Aku hanya diam. Meski sedikit pedih karena tak menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini, aku hanya bisa menerima.
"Jihan, sekarang kita memang suami-istri, tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini. Karena bagiku, kamu itu adikku. Jadi kamu tak keberatan, kan kamar kita pisah?" ucapnya lagi.
Aku tersenyum. "Ya nggak lah, Mas. Malah itu yang kuharapkan. Sebenarnya aku juga sangat shock dengan keputusan abah. Karena aku juga menganggap Mas itu seperti kakak kandungku sendiri. Rasanya, gimana gitu kalau tiba-tiba kita harus jadi suami-istri."
"Berarti perasaan kita sama. Kita mungkin memang saling menyayangi, tapi tak bisa saling mencintai sebagai suami-istri."
"Iya, Mas. Aku juga gitu. Untungnya sekarang kita tinggal jauh dari keluarga kita. Jadi kita bisa menjalani hidup kita masing-masing."
"Tadi, setelah dari masjid aku sudah lapor pak RT kalau aku bawa orang ke rumah ini dan besok aku antar kamu ke kampus."
"Hore!" Aku kegirangan, karena memang itu tujuanku ke kota.
"Tapi, nanti di kampus, kalau ada yang tanya tentang aku. Kamu bilang saja kita sepupuan!"
"Iya, Mas," sahutku, "memangnya Mas Azam punya pacar?"
Mas Azam tak menjawab.
Tapi dari sorot matanya, sepertinya ia memang sedang menyimpan sesuatu.
Mungkin dia memang sudah punya pacar. Tapi, andai dia pun punya pacar, aku tak keberatan, karena aku memang tidak ada perasaan apa pun padanya.
Setelah pembicaraan itu, kami masuk ke kamar masing-masing dengan perasaan yang sama seperti biasanya dan kami sepakat kalau kami akan tetap hidup sebagai sepupu di rumah ini. Meski sebenarnya kami adalah pasangan suami-istri yang sah secara agama maupun negara.
Hanya saja, aku tak menyangka jika akan merindukan keluargaku.
Bahkan, adikku yang rese itu.
Suasana di Kota Surabaya ini juga rasanya sangat panas bagiku.
Aku sampai kebingungan dan hanya bisa guling-guling di kasur karena tak bisa tidur.
"Umi!"
Aku baru ingat kalau aku harus menghubungi umi dulu, untuk mengabarkan kalau aku sudah sampai dengan selamat. Tapi sayangnya kuotaku habis.
Aku pun segera menuju ke kamar Mas Azam yang jaraknya sekitar tiga meter dari kamarku. Aku langsung mengenakan jilbab instanku, sebab biasanya kalau di rumahku, Mas Azam akan marah jika aku membuka jilbabku di hadapannya.
Mas Azam termasuk orang yang tidak boleh melihat rambutku, katanya.
Toktoktok!Kuketuk pintu kamarnya.
"Mas!" panggilku dengan suara sedikit direndahkan. Sebab lamat-lamat aku mendengar Mas Azam sedang berbicara dengan seseorang. Apakah dia menelpon seseorang, ya? Apa dia sedang telponan sama pacarnya? Tapi aku sangat butuh kata sandi wifi-nya! Tok tok tok! Kuketuk lagi pintu kamarnya dengan hati-hati. Kudengar Mas Azam sepertinya berhenti bicara dan mulai melangkah menuju pintu. "Ada apa?" tanyanya setelah membuka pintu. "Mas, kuotaku habis. Aku mau menghubungi umi. Di sini ada wifi, kan?" "Iya ada. Mana ponselmu!" Mas Azam segera mengambil ponselku dan terlihat mengetik kata sandi di ponselku. Aku juga merasa penasaran karena dia mengenakan pakaian sangat rapi. Wajahnya juga terlihat lebih tampan, seperti pakai bedak tabur, aku semakin penasaran. "Mas mau keluar? Kok, rapi?" Kucoba memberanikan diri bertanya padanya, meski sebenarnya aku takut. "Tidak. Ya sudah, ini wifi-nya sudah nyambung. Sudah sana, cepat tidur jangan begadang!" "Tidak kok, Mas. Aku cuma mau menghubungi Umi. Lagian, aku tuh tak punya medsos selain F*." "Ya sudah. Tapi ingat ya, jangan bilang sama keluarga kita kalau kita pisah kamar!" "Iya, Mas. Aku ngerti, kok. Oh iya, di sini cuacanya panas banget, beda banget sama di Malang. Ada kipas angin, nggak?" Mas Azam tak menjawab, tapi ia beranjak menuju kamarku. Aku mengekor di belakangnya. Kulihat ia mengambil dan memencet sebuah remote yang ternyata itu remote utk AC. Tak lama kemudian, udara kamarku pun menjadi dingin. "Kalau kamu merasa gerah, di rumah ini kamu bisa lepas jilbabmu. Kecuali kalau ada tamu laki-laki, kamu harus mengenakannya lagi." "Tapi, selama ini Mas, kan selalu memarahiku jika melihatku tak mengenakan jilbab saat di rumah. Padahal aku cuma ke teras rumah saat itu," bantahku yang memang masih trauma dengan larangannya dulu. "Sudah, ikuti saja saranku. Kita, kan sekarang sebenarnya sudah suami-istri. Jadi aku boleh melihat rambutmu."Hah?
Suami-istri?
Setelah mengucapkan kalimat itu, Mas Azam juga terdiam seolah sedang salah bicara.Sudah takdir(Masih flashback)Hati Agnes selalu merasa bersalah karena menjadi orang ketiga dalam hubungan Azam dan Jihan seperti yang bicarakan Jihan padanya.Apalagi saat ia bertemu ayah Azam, ada rasa bersalah yang selalu menyergap di setiap langkahnya."Meski ayah Azam tidak mempermasalahkan keberadaanku sebagai istri kedua Azam, tapi dari tatapannya sangat jelas menyiratkan bahwa dia berharap aku pergi sebagaimana Jihan sangat mengharapkan aku pergi dari kehidupan mereka. Sedikit banyak, aku bisa membaca ekpresi orang lain apalagi orang itu berbicara padaku secara langsung, jadi aku tahu apa yang di harapkan Jihan maupun Ayah nya Azam.Sepertinya aku memang harus pergi dari kehidupan mereka, meskipun sebenarnya aku tahu aku sangat mencintai Azam, apalagi dia adalah cinta pertamaku. Ya, aku memang harus pergi dari mereka, cukup buah hati kami ini yang menemaniku. Karena aku ingin Azam bahagia dengan Jihan. Aku ingin melihat orang yang aku cintai bahagia.Aku tak bisa bayangkan
Pertemuan Agnes dan Jihan.Ada rasa sesal yang tiba-tiba mendera hatiku saat kembali bertemu dengan seseorang yang pernah ada dalam bagian hidupku, yaitu orang yang pernah dicintai suamiku. ~~~~~♡♡♡~~~~(POV author)"Mas, aku ijin mau keluar!" Ucap Jihan pada Azam yang sedang duduk di kursi kesayangannya di studio miliknya."Mau kemana, biar aku anter!" "Tidak usah, aku biasa sendiri, aku cuma beli sesuatu di minimarket, kemarin kelupaan.""Tapi kamu itu jarang keluar sendiri, loh!" Azam merasa kawatir."Nggakpapa, deket sini kok, palingan nanti cuma mau mampir beli seblak atau mi ayam. Mas jangan kawatir, aku sudah bisa naik motor lagi, kok!""Tapi...,""Aku ini bukan anak kecil lagi, Mas!" Jihan merasa kesal."Ya sudah, hati-hati ya!" Dengan berat hati, Azam akhirnya mengijinkannya, Azam masih kawatir pada Jihan, sebab saat itu dia masih nifas karena tiga minggu sebelumnya habis keguguran.Setelah salim pada suaminya, Jihan pun segera berangkat dengan senyu
Masih ada rinduAgnes terdiam, bibirnya yang masih ranum itu seakan berat untuk menjawabnya, sementara tatapan matanya terlihat sedang berusaha menghindari tatapan mataku. Selain itu, aku juga merasa bahagia, karena ternyata dia masih mengenakan hijab bahkan gamis yang dikenakannya gamis yang lebar dan longgar."Alhamdulillah, ternyata dia masih memeluk agama islam, dan aku bisa melihat dia semakin cantik dan anggun, dan..., ya Allah, aku benar-benar sangat terpesona padanya, saat ini, aku sangat merindukanya," guman batinku."Kamu di sini sama Jihan?" Ucapnya padaku, tapi aku tak segera menjawabnya karena aku masih terjebak oleh rasa yang tiba-tiba muncul lagi. Iya, aku sedang terpesona padanya.Bagaimana aku tidak terpesona, di depanku ada seorang wanita chindo yang cantik mengenakan jilbab dan gamis syar'i, terlebih lagi dia adalah wanita yang pernah menjadi kekasih bahkan pernah menjadi istriku. Andai dia masih halal untukku, sungguh aku ingin memeluknya lebih lama dengan erat da
Kota baruPov AzamDua tahun sudah, aku dan Jihan pindah ke kota Jakarta, meskipun pada awalnya kepindahan kami di tentang oleh keluarga, tapi setelah melalui perdebatan yang alot, akhirnya dengan berat hati keluarga pun mengijinkan. Sementara itu rumah yang di kota Surabaya sudah kujual.Selain karena untuk menghindari dari orang-orang yang Hasad, aku juga ingin menghindari kenangan-kenanganku bersama Agnes.Rumah yang di Jakarta memang tidak sebesar di Surabaya, tapi aku sangat bahagia dan kami selalu harmonis.Aku sangat bersyukur, hubungan kami selalu dipenuhi cinta, keluarga yang sangat menyayangi keadaan ekonomi juga sangat mendukung, tapi ternyata kami tak luput dari ujian, yaitu sampai sekarang kami masih belum dikaruniai anak. Terhitung sudah lima kali dalam empat tahun pernikahan kami, Jihan selalu mengalami keguguran. Hati Jihan sangat hancur, tapi aku dan keluarga selalu memberi dukungan dan selalu menghiburnya sehingga kegundahan hatinya tak begitu berarti.Sehari-hari J
Kehilangan"Sore tante!" Setelah dirasa cukup, akhirnya Azam menampakkan diri di hadapan mereka. Sontak keduanya terperanjat, seperti seorang pencuri yang ketahuan oleh pemiliknya."Azam?" Tante Monica shock, tapi ia tetap berusaha tenang agar tidak terlihat lemah di hadapan Azam."Aku tahu apa yang kalian bicarakan. Dan kamu Randi, aku tak menyangka ada orang yang begitu buruk nya memperlakukan wanita. Jka kamu iri dan dengki pada pencapaianku, cukup dengan fitnah saja mampu membuat karier dan namamu hancur seperti yang telah kamu lakukan, tapi perlakuanmu pada Jihan, itu sungguh tak bisa ku maafkan," ujarnya dengan mengepalkan tangan karena geram. Namun, Azam berusaha meredam emosinya agar tidak melakukan kekerasan, sebab ia tahu di cafe itu ada cctv dan itu tidak baik untuknya dan kariernya, tapi ia masih menganktifkan perekam ."Baguslah kalau kamu tahu. Berarti kamu sudah menyadari dosa-dosamu, dong!" Ujar Tante Monica dengan melipat tangan di dada nya dengan raut wajah angkuh d
Luka Jihan.Jihan menangis sedih, bukan karena merasa sakit di t4ampar, tapi ia justru merasa kawatir dan takut kalau Azam mengetahui dirinya di sakiti oleh orang lain, ia akan marah dan nantinya akan menimbulkan masalah yang semakin besar.Karena rasa kawatirnya itu, ia pun menghubungi Azam dan minta ijin bahwa dia akan menginap di tempat kosan-nya Hera.Awalnya Azam tidak setuju, tapi karena Jihan terus membujuk, akhirnya diperbolehkan, tapi prasaan Azam merasa tidak enak, sehingga ba'da maghrib dia mengunjungi kos-an Hera tanpa sepengetahuan Jihan."Sebaiknya kamu pulang, apalagi kamu sedang hamil!" Ucap Azam saat tanpa sengaja Jihan keluar bersama Hera menemui tamu yang ternyata adalah Azam, di tempat kos-an Hera tersebut."Tapi, Mas. Aku sedang ingin menginap di sini."Jihan berusaha menunduk, takut Azam melihat pipinya yang sedikit merah. Kulit Jihan memang sensitif, sehingga saat Randy men4mparnya bekasnya sedikit terlihat, meski samar-samar. Tapi, justru karena sikap Jihan yan