Ethan melangkah pelan ke arah jendela, memandangi gelap yang menyelimuti halaman rumah. Kini saatnya dia harus membuka bagian yang menjadi privasi dirinya.
“Safira, sejak menikah tidak menginginkan memiliki anak. Dia tidak mau karena bentuk tubuhnya yang akan berubah ketika hamil, dan melahirkan. Pada suatu hari, dia mengatakan bahwa dia siap untuk hamil. Aku begitu semangatnya, kami bercinta dan tidak lama dia memberitahu kalau dia hamil. Begitu senangnya dia hamil, sampai aku tidak mencurigainya. Dia tidak pernah memperlihatkan perut hamilnya, bahkan tidak mengijinkan aku bercinta dengannya selama kehamilannya hingga saat proses melahirkan—.” “Brenda.” Ethan membalik tubuhnya perlahan saat Karin menyebut nama itu. “Brenda?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik, tapi penuh ketegangan. Karin menelan ludah, mencoba mengatur detak jantungnya yang kacau.<Setelah Karin menerima hasil DNA, mereka berencana hendak kembali ke kantor, mobil hitam itu meluncur pelan keluar dari area rumah sakit. Di dalam kabin yang sunyi, hanya terdengar hembusan napas Ethan yang berat. "Aku mau ketemu Brenda," kata Ethan tiba-tiba, "aku ingin tau asal mula bayi Karin bisa sampai ke tangan Safira." Karin menoleh pelan, menatap wajah pria itu. Tak ada tanya di matanya—hanya anggukan. “Baiklah,” jawab Karin pelan, suaranya dingin dan penuh tensi emosi yang belum selesai. Karin pun ingin tahu bagaimana bisa Brenda menjual si kembar ke tangan Safira Dimitri. “Kita ke apartemen Green Hills, Brenda tinggal disana.” “Green Hills?” tanyanya ragu, melajukan mobilnya ke arah gedung apartemen mewah yang mulai tampak dari kejauhan. “Bukankah ini... tempat kamu tinggal dulu? Sebelum pindah ke Sky Signature?” Karin tidak langs
Ethan melangkah pelan ke arah jendela, memandangi gelap yang menyelimuti halaman rumah. Kini saatnya dia harus membuka bagian yang menjadi privasi dirinya. “Safira, sejak menikah tidak menginginkan memiliki anak. Dia tidak mau karena bentuk tubuhnya yang akan berubah ketika hamil, dan melahirkan. Pada suatu hari, dia mengatakan bahwa dia siap untuk hamil. Aku begitu semangatnya, kami bercinta dan tidak lama dia memberitahu kalau dia hamil. Begitu senangnya dia hamil, sampai aku tidak mencurigainya. Dia tidak pernah memperlihatkan perut hamilnya, bahkan tidak mengijinkan aku bercinta dengannya selama kehamilannya hingga saat proses melahirkan—.” “Brenda.” Ethan membalik tubuhnya perlahan saat Karin menyebut nama itu. “Brenda?” tanyanya, suaranya nyaris berbisik, tapi penuh ketegangan. Karin menelan ludah, mencoba mengatur detak jantungnya yang kacau.
Ketika Karin masih memikirkan tanda yang berada di tubuh Jaslyn, Brigitta kembali ke kamar dengan langkah cepat, membawa obat baru dan segelas air hangat yang lain. Ia meletakkannya di nakas dan mengusap kepala Jaslyn lembut. “Sayang, ini obatnya. Kali ini pelan-pelan ya.”Karin mengangguk, lalu menyuapi obat itu dengan hati-hati. Kali ini, Jaslyn menelannya tanpa muntah.“Pintar,” bisik Karin sambil membelai rambut lembut anak itu.Tak lama, mata Jaslyn mulai berat. Tapi sebelum benar-benar terpejam, tangannya menggenggam jemari Karin.“Tante, temani aku tidur ya…” lirihnya, seperti takut jika saat membuka mata nanti, Karin tak ada.Karin tersenyum lembut, meski hatinya masih penuh badai. “Iya, Tante di sini. Tidurlah.”Ethan dan Brigitta saling melirik di ambang pintu, lalu Ethan memberi isyarat agar mereka keluar pelan-pelan, membiarkan Karin tetap di samping Jaslyn.
Ethan berdiri. Tegak, diam sejenak. Hatinya bergemuruh.Anak-anak yang sedang dicari Karin, mereka bukan hanya milik Karin. Mereka adalah anak-anaknya juga.Darahnya. Dagingnya.Dan selama ini ia tidak tahu.Tanpa berkata apa pun lagi, Ethan melangkah keluar dari ruangan tempat mereka berbincang. Setiap langkahnya berat namun pasti. Ia tidak bisa hanya duduk diam. Ia tidak bisa membiarkan wanita itu sendirian mencari buah hati mereka.Ia harus tahu lebih banyak.Dengan rahang mengeras dan sorot mata tajam, Ethan langsung menuju ruang kerja Erick. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung membuka dan masuk.Erick yang tengah menyesap kopi kaget, nyaris menumpahkan cangkir di tangannya. “Tuan Ethan? Ada apa?”“Aku butuh informasi soal Karin,” ujar Ethan tanpa basa-basi. “Keluarganya, kontak darurat, siapa pun yang pernah dia sebut. Aku harus tahu.”
Pertanyaan Ethan menggantung di udara. Karin menahan napas, tenggorokannya terasa kering. Matanya menatap meja, mencoba mengatur detak jantung yang kini berdentum cepat di dadanya.Butuh beberapa detik sebelum Karin akhirnya mengangguk pelan.“Iya… aku pernah hamil,” suaranya nyaris seperti bisikan. Lalu ia menambahkan dengan lebih tenang, meskipun hatinya porak-poranda, “Aku melahirkan. Anak kembar… laki-laki dan perempuan.”Ethan terdiam.Sementara itu, Karin menggenggam kedua tangannya di pangkuan, berusaha tetap tenang meski pikirannya kacau. “Lalu?” Ethan bertanya, nada suaranya lebih pelan sekarang, seperti mencoba memahami.Karin mengangkat bahu sedikit. “Itu saja. Setelah melahirkan… aku kehilangan mereka.” Ia menunduk, mencoba menahan air mata. “Mereka bilang bayiku meninggal.”“Meninggal? Apa yang terjadi?”“Mereka bilang, bayi
Petugas itu meninggalkannya sebentar. Karin duduk di kursi tunggu, menatap lorong-lorong rumah sakit yang terasa begitu asing namun menyimpan luka lama. Tak lama kemudian, seorang wanita tua berseragam batik rumah sakit datang menghampirinya. “Nona Karin, saya Bu Rina. Saya dulu bertugas di bagian administrasi, setelah saya cek, nyonya Safira adalah pasien yang melahirkan kembar laki-laki dan perempuan lima tahun yang lalu. Disitu data yang tertulis. Karin menatap tajam ke arah Bu Rina. “Bu, saya ingin tahu… tanggal berapa tepatnya Safira Dimitri melahirkan anak kembar itu?” Bu Rina membuka kembali catatan di tangannya, lalu menjawab pelan, “Tanggal 5 April… lima tahun yang lalu.” Jantung Karin seperti dihantam keras dari dalam. “Itu… tanggal saya melahirkan juga,” gumamnya, matanya membulat. “Saya ingat betul. Tanggal 5 April. Saya melahirkan bayi kembar. Laki-laki dan perempuan.”