selamanya.” Dampak Serangan & Kepanikan Kota Panik menyebar seperti penyakit. Rumah sakit penuh. Warga menyerbu toko untuk masker dan makanan. Radio bawah tanah menyebarkan ketakutan yang dibungkus kebohongan. Morena duduk di depan mikrofon, menggenggam naskah berita dengan tangan bergetar. “Kita siarkan kabar darurat sekarang,” uj
Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 2) 8. Kegelapan adalah Senjata Dengan sistem El Silencio masih aktif, Rayder mulai mengubah strategi. “Kegelapan bukan lagi gangguan,” katanya kepada tim elit. “Kita jadikan ia senjata.” Zorro menyebarkan informasi palsu melalui saluran radio tua bahwa Isandro akan melakukan kudeta terhadap pemerintah Tinarkko. Di saat yang sama, Morena menyebar kabar di kalangan bisnis bawah tanah bahwa Isandro telah membunuh dua pemimpin kartel kecil untuk mengambil alih rute mereka. “Jika mereka percaya Isandro akan mengkhianati mereka, mereka akan datang kepada kita,” kata Morena. 9. Jatuhnya Pilar Lama Kairo berhasil menembus jaringan informasi lama yang masih berjalan di bawah kontrol bank hitam internasional. Di sana, ia menemukan transaksi mencurigakan—pengiriman dana dari jaringan yang dulu milik Mendoza kepada identitas yang baru terhubung ke Isandro. “Dia menggunakan harta warisan untuk menghancurkan apa yang diwarisinya,” kata Kairo. Rayder menatap
Bab 19: Kota Tanpa Cahaya (Bagian 1 ) 1. Ledakan dalam Sunyi Pukul 00.01, seluruh distrik timur Santa Cruz gelap total. Bukan hanya padam listrik—semua sistem komunikasi, jaringan digital, bahkan kontrol transportasi dan distribusi logistik terhenti. Kairo menatap layar sistem utama yang padam. Di ruang kendali markas besar, hanya cahaya senter yang menembus kegelapan. “El Silencio bukan hanya sistem penghubung lama,” katanya pelan. “Ini akar dari seluruh perkembangan digital kita. Kalau mati, semua turun bersamanya.” Lupe berkutat dengan terminal cadangan. “Protokol yang kau buat tidak cukup. Kita butuh jaringan baru. Dari awal.” Rayder berdiri membelakangi mereka, menatap jendela hitam. Di kejauhan, suara sirene membelah malam. “Biarkan semua lumpuh. Biarkan mereka tahu bahwa cahaya yang mereka nikmati selama ini datang dari sisi tergelap kota ini.” 2. Reaksi Kacau: Ketakutan di Jalanan Warga mulai panik. Di distrik pusat, orang-orang berlarian. Apotek dijarah, toko makanan