Share

SAMAPI KAPAN?

Author: Ayuwine
last update Last Updated: 2025-12-18 03:30:32

Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan.

Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya…

berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan.

Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang.

Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah.

“Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala.

Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan.

Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu.

“Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia. Dia juga menyayangiku sejak dulu, bahkan masih bertahan saat kariernya sedang cemerlang,” bisiknya, mencoba menguatkan diri sendiri.

Namun bukannya tenang, kepalanya justru berdenyut hebat. Pikirannya benar-benar mengganggu fokusnya. Perlahan, ia kembali menoleh ke arah kamar tempat Nadia tertidur pulas.

Ia menggigit bibirnya, gelisah. Hasrat yang tak tersalurkan kini ditambah masalah baru: tanda merah yang tak asing bagi siapa pun yang melihatnya.

“Argh!” pekiknya akhirnya. Rama mengacak rambutnya dengan frustrasi.

Angin malam sama sekali tak menenangkannya. Rokoknya sudah habis beberapa batang, namun pikirannya tetap kalut.

Akhirnya ia turun ke bawah. Tenggorokannya terasa sangat haus.

“Ram?” panggil sang mertua, membuat Rama terperanjat kaget. Beruntung ia tak sampai terjatuh dari tangga.

“Astaga, Bu… Rama kaget,” ucapnya.

“Lagian kamu kenapa melamun begitu, Ram? Hati-hati kalau turun tangga sambil melamun, bahaya. Memangnya ada apa?” tanya Alya.

Alya merasa ada yang tidak beres dengan gelagat menantunya. Sejak kedatangannya, ia tak pernah melihat wajah Rama ceria—selalu murung.

Rama terdiam. Ia bimbang, apakah harus menceritakan semuanya atau tidak. Namun jika dipendam sendiri, rasanya terlalu berat.

“Gak apa-apa, Ram. Cerita saja sama Ibu. Anggap Ibu juga ibumu sendiri. Apa ada masalah dengan Nadia?” lanjut Alya, seolah mengerti.

“Kenapa Ibu belum tidur? Ini sudah larut malam,” Rama justru balik bertanya.

Alya tersenyum manis sambil membenarkan kemben yang dikenakannya, membuat Rama beberapa kali menelan ludah.

“Astaga, kenapa mertuaku selalu membuatku panas dingin? Ditambah hasrat yang belum tersalurkan, jadi makin tak karuan,” keluh Rama dalam hati. Beruntung ia mengenakan celana agak longgar sehingga tak terlihat mencolok.

“Ibu juga gak tahu, Ram. Tiba-tiba susah tidur, jadi nonton TV. Eh, lihat kamu turun,” jawab Alya.

Rama hanya mengangguk.

“Rama izin ke dapur ya, Bu. Rama haus.”

“Biar Ibu saja. Kebetulan Ibu juga lapar. Kita makan mi instan yuk,” ajaknya tanpa canggung, seolah ingin mengakrabkan diri.

Rama tak enak hati menolak. Ia pun mengangguk dan mengikuti Alya dari belakang.

Alya memang sangat modis. Ia berpakaian layaknya anak muda zaman sekarang, jarang mengenakan daster. Maklum, ia lama tinggal di luar negeri dan terbiasa dengan gaya hidup barat.

Mengenakan kemben dan celana pendek pada pukul satu dini hari tentu membuat siapa pun yang melihat merasa salah tingkah—termasuk Rama, pria normal yang sudah lama tak mendapat perhatian dari istrinya.

Perasaannya semakin tak karuan.

“Ram, tolong ambilkan mangkuk, sayang.”

Rama yang duduk di meja makan langsung berdiri, mengambil dua mangkuk, lalu menyerahkannya.

“Tolong tuangkan bumbunya ya. Ibu mau buat jus dulu.”

Rama mengangguk tanpa menjawab. Ia berdiri di samping Alya. Aroma parfum yang harum menusuk hidungnya. Tanpa sadar ia menoleh, dan pandangannya langsung tertangkap pada dua melon sang mertua.

“Astaga,” lirihnya sambil memejamkan mata dan memalingkan wajah.

“Berasa uji nyali,” keluhnya dalam hati.

“Apa, Ram?” tanya Alya, sepertinya mendengar gumaman itu.

“Eh, enggak, Bu… enggak,” jawab Rama gugup.

“Nah, sudah jadi. Yuk, makan.”

Di meja makan, mereka menyantap mi goreng dan jus buah naga buatan Alya. Keduanya makan dengan lahap. Jika dilihat sepintas, tak akan tampak seperti hubungan menantu dan mertua—Alya terlihat begitu awet muda dengan tubuh dan kulitnya yang kencang.

“Gimana tadi? Pasti capek ya? Habis berapa ronde nih?” goda Alya sambil terkekeh, melihat Rama makan seperti orang kelaparan.

Rama menggeleng pelan. “Enggak ada ronde-rondean, Bu. Nadia sudah tidur duluan,” keluhnya, mulai berani bicara.

Alya mengerutkan dahi. “Loh, serius, Ram? Padahal tadi nadia bilang dia sudah mandi susu biar pelayanannya maksimal.”

Rama tertegun. Tangannya yang memegang sendok terhenti. Jantungnya kembali berdegup kencang. Ingatannya melayang pada tanda merah di perut istrinya.

“Untuk siapa dia merawat tubuhnya? Untuk siapa dia mandi susu?” pikirnya, merasa ada yang janggal.

“Rama?” panggil Alya, membuatnya tersentak.

“Habiskan dulu makannya. Biar Ibu sekalian cuci,” ujar Alya, mengalihkan pembicaraan. Ia sebenarnya ingin bertanya lebih jauh, namun melihat wajah Rama yang canggung, ia paham menantunya adalah tipe pendiam.

Rama mengangguk cepat dan menghabiskan sisa mi serta jusnya.

Alya bangkit menghampirinya, mengambil piring dan gelas kosong, menatanya dengan rapi. Posisi mereka kini sangat dekat—kepala Rama tepat sejajar dengan dada mertuanya.

Rama menelan ludah berkali-kali. Akal sehatnya mulai goyah.

Malam semakin larut, begitu pula pikirannya yang makin kalut.

Akhirnya ia bangkit dan pamit kembali ke kamar, tak lupa mengucapkan terima kasih karena Alya sudah membuatkan mi yang sangat enak.

Melihat Rama yang pergi agak tergesa, Alya bergumam. “Kasihan sekali anak itu. Keterlaluan sekali Nadia mengabaikannya. Bagaimana kalau dia lelah dan akhirnya berpaling pada wanita lain?”

Alya merasa iba. Baru sehari menginap, ia sudah bisa menyimpulkan bahwa putrinya bersikap cuek pada suaminya. Terlihat jelas dari cara Nadia berbicara dan menatap Rama—tanpa kehangatan, tanpa cinta.

Alya menghela napas panjang, lalu menyimpan piring kotor di wastafel dan mencucinya hingga bersih.

Pagi nya,Rama terbangun dengan perasaan hambar. Ia bahkan tak mendapati istrinya terbaring di sampingnya. Tanpa perlu bertanya, Rama sudah sangat paham ke mana istrinya pergi sepagi itu.

“Sayang?” panggil Rama sambil berdiri di depan pintu kamar mandi.

Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik air yang terdengar dari balik pintu.

Mau tidak mau, Rama pun turun ke lantai bawah dengan niat menggunakan kamar mandi di sana. Ia melingkarkan handuk di leher, lalu berjalan santai menuju pintu kamar mandi.

Namun, tepat saat ia hendak memutar knop pintu, daun pintu itu justru terbuka dari dalam.

Ibu mertuanya, Alya, muncul dari balik pintu. Keduanya sontak tersentak kaget.

“Astaga!” seru mereka hampir bersamaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   KLIEN NAKAL

    Lagi-lagi ia harus menahan hasratnya. Hampir meledak, namun gagal karena ada telepon masuk.Rama menghela napas panjang. Kepalanya berdenyut, menahan nafsu yang tertahan—padahal tinggal sedikit lagi, namun semuanya gagal total.Rama menunggu istrinya menelpon, namun rasa kesalnya semakin memuncak saat melihat istrinya begitu asyik berbincang dengan atasannya.“Atasan macam apa itu? Kenapa dia begitu akrab dengan bawahannya?” gumam Rama, tatapannya tajam menusuk punggung istrinya.Seolah ada yang janggal.Namun ia tak mau memikirkan terlalu jauh. Kepalanya sudah cukup pusing saat ini.Ia bangkit, mengambil sebungkus rokok, lalu melangkah turun ke bawah.Ia berjalan ke taman belakang rumah. Pukul sembilan malam terasa panas baginya. Beberapa kali ia menyesap rokok dan menghembuskan kepulan asap.Pikirannya terasa penuh.“Kenapa semuanya terasa sulit, padahal tinggal menuntaskannya sebentar lagi? Apa Nadia nggak bisa menunda ponselnya sebentar saja?” gumamnya, kekesalan itu belum juga re

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   MALAM YANG PANJANG

    “Belum, Bu,” jawab Rama. Wajahnya terlihat menegang. “Kamu hebat, Ram. Lihat, Ibu sudah bisa jalan walaupun masih sedikit ngilu,” puji Alya pada Rama. Ia melangkah masuk ke dalam kamar Rama, sedikit berputar, namun tubuhnya tak seimbang dan— bruk Tubuh sintal Alya terjatuh menindih tubuh Rama yang sama sekali belum siap menerima timpaannya. Keduanya terkapar di lantai. Rama tertindih oleh tubuh mertuanya yang yang aduhai dan tentu saja wangi. Mereka seolah terkunci. Tak ada percakapan, namun mata mereka bertemu, seakan saling berbicara. “Aduh, maaf, Rama. Ibu nggak sengaja,” pekik Alya. Ia mulai tersadar. Dengan gerakan cepat ia berusaha bangkit, namun sedikit kesusahan. Rama sigap bangun. Tangannya terulur membantu Alya berdiri. “Hati-hati, Bu. Nanti terkilir lagi,” ucap Rama sambil tersenyum kecil, membuat pipi Alya memerah karena malu. “Ibu terlalu bersemangat, Ram. Lagian kamu jago banget, semuanya bisa kamu kuasai. Beruntung banget ibu dapat mantu seperti kamu,”

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   TATAPAN MERTUAKU

    Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   BONUS

    “Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SAMAPI KAPAN?

    Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SIAPA PEREMPUAN ITU?

    “Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status