LOGINRama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent
“Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo
Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.
“Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk
“Mas, aku berangkat dulu, ya!” Nadia berpamitan pada suaminya. “Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah. Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya. “Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!” Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali. Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir. Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidak







