Ethan merapikan jasnya, menghela napas panjang untuk bersiap menghadapi Elmer. Ethan masuk ke kantornya langsung menuju ruangan meeting dimana tuan Elmer menunggu.
"Halo, tuan Elmer! Bagaimana harimu?" sapa Ethan dengan senyum menyapa Elmer dan hendak memeluknya. "Stop! Kamu sudah menipuku tuan Ethan! Kamu mengambil wanitaku dan menukarnya dengan wanita murahan!" hardik tuan Elmer sambil menunjuk-nunjuk jarinya pada Ethan. Ethan tersenyum, melihat tingkah laku tuan Elmer yang seperti anak kecil dihadapannya itu. "Tuan, aku tidak menipumu, aku memberikanmu dua orang wanita untuk anda nikmati. Apakah anda tidak menyukainya?" tanya Ethan dengan muka yang dibuat keheranan. "Kamu memang memberikan aku dua wanita, tapi gadis itu kamu ambil, tuan Ethan!" "Gadis? Gadis yang jalan saja tidak sanggup? Bagaimana tuan bisa tertantang dengan gadis yang menurut tuan Elmer liar, tapi tertidur di lantai? Aku harus mencari gantinya agar tuan bisa tetap menikmati malam ini, bukan?" ujar Ethan meyakinkan. Tuan Elmer terdiam dan berpikir, "Apakah aku memberikan obat terlalu banyak?" "Tuan, justru aku ingin memberitahukanmu, kalau aku ingin membatalkan kerjasama kita," ungkap Ethan. "Justru aku yang datang ingin membatalkan rencana kerjasama ini karena aku merasa kamu tipu!" "Maaf tuan Elmer, tidak ada yang berani menipumu. Bukankah semua kesepakatan sudah tertuang dalam perjanjian? Lalu bagian mana yang menurut Tuan, aku ini seorang penipu?" "Cih! Robert! Ayo pergi! Kita akhiri semuanya disini!" Tuan Elmer bangkit berdiri keluar dari ruang meeting diikuti oleh Robert dan para bodyguardnya. Ethan menghela napas lega, akhirnya dia bisa terbebas dari tuan Elmer. Dipandanginya Erick yang berdiri di dekatnya sambil tersenyum. "Lain kali, tolong cek lagi orang-orang mau kerjasama dengan kita, Erick." "Maaf, Tuan, bukan aku yang mendapatkan klien, tapi sahabat tuan sendiri, tuan Marco dia yang rekomendasikan kepada perusahaan kita." "Oh iya, aku hampir lupa. Aku akan menghubungi Marco setelah ini." Ethan kembali ke ruangannya. Hari ini dia bahkan belum kembali ke rumah semenjak semalam pergi ke pub The Glaze. Dia mengambil gawainya dan menelepon Safira, istrinya. "Halo, Sayang, apa kamu mau pulang?" tanya Safira dengan manja. "Maaf, aku semalam tidak pulang, Sayang." "Hm …." "Sayang? Maaf ya? Aku salah, seharusnya aku pulang tadi malam." "Gak apa-apa, Sayang. Marco yang memberitahuku, kalau kamu sedang meeting dengan pengusaha tambang Elmer, jadi kemungkinan kamu akan menemani tuan Elmer," jawab Safira dengan tenang. "Oh, yah. Apa Marco yang memberitahumu?" "Jelaslah, dia punya semua jadwalmu, jadi aku tidak khawatir lagi kalau kamu tiba-tiba gak pulang." "Sayang … terima kasih, yah?" "Untuk apa?" "Untuk mengerti aku." "I love you," tutup Safira. Ethan menggenggam gawainya disertai dengan rasa bersalah yang sudah membohongi istrinya. "Oh Tuhan, maafkan aku," runtuknya. "Ethan!" panggil seseorang yang datang ke ruang kerja Ethan. "Halo, Marco!" Senyum Ethan mengembang. Marco adalah sahabatnya, teman semasa di high school dan kuliah bareng. Sekarang, Marco adalah juga partner dalam berbisnis. Ethan di bidang developer, sedangkan Marco dibidang arsitek. "Bagaimana pertemuanmu dengan tuan Elmer?" "Aku batalkan kerjasamanya," sesal Ethan. "Sorry, walau dia rekomendasi darimu, ternyata aku tidak menyukai dengan kepribadiannya." "Sayang banget, Ethan! Dia adalah pengusaha tambang! Aset dia berlimpah, bahkan jika dia mau, dia bisa memakai jasa developer milikmu untuk membangun setengah kota kita," sesal Marco. "Maafkan aku." Ethan tidak bisa berkata apa-apa. Tidak mungkin juga dia mengatakan kerjasama gagal hanya karena seorang gadis yang dia sendiri tidak dia kenal. Akan banyak timbul pertanyaan lainnya. "It's okey, Ethan. Akan aku cari lagi investor lainnya, untuk proyekmu lagi." "Aku rasa, cukup, Marco! Keadaan perusahaanku cukup stabil walau aku harus menggarap proyek-proyek lokal. Apalagi sekarang ini, aku memegang kerjasama dengan pemerintah untuk jangka waktu panjang." "Ethan, Ethan. Kamu itu dari dulu tidak mau menambah proyek ini itu. Bahkan aku mencarinya pun kamu tolak, malah proyek-proyek sosial yang kamu ambil," keluh Marco. Ethan tertawa, proyek-proyek sosial yang dimaksud Marco adalah proyek dengan keuntungan yang tipis, berbeda dengan Marco, dia adalah arsitek, bayarannya berdasarkan gambar yang dia buat, walaupun proyek itu tidak jadi terlaksana. Seperti proyek tuan Elmer, dia ingin membuat Mega mall di pulau pribadi yang baru dia beli, dan dirancang oleh Marco. Marco melemparkan kepada Ethan untuk proses penggarapan fisiknya. "Proyek-proyek sosial itu, tidak membuat aku miskin, Marco," ucap Ethan. "Jika kamu ingin proyek sosial, aku punya klien, dia hanya ingin membuat sebuah vila di Bali, jika kamu ingin, aku akan mengontaknya untuk kamu terbang beberapa hari ke Bali." "Baiklah, serahkan datanya pada Erick, jika cocok, aku yang akan berangkat ke Bali," jawab Ethan. "Good! Kali ini, jangan sampai gagal lagi yah? Aku tidak ingin proyekku gagal ditangan sahabatku sendiri," sindir Marco tertawa. "Okey!" *** "Aduh! Kepalaku sakit," erang Karin memegang kepalanya yang nyeri karena minuman beralkohol. Matanya perlahan dibuka, lalu memindai sekeliling tempatnya tidur. "Dimana ini?" Karin berusaha bangun dari tidurnya. Seluruh badannya terasa pegal-pegal, lengket dan berkeringat, dibuka selimutnya untuk turun ke kamar mandi. "Heh? Mana bajuku?" Dibuka seluruh selimutnya, dan baru menyadari kalau dirinya tidak memakai sehelai baju pun. "Oh my God! Apa yang terjadi padaku semalam?" Karin panik dan mencari pakaiannya yang berada di tempat sampah, basah kotor dan bau karena terkena muntahan. "Astaga! Bajuku dibuang? Siapa yang tega membuang bajuku?" Karin melihat disampingnya terdapat meja panjang dengan baju baru yang ditaruh di atasnya. "Apakah ini untukku?" Karin membawanya ke dalam kamar mandi dan mulai menyalakan air shower. "Astaga! Aku mengingat semalam aku juga menyalakan shower, lalu … seorang pria … oh Tuhan! Apa yang aku lakukan! Kenapa aku sebodoh itu?" Karin menangisi kebodohannya dibawah shower yang mengalir. "Tenang Karin! Kamu memang bodoh, tapi apa yang sudah terjadi pada hari ini, bukankah karena si brengs*k Martin dan Brenda?" tanyanya membenarkan diri sendiri. "Angkat wajahmu!" ucap Karin pada cermin di depannya. "Mulai sekarang, jangan tangisi lagi si brengs*k itu, apalagi harus bersaing dengan si jal*ng! Kamu punya harga diri, Karin!" ucapnya mensugesti dirinya sendiri. Karin membersihkan diri, memakai baju yang sudah dipersiapkan dan melihat uang yang cukup banyak di meja kecil, samping kasur. Terdapat catatan kecil berisi nomor kontak. "Kamu pikir aku seorang pelacur yang meminta uangmu? Jangan harap aku akan meneleponmu!" Dimasukkannya uang itu ke dalam dompet, sedangkan nomor kontak Ethan dirobeknya dan dibuang ke tempat sampah. Karin keluar dari kamarnya pulang menuju apartemen tempat Karin dan keluarganya tinggal. Hari ini, Karin memutuskan untuk cuti sehari dari pekerjaannya. "Aku ingin menata hidupku lebih baik, jangan sampai nanti pekerjaanku menjadi berantakan karena aku putus cinta," gumam Karin. Sepanjang hari, Karin hanya memikirkan pria yang sudah membuat dirinya menyerahkan mahkotanya. "Aku rasa, bukan pria gemuk yang berada sana," pikir Karin yang masih mencoba mengingat-ingat. "Lalu, semalam, aku melakukannya dengan siapa?" Dipijatnya kening Karin yang masih terasa pening.“Tuan Ethan?” tanya Karin, suaranya tenang tapi sedikit bingung melihat tatapan pria itu begitu menusuk—seolah sedang menembus lapisan terdalam wajahnya.“Duduklah,” katanya datar, namun terdengar agak serak.Karin mengangguk pelan dan duduk. Di tangannya, surat rekomendasi dari Tuan Lucas sedikit bergetar. Entah karena hawa ruangan yang dingin atau karena ekspresi Ethan yang sulit ia tebak.Namun tatapan Karin tak menyiratkan apapun selain kesopanan profesional. Tampaknya dia tidak ingat dengan Ethan."Ini surat rekomendasinya," ucap Karin sambil menyodorkannya ke meja. “Saya diminta langsung oleh Tuan Lucas untuk bekerja di bawah divisi yang Tuan pimpin.”Ethan duduk kembali, berusaha menjaga wibawanya. Ia menerima surat itu tanpa menyentuh tangan Karin. “Kamu bekerja di divisi desainer, dan merupakan divisi baru langsung dibawah saya, dan juga mulai hari ini kamu akan menjadi asisten pr
“Astaga!” Cepat-cepat Karin menutup pintu unitnya dan menguncinya. “Oh Tuhan! Bagaimana bisa aku bertemu dengan pria mesum itu lagi?” Jantungnya berdetak dengan kencang, segera dia masuk ke kamar tidurnya, lalu menguncinya kembali sebagai bentuk perlindungan. “Setidaknya, aku aman malam ini.” Karin segera merapikan pakaiannya ke dalam lemari baju, alat make up dan lain-lainnya, lalu membersihkan diri dan mandi dengan air hangat.“Seharusnya aku bisa mengendalikan diriku. Aku, wanita yang bisa memutuskan hidupku sendiri. Aku tidak lagi dalam genggaman Daddy. Seharusnya, aku bisa dengan elegan menatap wajahnya,” gumam Karin ketika merebahkan diri di atas kasur.“Ya! Aku harus mempersiapkan diri, seperti yang tuan Lucas ajari. Elegan, percaya diri. Jangan pandangan orang lain meremehkanmu, Karin!” ucapnya mensugesti diri.Dengan rasa lelah, Karin tidur dengan lelapnya, tapi mimpi buruk dimana Karin hendak dinikahka
“Ethan, dimana Safira?” ulang Brigitta sambil melihat ke arah belakang Ethan, karena mungkin saja Safira ada di belakang.“Akan aku ceritakan di rumah saja, Mom,” jawab Ethan sambil mendorong troli berisi banyak koper menuju tempat parkir.Sang supir membantu memasukkan koper-koper ke dalam bagasi. Sedangkan Lucas, Brigitta, Ethan dan anak-anak masuk ke dalam mobil.Hampir satu jam perjalanan, mereka tiba di rumah. Semua pelayan menyambut kedatangan Lucas dan Brigitta.“Selamat datang kembali tuan Lucas, nyonya Brigitta,” sapa Matilda. Sedangkan pelayan lain mengangguk sambil membawakan koper-koper yang dibawa supir.“Dimana Safira?” Kembali Brigitta bertanya pada Ethan.“Mom….”“Apa yang terjadi, Ethan?” tanya Lucas lebih tegas.“Dia pergi….”“Apa maksudmu dengan ‘dia pergi’?” tanya Brigitta dengan emosi.
Ethan melihat gawainya, mommy-nya, Brigitta telepon. Ethan menenangkan dirinya, menghembuskan napasnya lalu berjalan menjauhi lift lalu mengangkat teleponnya.“Ya, Mom,” sapa Ethan.“Sayang, Mommy kangen padamu, Sayang. Terutama si kembar. Bagaimana dengan keadaan mereka? Dengar! Mommy dan Daddy akan segera pulang ke Indonesia–.”“Pulang?” Ethan memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia akan menceritakan tentang Safira yang saat ini yang meninggalkannya dan berbicara pada kedua orang tuanya.“Ya, Sayang. Daddy sudah merasa lebih sehat sekarang. Perusahaan pun sudah berjalan dengan baik. Kamu tahu, perawat yang kamu kirimkan dulu, ternyata seorang desainer interior. Dia sekarang bekerja dengan Daddy. Bahkan menjadi asistennya. Dia sudah seperti anaknya sendiri. Itu yang membuat Daddy semangat untuk pulih. Kami akan pulang ke Indonesia dan kami membawanya ikut serta. Mommy rasa tentu dia juga akan rindu dengan keluarg
Satu jam berlalu, dan Ethan sudah berada di dalam pesawat menuju Singapura. Beruntung Ethan tepat waktu, karena pesawatnya nyaris saja berangkat ketika Ethan tiba.Ethan tiba di bandara Changi sekitar jam satu siang. Ia tak membuang waktu. Ia langsung mendekati Customer Service.“I’m looking for two Indonesian nationals. They arrived this morning on a flight from Jakarta. This is their photo.” Ia tunjukkan ponsel, nama lengkap Safira dan Marco.“I have reason to believe they’re running away. Please. I just need to know—are they still in the airport?”Petugas wanita melihat foto, lalu menoleh ke layar komputer.“They arrived at 07:55 this morning via Jetstar.”“Yes,” Ethan mengangguk cepat. “Are they still inside?”“No. They cleared immigration at 09:10. They’re no longer in the transit zone.”Customer service membenark
Ethan mengecup kening kedua anaknya. “Pergilah bermain, Daddy akan mencari mommy,” ucapnya sambil menurunkan Jaslyn dari pangkuannya.“Dad, kenapa tidak mencari Mommy baru?” tanya Jason penuh harap.Ethan tersenyum, “Tidak semudah itu mencari Mommy baru, Sayang. Dia harus sayang pada kalian, tapi juga bisa menerima Daddy yang super sibuk. Apalagi Daddy sering keluar kota.”“Dad, apa perlu kita bantu cari Mommy baru?” tanya Jaslyn dengan polosnya.“Sayang…,” Ethan berlutut di depan anak perempuannya, “tunggu sampai Daddy tahu kemana Mommy Safira pergi ya? Jika Mommy Safira tidak sayang pada kita lagi, nanti kita cari Mommy baru,” ucap Ethan berusaha menenangkan putrinya.Jaslyn mengangguk, kemudian menggandeng kakaknya untuk bermain kembali di kamarnya.Ethan memijat pelipisnya. Raut wajahnya menegang. “Apa yang harus aku lakukan?” Diambil gawainya, la