LOGIN“Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana.
“Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terkekeh kecil, menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Ya gimana lagi, Mbak. Nadia juga ambil lemburan. Daripada diem di rumah sendirian, mending ambil lemburan juga.” “Lemburan?” Dinda terheran. “Lemburan apa, Ram? Jelas-jelas kantor sekarang lagi cuti. Masa kamu lupa? Aku juga kerja di sana, Ram!” Mendengar perkataan Dinda, Rama refleks menatap lekat wajah manis gadis itu. “Apa itu benar?” tanyanya pelan, nyaris tak percaya. Jantungnya berdetak tak karuan, pikirannya melayang ke mana-mana. “Apa tadi benar Nadia?” gumamnya dalam hati. “Kenapa, Ram?” tanya Dinda heran melihat raut wajah suami dari temannya itu. “Jadi kantor libur sekarang?” tanya Rama cepat. Dinda mengangguk. Namun saat ia hendak mengatakan sesuatu, seseorang memanggilnya dari kejauhan. “Dinda!” Spontan keduanya menoleh. “Ram, pacarku sudah datang. Maaf ya soal tadi. Aku duluan ya, bye,” ucap Dinda cepat sambil berlari kecil, tak lupa melambaikan tangan pada Rama. Sepeninggal Dinda, Rama tertegun. Semangat kerjanya hilang begitu saja. Pikirannya menjadi kalut, takut jika sosok yang ia lihat tadi benar-benar istrinya. “Kenapa Nadia berbohong?” ucapnya bergetar. “Tapi… bukannya Dinda hanya staf biasa? Apa mungkin pekerjaannya beda?” selanya lagi, berusaha berpikir positif. Cukup lama bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Rama memutuskan pulang. Semangat kerjanya benar-benar hilang. Ia mengendarai motor bututnya dengan lesu. Sesampainya di rumah, Rama masuk begitu saja, lupa bahwa di rumah kini ada mertuanya. Saat berjalan menuju dapur, matanya terbelalak kaget. Langkahnya langsung kaku. Di hadapannya, mertuanya sedang memasak, mengiris bawang dengan earphone di telinga. Bukan itu masalahnya. Yang membuat jantung Rama berdetak cepat adalah pakaian yang dikenakan ibu mertuanya—benar-benar mencetak tubuh. Bokongnya yang semok dan sintal membuat Rama beberapa kali menelan ludah dengan susah payah. “Eh, astaga, Rama!” Alya kaget saat berbalik dan mendapati Rama berdiri di hadapannya. Rama tergagap, salah tingkah. “Eh… anu, Bu. Maaf, Bu. Rama nggak pencet bel dulu. Rama benar-benar lupa.” Mendengar kegugupan menantunya, Alya tersenyum manis, berusaha membuat Rama tak merasa bersalah. “Gapapa, Rama. Ibu paham.” Rama mengangguk kaku. Fokusnya kini tertuju pada dada mertuanya—begitu bulat dan padat. “Ehem.” Alya berdehem, menyadari arah pandangan menantunya. Lagi-lagi Rama salah tingkah. “Em… anu, Bu. Rama izin ke atas ya, Bu.” Tanpa menunggu jawaban, Rama langsung berbalik dan naik ke atas dengan tergesa, merutuki kelakuannya sendiri. “Aduh, ada apa dengan aku? Kenapa aku seperti ini?” batinnya. *** Sore harinya, hal yang tak pernah terjadi kini terjadi. Nadia pulang pukul empat sore. Untuk pertama kalinya, Rama merasa bahagia—pasalnya sudah sebulan hasratnya tak tersalurkan. “Sayang, kamu pulang cepat?” ucap Rama antusias, mengekori istrinya dari belakang. Nadia hanya mengangguk, tak menjawab. “Mas, aku lapar. Siapkan makanan ya. Aku mau mandi dulu,” ucap Nadia memerintah, seolah Rama adalah kacungnya. Langkah Rama terhenti. Ia terdiam, merasa amat tersinggung. Namun lagi-lagi ia hanya mengusap dada, menenangkan diri. “Mas, kenapa diam?!” Nadia menoleh tajam. “Aku nggak beli apa-apa. Ibu sudah masak banyak untuk kita,” jawab Rama melemah. “Baguslah,” balas Nadia singkat lalu melanjutkan langkahnya. “Kapan dia akan berubah?” lirih Rama, menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar lantai atas. “Mana istrimu?” tanya Alya. Rama sudah duduk di meja makan bersama mertuanya, sementara Alya sibuk menata lauk. “Bu, biar Rama bantu?” alih-alih menjawab, Rama menawarkan bantuan. Alya menggeleng. “Tak usah, Ram. Biar ibu saja. Ibu sudah biasa.” Rama kembali diam. Namun pandangannya tak bisa teralihkan dari mertuanya. Entah karena hasrat yang lama terpendam atau apa, ia benar-benar dibuat panas dingin. “Maaf lama menunggu.” Suara cempreng Nadia mengagetkan lamunan Rama. “Lama banget mandinya, Nad,” tanya Alya sambil menyendokkan nasi ke piring Rama. “Iyalah, Bu. Mandi air susu biar kulit mulus dan licin,” jawab Nadia bangga. Alya tersenyum samar. “Aduh, bakal ada gempa nih,” ujarnya bercanda. Rama tersenyum canggung, hatinya berbunga-bunga. “Apakah Nadia sudah mempersiapkan semuanya untuk aku?” pikirnya senang. Setelah makan malam, Alya gesit membereskan meja. Tubuh sintalnya bergerak ke sana kemari—hal yang tak pernah Nadia lakukan. Dulu Nadia gadis rajin dan ulet, namun setelah punya pekerjaan dan uang, sikapnya berubah menjadi angkuh. “Nad, kenapa nggak kamu aja yang beresin? Kasihan Ibu, dari sore masak sampai sekarang cuci piring,” bisik Rama. Nadia mendelik tajam. “Apasih, Mas? Aku capek. Kenapa nggak kamu aja?!” Rama menghela napas panjang, lalu bangkit menghampiri mertuanya. Pikirannya masih benar-benar kalut. Ia ingin menanyakan soal kejadian tadi siang pada Nadia, namun ia sudah yakin Nadia tak akan pernah jujur, apalagi ia tak memiliki bukti yang kuat. “Bu, biar Rama aja,” ucapnya. Alya terkejut. “Eh, Ram. Gapapa, biar ibu saja.” “Gapapa, Bu. Ibu istirahat saja. Rama lihat Ibu capek sejak tadi.” Rama mengambil alih piring, namun tangannya tak sengaja menyentuh dada Alya. Benda itu bergetar. Rama terdiam. Hawa terasa panas. “Em… anu, Bu. Rama nggak sengaja. Maaf,” ucapnya bergetar. Alya hanya terkekeh, seolah gemas dengan wajah gugup menantunya. Rama merasa aneh—kenapa mertuanya selalu menanggapi dengan santai, tanpa rasa canggung sedikit pun. ** Rama berdiri cukup lama di depan pintu kamar Nadia. Lampu masih menyala. Sunyi. Ia mengangkat tangannya, ragu untuk mengetuk. Namun akhirnya pintu itu terbuka pelan. Nadia sudah terbaring di atas ranjang, punggungnya membelakangi Rama. Napasnya teratur, seolah dunia di sekitarnya tak lagi penting. Rama melangkah masuk. Dadanya terasa sesak. Ia mencintai istrinya—namun, ia merasa begitu sendirian di dalam pernikahannya. Tatapannya jatuh pada ponsel Nadia di atas meja. Layar menyala, ada pesan masuk… Rama menelan ludah. Entah kenapa, wajah Alya terlintas di benaknya—senyum tenangnya, caranya menatap Rama tanpa tuntutan. Rama menggeleng cepat. “Sial…,” gumamnya pelan.Rama tersentak kecil. Ia tak menyangka suara itu akan terdengar begitu jelas di telinganya. “Gapapa, Bu. Cuma capek saja. Oh iya, aku bawa makanan. Kita makan bareng, ya, Bu. Kebetulan aku dapat bonus di kantor,” ucap Rama berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengangkat plastik berisi box pizza yang lumayan mahal. Berbeda dengan Nadia, Alya memberikan respons yang sukses membuat Rama merasa dihargai. “Ya ampun, selamat, sayang. Sini biar ibu tata dulu. Sana kamu mandi dulu. Setelah itu datang ke meja makan, semuanya sudah beres. Kita rayakan keberhasilanmu,” ucapnya sambil menepuk kedua bahu Rama. Keduanya spontan saling bertatapan beberapa menit. “Kalau di depanku adalah Nadia, mungkin aku nggak akan membiarkan leher itu kosong,” batin Rama spontan saat menatap leher Alya yang polos tanpa perhiasan. “Cepat mandi, bau nih,” ejek Alya sambil terkekeh kecil, membuat Rama tersenyum tipis. Ia pun melangkah cepat menuju lantai atas. Namun saat di atas, langkahnya terhent
“Ibu… Bu…” Rama mendadak gagap. Pandangannya sempat sulit dialihkan. Alya hanya mengenakan kimono handuk berwarna merah muda yang masih basah. Rambutnya lembap, dan aroma sabun yang segar membuat Rama merasa canggung sekaligus salah tingkah. “Aduh, maafin Ibu ya, Ram. Ibu mandi di bawah karena shower di kamar mandi atas nggak nyala,” keluh Alya, berusaha menenangkan jantungnya yang masih berdegup kencang. “Mati, Bu? Sejak kapan? Nanti Rama coba cek ya,” tawar Rama, berusaha bersikap setenang mungkin. Alya mengangguk kecil. “Ya sudah, Ram. Ibu ke atas dulu. Oh iya, kalau mau sarapan, sarapan duluan saja. Ibu pagi ini nggak ikut karena lagi diet Intermittent Fasting,” ucapnya sambil terkekeh pelan. Rama tersenyum tipis dan menggelengkan kepala. “Ibu ini gaul banget, sampai pakai acara diet IF segala,” candanya. Keduanya sempat tertawa kecil sebelum akhirnya Alya pamit naik ke lantai atas. * Di meja makan, Rama dan Nadia duduk saling berhadapan. Suasana begitu hening, seo
Ia mencintai Nadia, itu tak perlu dipertanyakan. Namun entah sejak kapan, ia mulai bertanya-tanya… berapa lama seorang pria bisa bertahan tanpa pernah benar-benar diperhatikan. Ketika hendak menyelimuti tubuh sang istri yang sedikit tersingkap, Rama mengerutkan dahi. Ia mendapati perut Nadia memerah—bukan seperti gigitan serangga, melainkan tampak seperti bekas sentuhan seseorang. Tubuhnya membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Amarah sudah berada di ubun-ubun, namun ia tak tega membangunkan istrinya. Rasa sayang kembali mengalahkan amarah. “Bekas siapa itu? Ah, mungkin cuma gigitan serangga,” ucapnya, berusaha menepis pikiran buruk yang mulai menguasai kepala. Rasa kantuknya menghilang, berganti dengan kecemasan dan ketakutan. Rama bangkit dan berjalan ke arah balkon. Ia duduk di kursi, menyesap rokok, lalu mengembuskan asapnya, seolah berharap masalahnya ikut lenyap bersama kepulan asap itu. “Gak mungkin Nadia melakukan hal macam-macam. Dia perempuan baik dan setia.
“Maaf, maaf, Mbak,” ucap Rama sambil langsung memunguti brosur yang bertebaran ke mana-mana. “Eh, ya ampun!” Pekik sang gadis kaget. Beruntung ia tidak sampai terjatuh. Saat gadis itu menoleh, tatapannya menelisik wajah Rama dengan ragu. “Rama?” panggilnya, takut salah orang. Rama yang sedang sibuk memunguti brosur spontan menoleh. “Dinda?” jawabnya, sedikit kaget. Rama baru ingat—Dinda adalah teman Nadia. Ia pernah melihat gadis itu beberapa kali saat Nadia masih sering membawa teman-temannya ke rumah. “Aduh, Rama, maaf ya,” ucap gadis bernama Dinda itu. Dengan sigap ia ikut berjongkok, memunguti beberapa brosur yang masih berserakan. “Ah, nggak apa-apa, Mbak. Aduh, makasih ya, repot-repot bantuin saya,” jawab Rama tak enak hati, karena ia yang menabrak gadis itu. Keduanya berdiri. Dinda menyerahkan beberapa brosur yang sudah ia pungut. “Nggak libur, Ram? Nanti Nadia kesepian, lho. Hari weekend dipakai kerja gini,” tanya Dinda dengan candaan ringan. Rama terk
“Mas, aku berangkat dulu, ya!” Nadia berpamitan pada suaminya. “Bukannya ini hari Minggu, Nad? Setidaknya berikan waktumu sedikit untuk aku,” pinta Rama memelas, berharap istrinya mau mengalah. Mendengar perkataan sang suami, bukannya merasa bersalah, Nadia justru menatap tajam ke arahnya. “Terus kenapa kalau Minggu? Kamu lupa siapa yang sudah membangun rumah megah ini? Mobil dan semua isinya? Aku, kan? Ya kalau aku nggak kerja, gimana hidup kita? Aku nggak mau susah lagi, Mas. Udah, ah! Jangan ajak aku debat lagi!” Suara Nadia melengking, membuat Rama tak bisa berkutik sama sekali. Rama menghela napas panjang, memandang istrinya dengan getir. Pria 28 tahun itu hanya bisa pasrah. Ia bekerja sebagai sales yang gajinya tak seberapa. Sementara istrinya, Nadia, 25 tahun, cantik dan muda, bekerja sebagai sekretaris di sebuah kantor ternama di Indonesia. Awalnya Rama keberatan, tapi melihat keadaan rumah tangga mereka yang benar-benar pas-pasan, ia akhirnya mengizinkan—setidak







