Kangen? Iya. Sebagai perempuan yang memang telah lama memendam perasaannya kepada suami, Diajeng seringkali memimpikan kebersamaannya berdua. Mereka yang hanya berada satu atap ketika hari libur pesantren saja, membuat Diajeng masih ingin berlama-lama bersama suami. Namun Diajeng tak pernah protes, dia tetap menikmati semua keputusan suaminya.
Resepsi memang sengaja di undur oleh kedua belah pihak. Mereka tak ingin membuat acara hanya sekedar selesai dan puas saja. Mereka ingin memberikan kesan tersendiri yang bisa di kenang seumur hidup oleh sepasang pengantinnya. Di pesantren, para santri hanya mengetahui bahwa Ayman selalu memperhatikan Diajeng. Mereka beranggapan bahwa Ayman menyukai Diajeng. Isu tersebut sudah menyebar dan hanya di tanggapi dengan senyuman oleh Diajeng. Diajeng bahagia ketika dia menjadi pusat gunjingan para santri perihal Ayman. Dia juga selalu mengaminkan ketika ada yang mendoakan supaya mereka berjodoh. Bagi teman Diajeng, Ayman memang lebih cocok dengan dirinya yang sama-sama selalu bisa mengharumkan nama pesantren. "Persiapan lombanya bagaimana?" tanya Ayman. "Sudah 80% Ustadz, kadang juga males. Nanti deh belajar lagi," jawab Diajeng terkekeh. Mereka berada di samping ndalem kiai Dahlan. Di kamar yang memang telah di siapkan oleh kiai Dahlan jika mereka ingin bertemu. Melepas sebagian kerinduan. "Ayo tak simak." "Waduh, ndrodok dong." Ayman terkekeh, membuat jantung Diajeng semakin tak terkontrol. Diajeng tak ingin berprasangka apapun. Baginya, mempunyai kesempatan bisa berdua seperti saat ini adalah kebahagian baginya. "Kog manggilnya masih Ustadz, kamu harus terbiasa manggil aku Mas." "Masih belajar Ustadz kesayangan," kekeh Diajeng. "Pulang ke rumah yuk," ajak Ayman. "Lah, kan baru hari Senin." "Minta libur dulu. Biar sebelum lomba nanti kamu bisa lebih fresh fikirannya." Jawab Ayman sembari mengedipkan matanya. "Kog malah jadi babang genit begini Ustadzku," ujar Diajeng. Para peserta lomba yang akan di ikuti Diajeng akan berangkat pada hari Jumat siang. Mereka sengaja di berangkatkan lebih awal, agar para peserta tak kelelahan saat perlombaan nanti. Bahkan itu juga usaluanndari salah satu peserta lomba, supaya bisa bersantai sambil memutholaah kitabnya. Tuuut tuut tuut "Halo Ustadz, ada apa?" Tanya perempuan di seberang telepon. "Assalamualaikum Ning, ini mau minta tolong. Mbak Ajeng mau istirahat dulu di rumah. Nanti kalo ada pengurus pondok yang mencari, kamu bilangin kalo tidur di ndalem saja ya. It's okay gak boleh bantah." "Waalaikumussalam. Mie gacoan level 3, Wonton, Sempol, siomay, jus alpukat dan jus jeruk." "Oke siap, di antar kapan?" "Besok saja, hari ini aku mau keluar sampe malam. Bye, assalamualaikum." "Itu kenapa jawabnya makanan semua?" tanya Diajeng. "Kode tawaran di terima harus ada timbal baliknya. Begitulah Ningmu," kesal Ayman. Diajeng terkekeh, sebab dia memang sering mendapati semua makanan itu di ruang makan ndalem kiai Dahlan. Kata mbak-mbak yang berada di sana, semuanya milik Ning Maya. Sekarang baru terjawab, bahwa yang ada di dunia ini gak gratis. *** Selama menjadi istri dari Ayman, Diajeng biasanya hanya nurut saja apa yang di katakan Ayman. Namun tidak dengan hari ini, Diajeng sejak pagi sudah berkutat di dapur. Dia ingin memasakkan suaminya, agar bisa lebih hemat dan sehat. Sedangkan Ayman sendiri selalu menganggap semua perempuan itu sama, tak bisa memasak. Dua kakaknya type perempuan yang kalau masuk dapur hanya makan saja. Hal itu membuatnya menganggap Diajeng pun sama, apalagi di pesantren putri semua serba catering dan kantin. Ayman memperhatikan istrinya dengan senyuman. Tangan lincah Diajeng tak ragu mau memegang apapun. Bahkan harum masakannya membuat Ayman ingin segera menikmati makanan spesialnya. "Kalau Ustadz pengen makan sesuatu, bilang saja. Insyaallah akan aku masakin," ujar Diajeng. "Kamu memang dari dulu bisa masak?" "Iya Ustadz, Ibu selalu mengajakku memasak. Apapun yang aku inginkan, ibu selalu mengajakku memasaknya sendiri. Alhamdulillah hari ini bisa masakin suami," jelas Diajeng. Ayman terkekeh, "Mbak Lala sama Mbak Nana gak bisa memasak loh. Bahkan mereka gak pernah mau belajar masak, Sampek Oma marah-marah." "Nanti kita masak bareng-bareng." Diajeng menghidangkan masakannya di hadapan Ayman. Menu sederhana yang bisa menghabiskan sebakul nasi. Sayur capcay, ayam goreng bawang, tempe goreng dan sambal. "MaasyaAllah, masakannya istriku enak sekali." Keduanya pun menikmati sarapan istimewanya dengan diam. Ayman tak bisa berbohong, dia sangat menikmati setiap suapan. Sebelumnya dia juga memfoto masakan Diajeng, untuk di pamerkan kepada semua keluarganya. Diajeng puas, meski awalnya ragu untuk memasak. Sejak dia menikah, Ayman selalu membeli makanan mewah. Bahkan dia juga pernah kelaparan karena merasa makanan yang dipesannya sangat mahal dan hanya dapat sedikit. "Nanti malam mau dimasakin apa?" tanya Diajeng. "Kamu bisa masak apa saja?" tanya Ayman balik. "Maunya apa?" "Apapun yang kamu masak, aku mau kog. Aku akan menghabiskan sampai perutku begah," kata Ayman. "Assalamualaikum." Percakapan dan tawa keduanya terhenti, ketika mendengar salam dari luar. Keduanya berpandangan, lalu segera beranjak. Diajeng langsung bergegas ke depan, sedangkan Ayman masih membersihkan tangannya yang kotor. Ceklek "Waalaikumussalam." "Diajeng!"Koridor rumah sakit tetap sepi seperti biasanya. Ruang ICU hanya boleh di tunggu di luar ruangan, sedangkan pasien di dalam hanya ada Risma saja. Bisa di pastikan tempat yang saat ini hanya ada Diajeng saja itu akan terasa sangat mengerikan. Diajeng keluar begitu saja dari ruang bayi. Adu mulut antara Bu Siska dan ibunya Joko membuatnya tak ingin menambah masalah bagi mereka. Diajeng lebih leluasa sendirian seperti itu, timbang banyak orang hanya ada omongan unfaedah saja. Tetesan air hujan telah merata membasahi bumi. Suara guntur saling bersahutan antara yang satu dengan lainnya. Angin kencang ikut terlihat dari lantai dua tempat yang Diajeng saat ini.Diajeng, perempuan bertubuh mungil itu masih menjadi bahan perbincangan banyak orang. Apalagi kalau bukan karena pernikahannya dengan sang Ustadz. Namun bukan itu yang sedang panas di telinga orang lain, kekayaan Aymanlah yang menjadi kunci dari semua ucapan dari satu mulut ke mulut yang lain. Jika bagi mereka Diajeng orang pilihan
Tangan Sifa di genggam erat oleh seseorang. Tangisnya tak bisa di bendungnya lagi. Beberapa hari yang lalu, orang tuanya mempermalukannya di depan umum dan dia hanya tersenyum saja. Hari ini, semua perasaan Sifa serasa hancur lebur tak berbentuk. Sifa mendongakkan kepalanya, melihat sosok yang tengah memegangnya. Tangisnya kembali pecah ketika orang yang di ajaknya bicara pun tengah berurai air mata. Keduanya beradu pandang tanpa sepatah kata apapun. Benar, Risma tersadar dari kritisnya. Setelah dua hari tak sadarkan diri. Walaupun tampak lemas tak berdaya, Risma mampu menggenggam saudara SE ayah itu dengan erat. "Maafkan aku Mbak," lirih Risma. Sifa bangkit dengan mengusap pipinya yang basah. Dia memanggil perawat yang berjaga di ruang ICU. Sifa juga menyempatkan diri untuk membasuh mukanya ke toilet. "Apa yang di rasakan Mbak?" tanya perawat. "Sakit semua Kak." "Di buat istirahat dulu ya. Biar nanti langsung di pindahkan ke ruang rawat inap saja." "Kenapa baru bangun kamu, a
Ayman datang bersama ustadz Faris yang karena Diajeng berulangkali tak bisa di hubungi oleh Ayman. Ayman yang awalnya ingin datang ke rumah sakit sendirian, namun ustadz Faris malah mengintil di jok belakang. Mau tak mau Ayman pun datang berdua lagi bersama ustadz Faris. Diajeng tak menyadari suaminya yang duduk di sampingnya. Dr Mila pun sama, mereka berdua mengobrol sembari memejamkan mata. Tanpa menghiraukan Sifa yang bersitegang dengan kawan bicaranya, Diajeng begitu menikmati kedamaiannya."Sayang," panggil Ayman. Sontak Diajeng membelalakkan matanya. Di lihatnya pula Sifa yang wajahnya tampak pucat. Merasa kebingungan, Ayman tersenyum kecil sembari mengedipkan matanya. "Aneh," celetuk Diajeng. "Tetep gantengan aku dong," kekeh Ayman."Loh, Ustadz kog kesini lagi?" Tanya dr Mila ketika menyadari kebisingan di sampingnya. "Iya Dok, tadi Diajeng gak bisa di hubungi. Mau telpon Dokter, saya gak ada nomernya." "Hah? Ada apa Mas? Tadi aku habis jagain Risma di dalam, jadi gak b
Seorang perawat memanggil Diajeng karena masa penungguan pasien sudah habis. Diajeng harus keluar dan nanti akan di panggil lagi kalau sudah waktunya jam menunggu pasien. Perawat juga memberitahu Diajeng kalau Risma sudah menunjukkan perkembangannya. Diajeng keluar di sambut Sifa dengan keinginan tahuannya. Walaupun Sifa tak menyukai sifat adik tirinya itu, namun dia juga sebenarnya merasa kasihan. Bagaimanapun juga, ada darah yang sama di dalam tubuh Risma dan dirinya. "Belum sadar juga?" "Belum Fa, tadi aku ajak dia baca Yasin. Terus aku genggam tangannya dan kudekatkan bibirku di telinga Risma. Alhamdulillah dia respon, dia menangis kayaknya. Soalnya ada air mata yang menetes gitu." "Kamu mencoba berbicara dengannya gak Jeng?" Gantian dr Mila yang penasaran. "Iya Dok, aku bilangin tuh adeknya Sifa. Tak suruh insaf, kalaupun dia enggak selamat kan minimal sudah ada niatan baik gitu. Jangan marah ya Fa hehe," kekeh Diajeng. "Kamu betul sih, soalnya dia juga banyak dosa. Kayakny
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan ICU. Belum ada perkembangan yang lebih baik pada Risma. Keadaannya masih sama, kritis.Orang tua Risma tampak kusut berada di depan ruang ICU. Mata mereka juga sembab. Ibu Risma tak lagi menampakkan wajah garangnya. "Makan dulu Yah, Mah. Habis ini kalian pulang saja, nanti sore baru kesini lagi. Biar kita saja yang menunggu Risma," ujar Sifa. "Kita langsung pulang saja Nak, kasihan Mama nangis terus semalam. Ini nasinya kita bawa pulang saja ya," kata pak Udin. "Oh, bawa saja semuanya kalau begitu Yah. Biar kalian gak beli lagi," kata Sifa. Kedua pasangan paruh baya itu pun beranjak untuk kembali ke rumah mereka. Tanpa menyapa lagi ataupun sekedar senyum. Dr Mila hanya melirik Diajeng sembari tersenyum kecut. Seorang perawat keluar dan mencari keluarga Risma. Di tangannya nampak membawa sebuah kertas yang di serahkan pada Sifa. Perawat hanya meminta Sifa untuk mengambilkan obat yang saat ini sangat di butuhkan ya oleh adi
"Oalah mbak, cantik-cantik kog senengnya merebut calon orang. Mbok ya sing kreatif gitu loh," ujar seorang perempuan muda di toko sayur dan kebutuhan rumah tangga depan komplek. Diajeng yang sedang menemani Sifa itu mengerutkan keningnya. Ibu muda tadi melototkan matanya dengan tajam di hadapan Diajeng. Merasa tak mempunyai masalah, Diajeng pun mengacuhkannya. "Ya begini kalau terlahir dari keluarga tak berpendidikan tinggi, diajak berbicara saja melengos. Sudah merasa menjadi perempuan paling cantik," lanjutnya lagi.Diajeng membuntuti Sifa yang tengah sibuk mencari berbagai kebutuhan yang akan di bawanya ke rumah sakit. Toko sedang ramai, banyak ibu-ibu yang berbelanja sayur saling berbisik. Semua mata mengarah pada Diajeng, dengan mulut mereka berkomat-kamit sangat bising. Dari rumah Diajeng tak berniat membeli apapun. Dia hanya mengantarkan Sifa yang belum tahu Tutik letak toko di daerah sini. Sifa yang keukeh ingin berbelanja itu pada akhirnya meminta Diajeng untuk mengantarka