LOGINLagi-lagi ia harus menahan hasratnya. Hampir meledak, namun gagal karena ada telepon masuk.Rama menghela napas panjang. Kepalanya berdenyut, menahan nafsu yang tertahan—padahal tinggal sedikit lagi, namun semuanya gagal total.Rama menunggu istrinya menelpon, namun rasa kesalnya semakin memuncak saat melihat istrinya begitu asyik berbincang dengan atasannya.“Atasan macam apa itu? Kenapa dia begitu akrab dengan bawahannya?” gumam Rama, tatapannya tajam menusuk punggung istrinya.Seolah ada yang janggal.Namun ia tak mau memikirkan terlalu jauh. Kepalanya sudah cukup pusing saat ini.Ia bangkit, mengambil sebungkus rokok, lalu melangkah turun ke bawah.Ia berjalan ke taman belakang rumah. Pukul sembilan malam terasa panas baginya. Beberapa kali ia menyesap rokok dan menghembuskan kepulan asap.Pikirannya terasa penuh.“Kenapa semuanya terasa sulit, padahal tinggal menuntaskannya sebentar lagi? Apa Nadia nggak bisa menunda ponselnya sebentar saja?” gumamnya, kekesalan itu belum juga re
“Belum, Bu,” jawab Rama. Wajahnya terlihat menegang. “Kamu hebat, Ram. Lihat, Ibu sudah bisa jalan walaupun masih sedikit ngilu,” puji Alya pada Rama. Ia melangkah masuk ke dalam kamar Rama, sedikit berputar, namun tubuhnya tak seimbang dan— bruk Tubuh sintal Alya terjatuh menindih tubuh Rama yang sama sekali belum siap menerima timpaannya. Keduanya terkapar di lantai. Rama tertindih oleh tubuh mertuanya yang yang aduhai dan tentu saja wangi. Mereka seolah terkunci. Tak ada percakapan, namun mata mereka bertemu, seakan saling berbicara. “Aduh, maaf, Rama. Ibu nggak sengaja,” pekik Alya. Ia mulai tersadar. Dengan gerakan cepat ia berusaha bangkit, namun sedikit kesusahan. Rama sigap bangun. Tangannya terulur membantu Alya berdiri. “Hati-hati, Bu. Nanti terkilir lagi,” ucap Rama sambil tersenyum kecil, membuat pipi Alya memerah karena malu. “Ibu terlalu bersemangat, Ram. Lagian kamu jago banget, semuanya bisa kamu kuasai. Beruntung banget ibu dapat mantu seperti kamu,”
Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent
“Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo
Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.
“Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk







