Share

TATAPAN MERTUAKU

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-12-18 10:53:08

Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya.

“Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal.

Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai.

“Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama.

Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit.

“Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan.

“Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas.

Namun saat di atas, langkahnya terhenti. Ia berbalik.

“Oh iya, Bu, shower-nya sudah nyala?”

Alya mendongak, lalu menggeleng kecil. Namun gelengan itu justru membuat bagian dadanya ikut bergoyang. Rama menelan ludah kasar. Kenapa mertuanya bisa sesempurna ini? pikirnya.

“Nanti biar aku perbaiki ya, Bu,” ucapnya cepat lalu langsung pergi. Bukan apa-apa, ia takut jika mertuanya mandi di kamar mandi bawah lagi. Biasanya, pagi hari Rama mandi di sana karena kamar mandi atas selalu dikuasai istrinya.

Akal sehatnya tahu itu tidak akan aman jika setiap pagi ia selalu disuguhi pemandangan mertuanya mengenakan kimono. Bagaimanapun juga, ia adalah pria normal yang akan merasa panas dingin saat melihat seorang perempuan montok mengenakan kimono dalam keadaan basah.

Setelah selesai mandi, Rama menoleh ke jam dinding. Ternyata sudah pukul tujuh malam, namun istrinya belum pulang. Padahal ia sudah mengirim pesan untuk makan malam bersama malam ini. Namun jangankan pulang, membuka pesannya saja Nadia tak sempat.

“Hah… sudahlah, mungkin dia sibuk,” ucapnya sambil melangkah turun, mencoba tetap berpikir positif untuk kesekian kalinya.

Walau ingatannya tentang Nadia bersama pria lain dan tanda merah di perutnya seharusnya menjadi bukti kuat, tapi tidak bagi Rama. Baginya, itu mungkin hanya kebetulan—bisa saja ia berhalusinasi, atau mungkin hanya gigitan serangga, walau tak masuk akal. Namun bagi Rama, itu masih mungkin.

Saat ia turun ke meja makan, makanan sudah terhidang rapi. Bukan hanya pizza, ada jus dan makanan lain.

“Kita tunggu Nadia dulu?” tanya Alya saat melihat Rama datang.

Rama menggeleng sambil duduk.

“Nggak usah, Bu. Kayaknya Nadia pulang malam,” jawabnya getir.

Alya mengerutkan dahi.

“Masa sih? Apa kamu sudah bilang kalau kamu dapat bonus dan—”

“Sudah semuanya, Bu. Tapi Nadia masih sibuk katanya,” potong Rama dengan senyum tipis.

Alya menggeleng pelan, semakin iba melihat menantunya.

“Ya sudah, kita rayakan berdua saja ya. Nggak apa-apa, Rama?”

Rama mengangguk.

Alya bangkit, menyodorkan piring pada Rama agar ia bisa memilih makanan.

Hening. Tak ada percakapan. Alya paham betul perasaan menantunya. Momen yang seharusnya bahagia justru menjadi menyedihkan karena sang istri sama sekali tak memberi respons atau apresiasi, bahkan menolak hadiah yang akan Rama belikan.

“Ram, biar sama tukang saja ya yang benerin shower-nya. Kasihan kamu, pulang kerja masih harus benerin,” ucap Alya setelah makan malam selesai.

Rama menggeleng.

“Gapapa, Bu. Rama nggak capek kok. Sekarang saja aku benerin ya.”

Tanpa menunggu jawaban, Rama menuju lantai atas ke kamar mertuanya.

“Keterlaluan si Nadia ini!” gumam Alya. Menurutnya, putrinya sudah kelewat batas.

Rama sibuk memperbaiki shower. Ia memang terbiasa dan berbakat memperbaiki banyak hal.

Alya masuk ke kamar mandi berniat memberikan minum pada menantunya, namun siapa sangka ia terpeleset.

“Ahk!”

Alya terjatuh. Rama kaget setengah mati. Ia langsung berbalik, mengangkat tubuh mertuanya, membopongnya ke kasur.

“Aduh, Bu, ini terkilir,” ucap Rama cemas. Alya meringis, rasa sakit menjalar di kakinya.

Rama menahan gejolak saat melihat paha mertuanya yang putih dan mulus, terlihat begitu berisi.

“Boleh Rama izin pegang, Bu? Rama bisa ngurut,” ucapnya sopan.

Alya mengangguk cepat. Ia tak tahan rasa nyeri.

Rama berjongkok, menyejajarkan posisinya dengan kaki Alya yang sedang cedera. Jemarinya yang kokoh menggenggam pergelangan kaki sang mertua dengan mantap. Dalam satu gerakan cepat dan terukur, ia menyentak kaki itu ke arah kanan untuk mengembalikan posisi uratnya.

"Akh, Rama!" teriak Alya melengking. Rasa sakit yang mendadak membuat kaki satunya refleks terbuka lebar. Karena hanya mengenakan rok pendek, gerakan spontan itu praktis menyingkap apa yang seharusnya tersembunyi.

Pandangan Rama terkunci. Napasnya tertahan di tenggorokan saat ia melihat langsung area sensitif mertuanya yang tampak penuh dan menonjol di balik kain tipis itu. Rama menelan ludah dengan susah payah, dadanya bergemuruh hebat menyaksikan pemandangan yang begitu menggoda naluri lelakinya.

Sementara itu, Alya masih memejamkan mata erat, merintih pelan menahan sisa nyeri yang menjalar. Ia tidak menyadari bahwa posisinya saat ini telah membakar gairah menantunya.

Darah Rama berdesir kencang. Ada dorongan liar di dalam dirinya untuk maju dan mencicipi keindahan yang terpampang di depan mata. Namun, setitik kesadaran yang tersisa segera menampar logikanya.

"Ini salah..." lirihnya dalam hati.

Dengan gerakan canggung, Rama segera bangkit dan melangkah mundur. Ia berusaha menutupi bagian depan celananya yang mulai terasa sesak dan menegang hebat.

"Em, Bu... itu... posisinya sudah saya perbaiki. Tunggu sebentar, saya ambilkan air minum supaya Ibu lebih tenang. Besok juga pasti sudah sembuh," ucap Rama terbata-bata. Tanpa menunggu jawaban, ia bergegas keluar dari kamar dengan langkah seribu.

Alya mengerjap, sedikit bingung melihat sikap menantunya yang tampak terburu-buru. "Kenapa dia?" pikirnya heran. Namun, sedetik kemudian ia tersenyum tipis. "Menantu yang sangat baik. Dia pasti cemas sekali melihatku kesakitan tadi."

Di luar kamar, Rama bersandar di dinding sambil terengah-engah seolah baru saja berlari maraton. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya, berusaha keras meredam gejolak yang nyaris meledak.

"Ini harus segera disalurkan," geratunya kesal. "Aku harus bicara pada Nadia. Sudah terlalu lama dia membiarkanku 'menganggur' seperti ini."

Rama merasa frustrasi. Hasrat yang tidak tersalurkan pada istrinya membuatnya menjadi sangat sensitif dan mudah terpancing, terutama setelah melihat godaan yang tidak disengaja dari ibu mertuanya sendiri.

Rama bangkit dari duduknya dan berjalan mondar-mandir di kamar. Dinding terasa semakin sempit, napasnya pun berat. Ia mencoba menyalahkan kelelahan, menyalahkan jarak emosional dengan Nadia, apa pun,asal bukan dirinya sendiri.

Namun tubuhnya tak bisa dibohongi.

Ia sadar betul, hasrat yang lama terpendam itu membuat pikirannya keruh. Setiap sentuhan kecil terasa berlebihan, setiap perhatian sederhana menjadi bermakna ganda. Dan yang paling mengganggunya—ia tahu, ibu mertuanya sama sekali tidak berniat apa-apa.

Atau setidaknya, itulah yang ingin ia percayai.

Rama meraih ponselnya, berniat mengalihkan pikiran. Namun layar yang menyala justru memantulkan kembali kegelisahannya sendiri. Ia mengusap wajah kasar, lalu menghela napas panjang.

Saat itulah terdengar ketukan pelan di pintu kamar.

Rama menegang.

Suara langkah kaki terdengar jelas di balik pintu, diikuti suara yang ia kenali—tenang, lembut, dan membuat dadanya mengencang tanpa alasan.

“Rama… kamu masih bangun?”

Tangannya terangkat, berhenti tepat sebelum menyentuh gagang pintu.

Dan pintu pun terbuka lebar.

Rama terdiam sesaat saat melihat siapa yang berdiri di balik pintu. Jantungnya berdetak lebih keras dari yang seharusnya, seolah tubuhnya bereaksi lebih cepat daripada pikirannya.

Alya.

Ibu mertuanya berdiri di sana dengan ekspresi tenang, seakan kedatangannya adalah hal paling wajar di dunia. Rambutnya kini tergerai rapi, wajahnya tampak lembut di bawah cahaya lampu koridor yang temaram.

“Belum tidur?” tanya Alya pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   TATAPAN MERTUAKU

    Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   BONUS

    “Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SAMAPI KAPAN?

    Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SIAPA PEREMPUAN ITU?

    “Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   PERNIKAHAN YANG SEMAKIN HAMBAR

    “Mas, aku berangkat dulu, ya!” Nadia berpamitan pada suaminya. “Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah. Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya. “Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!” Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali. Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir. Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status