Beranda / Urban / MALAM GILA DI RANJANG MERTUA / PERNIKAHAN YANG SEMAKIN HAMBAR

Share

MALAM GILA DI RANJANG MERTUA
MALAM GILA DI RANJANG MERTUA
Penulis: Ayuwine

PERNIKAHAN YANG SEMAKIN HAMBAR

Penulis: Ayuwine
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-11 20:56:29

“Mas, aku berangkat dulu, ya!”

Nadia berpamitan pada suaminya.

“Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah.

Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya.

“Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!”

Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali.

Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir.

Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidaknya sampai ia mendapat pekerjaan yang lebih layak.

Saat Rama bersiap berangkat kerja, ponselnya berdering menandakan ada pesan masuk.

Tanpa menunda, Rama langsung menyambar ponselnya. Nama istrinya tertera di sana.

“Mas, mamaku akan datang. Tolong siapkan kamar tamu, ya.”

“Iya, Sayang.”

Rama membalas tanpa penolakan.

Lagi-lagi ia menghela napas, meratapi nasibnya yang terasa tak berpihak padanya.

“Kapan ya aku punya pekerjaan yang layak?” gumamnya pelan sebelum akhir nya turun ke lantai bawah untuk membersihkan kamar tamu.

Ting-tong.

Bel berbunyi tepat ketika Rama selesai menata kamar tamu.

Ia belum pernah bertemu ibu Nadia sebelumnya, karena saat mereka menikah, mertua perempuannya tak datang—katanya sedang menjalani pengobatan di Malaysia.

Ceklek.

Rama membuka pintu. Seketika matanya terpaku melihat perempuan muda dan cantik yang berdiri di depannya.

“Maaf, siapa?” tanya Rama ragu.

Perempuan itu tersenyum manis. Wajahnya kencang seperti gadis 25 tahun.

“Kamu suami anak saya?”

Rama mengerutkan dahi. Apa mungkin ia salah orang?

“Perkenalkan, nama ibu Alya. ibu Nadia.”

Tangannya terulur pada Rama.

Mata Rama membulat. Ia benar-benar tak percaya. Bagaimana mungkin perempuan secantik itu adalah ibu istrinya? Kulitnya kencang, tubuhnya ideal—bahkan lebih sintal dari tubuh Nadia sendiri.

“Ibu… ibu mertuaku?” Rama tergagap.

Alya terkekeh pelan. “Iya, Nak. Memang kenapa? Ada yang salah?”

Rama menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Bukan begitu, Bu… tapi Ibu kelihatan seperti anak gadis, nggak kelihatan seperti ibu-ibu.”

Mendengar itu, Alya tertawa kecil, merasa terhibur.

“Ah, kamu ada-ada saja, Rama,” balas nya,sambil menepuk kecil pundak rama.

“Masuk, Bu. Oh iya… maaf, Rama nggak bisa nemenin Ibu. Rama harus segera berangkat kerja. Masuk saja, anggap rumah sendiri.”

Setelah menyalami mertuanya yang masih muda dan cantik itu, Rama buru-buru pamit mengendarai motor bututnya. Ia memilih tetap bekerja—bisa saja ia libur, tapi ia merasa kecil di hadapan istrinya. Ia ingin bekerja keras agar suatu hari bisa memberi hadiah mewah untuk Nadia. Lagi pula, dengan adanya ibu mertua di rumah, ia merasa canggung. Lebih baik cepat berangkat.

“Mertuaku mengandung Nadia umur berapa ya? Kok kayak kakak-adik, bukan ibu dan anak,” gumam Rama sepanjang jalan.

Sesampainya di kantor, ponselnya kembali berdering—lagi-lagi Nadia.

“Iya, Nad?” Rama menjawab cepat, karena kalau telat sedikit saja, Nadia biasanya langsung mengomel dan menuduhnya tak sayang lagi. Sejak saat itu, Rama selalu mengutamakan panggilan Nadia.

“Mas, aku lupa beli bahan makanan lagi. Ibu sudah datang? Tolong beliin makanan, ya. Makanan jadi pun nggak apa-apa.”

“Maaf, Sayang. Mas sedang di kantor, nant—”

“Apa? Kamu berangkat kerja saat mamaku datang? Mas? Kok tega sih? Ngapain juga kerja di hari Minggu! Gajinya juga dikit! Mending libur aja sekalian!”

Nadia langsung menyela dengan nada khasnya. Rama spontan menjauhkan ponsel dari telinganya.

“Kamu juga kerja di hari libur, Nad…”

“Ya aku beda, Mas! Bonusku bahkan lebih besar dari bonus kamu! Seminggu kamu kerja itu bonus sehari aku kerja, Mas!”

Nada Nadia begitu angkuh, seolah semua pencapaian itu hanya dari dirinya.

Rama mengepalkan tangan, menahan kekesalan. Namun ia tetap diam—karena ia mencintai istrinya.

Ia hanyalah pria biasa yang bekerja serabutan sejak kecil. Sementara Nadia berasal dari keluarga berada—dibiayai kuliah oleh Alya, seorang janda kaya raya. Kenapa Nadia mau dengan Rama? Karena Rama tampan, gagah, dan berjiwa lembut.

“Ya sudah, nanti Mas belikan pas pulang kerja, ya,” balas Rama lembut, berusaha menahan semuanya.

“Ck! Udahlah, Mas! Gausah! Biar Mama aku suruh pesan makanan online aja!”

Belum sempat Rama bicara, Nadia sudah menutup telepon sepihak.

Rama hanya bisa menatap ponselnya sambil geleng-geleng kepala.

Ia mengusap dada beberapa kali, berusaha menguatkan diri menghadapi Nadia—perempuan yang begitu ia cintai.

Rama kemudian mengambil beberapa lembar brosur di kantor untuk ia bagikan di jalanan. Hari Minggu selalu ramai, maka ia ditempatkan untuk membagikan brosur.

Ia memilih taman sebagai lokasi. Dengan ratusan brosur di tangan kirinya, ia mulai membagikan pada orang-orang.

“Bapak, Ibu, bisa dilihat dulu,” ucapnya ramah. Tak sedikit gadis diam-diam mencuri pandang, terpesona oleh kegagahannya.

“Pria itu kayak pemain film action Bollywood, ya?” bisik para gadis.

Rama hanya menggeleng, geli melihat anak sekolah memandangnya penuh birahi.

Saat sedang membagikan brosur, tiba-tiba matanya tertuju pada ujung seberang jalan.

Ia menyipitkan mata, mencoba memastikan.

“Astaga… Nadia?” ucapnya kaget.

“Sama siapa dia?”

Rama berjalan tergesa-gesa mengikuti sosok perempuan yang mirip Nadia. Namun ia kehilangan jejak.

Bruk!

“Duh!”

Semua brosur berhamburan ke mana-mana, terbang terbawa angin. Rama terkejut,hampir terjatuh bersama seorang gadis yang tak sengaja ia tabrak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   TATAPAN MERTUAKU

    Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   BONUS

    “Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SAMAPI KAPAN?

    Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   SIAPA PEREMPUAN ITU?

    “Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk

  • MALAM GILA DI RANJANG MERTUA   PERNIKAHAN YANG SEMAKIN HAMBAR

    “Mas, aku berangkat dulu, ya!” Nadia berpamitan pada suaminya. “Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah. Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya. “Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!” Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali. Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir. Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidak

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status