Share

BONUS

Penulis: Ayuwine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-18 04:49:36

“Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah.

“Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang.

“Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin.

Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan.

Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya.

Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas.

*

Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seolah mereka hanyalah dua orang asing yang kebetulan berada di ruangan yang sama. Tak ada obrolan hangat, apalagi candaan ringan seperti dulu.

“Nad,” panggil Rama, akhirnya memecah kesunyian.

“Hm?” jawab Nadia singkat, tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.

“Kapan kamu mau memberikan hak Mas?” tanya Rama ragu. Ia hanya ingin meminta haknya sebagai suami yang normal.

Nadia mengerutkan dahi. Ekspresinya langsung berubah tak senang.

“Ya ampun, Mas, pakai minta hak segala. Ini masih pagi, jangan merusak suasana, deh. Kan aku sudah bilang aku capek. Nanti saja kalau sudah nggak capek.”

“Tapi kamu sanggup mandi susu dan perawatan sampai badan sebersih itu. Untuk siapa kalau bukan untuk suamimu?” Rama mulai mengeluarkan unek-uneknya. Selera makannya mendadak lenyap.

Nadia memutar bola matanya malas. “Aduh, Mas, perkara mandi susu saja dibahas. Sudah ah, aku berangkat dulu.”

“Aku antar ya, Nad?”

“Tidak usah. Aku bawa mobil sendiri saja. Lagipula kantor kita juga nggak searah,” tolak Nadia mentah-mentah.

Rama terdiam.

Ingatannya melayang ke masa awal pernikahan mereka. Dulu, Nadia tak pernah pergi ke mana pun tanpa Rama. Bahkan saat pertama kali bekerja, Rama selalu setia mengantar dan menjemputnya. Namun sejak jabatan dan gaji Nadia melampaui dirinya, sikap wanita itu berubah perlahan—hingga kini terasa begitu jauh.

Padahal Rama adalah pria yang tampan. Hidungnya mancung, rahangnya tegas, dan sorot matanya tajam. Tubuhnya yang tegap kerap membuat wanita lain melirik. Namun di mata Nadia, seakan-akan keberadaan suaminya tak lagi berarti.

“Mas, aku berangkat! Bye!” teriak Nadia dari depan, membuyarkan lamunan Rama.

Rama hanya mampu membalas lambaian tangan istrinya dengan senyum getir.

Dengan perasaan jengkel, ia membereskan meja makan lalu mencuci piring. Rama merasa malu jika ibu mertuanya yang terus mengurus rumah. Seharusnya ia dan Nadia yang melayani orang tua, bukan sebaliknya. Namun kenyataannya, jangankan mencuci piring, menyapu lantai pun Nadia sudah tak mau melakukannya.

Sesampainya di kantor, Rama disambut oleh Sinta, rekan kerjanya yang memang terang-terangan menaruh perasaan padanya.

“Hai, Ram! Baru datang?” sapa Sinta dengan senyum menggoda. Rama hanya mengangguk sopan.

“Betah banget sih sama motor lama itu. Nggak mau ganti?” sindir Sinta sambil melirik kendaraan Rama.

“Ini motor penuh perjuangan, Sin. Saksi cinta aku dan istriku. Sayang kalau diganti,” jawab Rama seadanya. Padahal, alasan sebenarnya karena ia memang belum memiliki cukup uang untuk membeli yang baru.

Mendengar jawaban itu, wajah Sinta langsung merengut. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik dan pergi meninggalkan Rama.

“Perempuan zaman sekarang… berani sekali menggoda suami orang,” lirih Rama dalam hati sambil menggelengkan kepala.

Hari ini, Rama mendapat tugas dari atasannya untuk memasarkan unit motor di lapangan. Ia membagikan brosur di pinggir jalan yang ramai, berharap ada calon pembeli yang tertarik.

Di tengah kesibukannya, seorang wanita berpenampilan modis dengan pakaian bermerek mendekatinya.

“Ini brosur penjualan motor?” tanya wanita itu dengan suara lembut.

Rama mengangguk antusias. “Benar, Bu. Kami punya berbagai tipe terbaru. Ibu butuh berapa unit?”

“Saya membutuhkan beberapa motor untuk operasional pegawai saya. Bisa saya bicara langsung dengan atasanmu?”

Tanpa membuang waktu, Rama segera mengantar wanita itu ke kantor. Di sana, mereka bernegosiasi cukup lama hingga akhirnya wanita tersebut mengambil keputusan.

“Baik, saya ambil sepuluh sepedah motor keluaran terbaru.”

Rama tertegun. Khayalan yang sempat terlintas di benaknya pagi tadi kini benar-benar menjadi kenyataan.

Atasan Rama yang merasa puas langsung menepuk bahunya. “Kerja bagus, Rama! Kamu berhak mendapatkan bonus lima puluh juta dari penjualan ini!”

Hati Rama seketika berbunga-bunga. Dengan uang itu, ia bisa mewujudkan impiannya membeli motor baru—dan yang terpenting, menyenangkan hati istrinya.

**

Saat jam istirahat tiba, Rama membuka bekal buatan ibu mertuanya. Alya memang sengaja menyiapkannya karena Nadia tak pernah melakukan hal tersebut.

Sambil makan, Rama segera menghubungi Nadia untuk menyampaikan kabar bahagia itu.

“Halo, Nad. Aku punya kabar baik,” ucap Rama penuh semangat saat sambungan tersambung.

“Apa, Mas? Cepat ya, aku lagi sibuk,” jawab Nadia dingin.

Rama menceritakan keberhasilannya mendapatkan bonus besar. Namun, respons Nadia justru di luar dugaannya.

“Oh, baguslah. Simpan saja buat kamu. Beli motor baru sana, biar nggak malu-maluin aku terus,” ucap Nadia datar.

Suara Rama melemah. “Rencananya aku mau belikan kamu cincin, Nad. Sekalian kita makan malam di luar.”

“Nggak usah. Aku bisa beli cincin sendiri. Makan malam juga aku nggak ada waktu. Sudah ya, aku sibuk. Bye!”

Klik.

Telepon ditutup sepihak. Kebahagiaan Rama seketika sirna. Ia menghela napas panjang, menatap layar ponselnya yang kini gelap.

Meski hatinya terluka oleh sikap dingin sang istri, rasa cintanya tetap bertahan. Baginya, semua ini hanyalah ujian dalam rumah tangganya. Meski banyak wanita berada yang mencoba menggoda, Rama tetap teguh pada prinsipnya sebagai pria setia.

Rama pulang dengan kepala terasa berat.

Pekerjaan, rumah tangga, dan pikirannya sendiri bercampur menjadi satu.

Saat motor nya berhenti di depan rumah, Rama menghela napas panjang sebelum turun. Ia belum siap menghadapi malam—atau siapa pun yang ada di dalamnya.

Pintu rumah terbuka sebelum ia sempat meraih gagang.

Alya berdiri di sana.

Wanita itu tersenyum lembut, mengenakan pakaian rumah yang sederhana, namun entah kenapa terasa berbeda malam ini. Rambutnya di sanggul rapi, memperlihatkan leher nya yang jenjang ,aroma tubuhnya samar namun mengusik.

Rama menelan ludah.

Ia sadar betul—perhatiannya seharusnya tidak tertuju ke sana.

Namun tubuhnya bereaksi lebih dulu sebelum logikanya sempat mengingatkan.

Rama memalingkan wajah, berusaha mengendalikan diri.

“Lesu banget, Ram?” tanya Alya, memecah lamunan rama.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   TATAPAN MERTUAKU

    Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   BONUS

    “Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SAMAPI KAPAN?

    Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SIAPA PEREMPUAN ITU?

    “Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   PERNIKAHAN YANG SEMAKIN HAMBAR

    “Mas, aku berangkat dulu, ya!” Nadia berpamitan pada suaminya. “Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah. Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya. “Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!” Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali. Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir. Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status