"Kenapa dibuang?" tanya Hilma, yang melihat aksi suaminya itu. "Pokonya selama seminggu ke depan kamu jangan keluar rumah dulu." Setelahnya Zafar mengambil kunci motor dan pergi. Hilma yang melihat itu bingung, kenapa dengan suaminya itu. Setelah semua beres, gadis itu duduk di dekat jendela, menikmati embusan angin pagi yang terasa segar, dengan matahari yang masih sebunyi-sebunyi di atas sana. Tak lama Pak Hasan pulang membawa jaring di tangannya yang berisi ikan kecil-kecil. Melihat itu Hilma sangat antusias karena ikan itu adalah ikan yang sudah tiga minggu lalu ia inginkan. "Neng, buka pintu belakang, nya. Dan ini tolong dibawa."Gadis itu mengambil sambil tersenyum girang, ia berucap terima kasih dengan nada yang manja. Kemudian bergegas membukakan pintu belakang agar sang Bapak bisa masuk untuk mencuci kaki yang kotor. Hilma juga mengambil nasi dan lauk yang tadi ia bereskan. Kemudian mengambil ulekan batu untuk membuat sambal dadak kesukaan Pak Hasan. Sang Bapak keluar da
Pagi sekitar pukul sembilan, Hilma merapikan baju karena diingatkan oleh Zafar agar segera beres-beres. Ia juga membereskan baju sang Bapak. Sedangkan Zafar duduk di depan teras rumahnya sambil bermain ponsel. Pria itu saling kabar dengan seseorang yang kemarin ia temui. Sedang pokus pada ponsel, suara motor terdengar memasuki perkarangan rumah, membuat Zafar menatap siapa yang datang. "Dia lagi," gumam Zafar, saat melihat Ajat yang datang, pria itu berdiri menyebutnya. "Assalamu'alaikum, Kang!" ucap Ajat. "Waalaikumsalam," jawab Zafar datar. "Bapaknya ada? Ini ada undangan pengajian di rumah Teh Rina, tolong disampaikan ya, Kang.""Oh, iya." Zafar mengangguk, matanya pokus pada Ajat yang seperti sedang mencari sesuatu di dalam rumah. "Ya udah, kalau gitu saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Hmmm." Hanya itu yang Zafar berikan. Entah kenapa dia curiga pada lelaki itu, apa memang dia mata-mata Sinta? ***Sore menyapa, keduanya tengah duduk di samping rumah. Menikmati embusan angi
Zafar izin ke kamar dulu pada teman-temannya, ia membuka surat itu dan perlahan membacanya. [Assalamu'alaikum, Neng Hilma. Maaf dengan surat ini Aa ingin mengutarakan, kalau Aa teh sebenarnya sudah jatuh hati pada Neng sudah lama. Maafin Aa yah, karena tidak berani mengutarakan, sampai pada akhirnya kamu diambil orang. Aa kira kamu teh akan tetap menjadi milik Aa. Tapi orang kota itu merebut segalanya, Neng. Padahal akhir tahun ini Aa niat ingin melamar Neng Hilma. Tolong jangan berikan surat ini pada siapa pun ya, Neng. Sekali lagi Aa minta maaf karena selama ini hanya diam, padahal tau, kalau kita saling mencintai. Selamat menikah, ya. Semoga bahagia dengan lelaki kota itu. ]Zafar menghembuskan napas pelan setelah membaca suratnya. Ia menyimpan surat itu di dalam lemari, kemudian kembali ke luar. Ternyata benar dugaan Zafar, bahwa Hilma dan Ajat ada saling menyimpan perasaan satu sama lain. Zafar kembali duduk bersama temannya. Mereka membahas apa yang akan dilakukan saat Sinta d
Pagi menyapa, setelah kejadian semalam, Zafar dan teman-temannya merasa lelah dan memutuskan untuk tidur sebentar. Tapi mereka malah pulas, begitupun dengan Zafar. Saat mendengar suara ayam berkokok, dan cahaya masuk lewat celah gorden, membuat pria itu perlahan membuka mata. Ia mengecek ponsel ingin tahu jam berapa ini. "Oh... Baru jam enam." Zafar menguap lalu ingin kembali tidur, tapi.... "Apa, jam enam!" teriak Zafar, pria itu langsung berdiri dan lari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ia sangat merasa bersalah jika sampai tidak melaksanakan solat. Pria itu kembali ke dalam, mengambil sajadah dan sarung di kamar, kemudian melaksanakan solat. Sedangan di tempat lain, Hilma sedang menyapu rumah karena merasa bingung harus berbuat apa lagi. Dia sampi ke Bekasi baru saja, tapi tidak bisa diam karena merasa tak nyaman dengan rumahnya. Kedua teman Zafar yang mengendarai mobil itu meminta Hilma untuk tetap diam di rumah. Makanan dan apa pun itu akan diberikan olehnya. Jika ingi
Zafar dan pria itu saling tatap, yang pada akhirnya Zafar memilih turun untuk menghampirinya. Ajat yang sengaja mencegat Zafar berusaha tersenyum pada pria itu. "Ada apa?" tanya Zafar dingin. "Maaf kalau nyegat kamu di jalan begini. Saya hanya ingin menanyakan Neng Hilma dan Pak Hasan, ke mana mereka?""Untuk apa kamu nanyain mereka? Ada penting?""Tidak ada, hanya saja sebagai warga yang perduli sesama warga, wajar saja kan jika saya bertanya?"Mendengar itu Zafar memalingkan wajah sambil tersenyum miring. Ia berpikir sok sekali lelaki di hadapannya ini, pandai berakting berusaha mendapatkan cap si paling peduli sesama warga. "Mereka gak ada, dan kamu tidak perlu tau ke mana mereka pergi. Permisi." Zafar berbalik menaiki motornya, ia melaju melewati Ajat yang hanya bisa mengembuskan napas kecewa, karena tidak tau keberadaan gadis itu di mana. Bahkan saat ada kebakaran pun Hilma dan Pak Hasan tak ada membantu. Biasanya mereka selalu turut apa pun yang tengah terjadi. Pria itu memi
Perkenalkan ibu-ibu, bapak-bapak, ini adalah Pak Andre dan ini ponakannya Kakak Sinta. Niat mereka ke sini seperti yang sudah waktu itu saya sampaikan, bahwa mereka ingin membeli tanah yang dekat jalan itu, untuk dibuatkan pabrik."Seterusnya Kepala Desa menjelaskan lagi, jika mereka ingin membuat pabrik pengolahan padi, para warga akan mendoakan pekerjaan baru saat pabrik itu sudah selesai dibangun, warga juga akan mendapatkan hara tinggi untuk penjualan padi. "Betul begitu, Pak Andre?" tanya kepala desa. "Iya, Pak. Betul sekali. Kenapa saya ingin membuat pabrik di sini? Itu semua karena saya mau, kalian bertani di kampung ini, kalian juga mengolahnya di sini. Dengan begitu, para petani semua tak perlu menjual jauh-jauh hasil panen ke kampung seberang, mahal ongkos tapi harga sangat rendah.""Iya, dan kami di sini, tidak akan membeli tanah kalian dengan harga yang sudah ditentukan. Kami akan membayarnya dua kali lipat!" ujar Sinta, setelah sang paman selesai berbicara. Mendengar w
"Zafar!" Haji Burhan yang baru sampai langsung menghampiri pria itu, ia tau dari salah satu desa yang lewat saat kejadian kebakaran tadi. "Kamu gak papa?" tanyanya panik, Haji Burhan takut sekali jika saat rumah terbakar dia ada di dalam. "Aku gak papa, Paman. Hanya saja rumahnya...." Zafar menangis, ia sungguh bingung apa yang harus dikatakan pada Bapak mertuanya nanti. "Sudah, kita pikirkan nanti soal rumahnya. Ayo, sekarang ke rumah paman dulu. Ayo-ayo semua," ujar Haji Burhan, yang mengajak teman Zafar juga. Pito dan Bima saling tatap, barang-barang mereka ada di sana semua. Beruntung dompet dan ponsel selalu mereka bawa. Mereka ke rumah Pak Burhan, sepanjang jalan Zafar diam, ia takut sekali dimarahi oleh Pak Hasan, saat sedang melamun, pria itu melihat dari kejauhan, Ajat sedang berdiri di depan rumah Haji Burhan. "Pria brengsek itu. Untuk apa dia di sana, apa jangan-jangan...." Zafar meminta Pamannya itu untuk melaju lebih cepat, saat sudah sampai di pekarangan rumah, ia l
Di kota, Hilma gusar, ia tak bisa tidur. Berkali-kali ia mengecek ponsel jadul itu, tapi tak kunjung ada balasan dari Zafar. Sedari tadi pagi perasaanya tak enak, membuat gadis itu sering melamun. Begitu juga dengan Pak Hasan, wajah sang almarhum sang istri terbayang-bayang. Ia merasa tak enak hati, tapi tak tau kenapa. Padahal, mungkin semua itu karena ikatan batin mereka dengan rumah yang sudah hangus terbakar sangat lekat. Sehingga mereka bisa merasakan kegelisahan. Jika saja mereka tau rumahnya sudah hangus terbakar. Mereka pasti akan memaksa untuk pulang melihat keadaan rumah. Hilma memilih keluar dari kamar. Ia sedikit terkejut mendapati sang Bapak yang juga sedang duduk termenung di kursi. "Bapak belum tidur?""Belum, Neng. Bapak teh gak bisa tidur. Neng, tanyain ke Zafar, kapan kita bisa pulang? Bapak udah gak betah di sini."Hilma ikut duduk di samping Sang Bapak, ia menatap wajahnya. "Pesan Hilma yang tadi juga belum di jawab, Pak. Sama kayak Bapak, Hilma juga mau seger