Share

Bab 7 Sekamar berdua

"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran.

"Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya.

"Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."

Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya.

"Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah."

Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak sopan itu, sejak dulu saya sama sekali tidak menyukainya. Dia yang membuat Zafar jatuh ke dalam kegelapan."

"Oh, jadi Teteh itu namanya Sinta? Pantas pas kita berhenti dulu di kamar-kamar waktu itu, dia udah gak ada pas kami mau ke sini."

Bu Hani mengerut mendengar penjelasan Hilma. "Kamar-kamar apa maksudnya?"

"Itu, anu... apa ya namanya, intinya kita ke gedung tinggi, tapi isinya kamar begitu, Bu."

Bu Hani tertawa mendengar penjelasan Hilma, membuat gadis itu menggaruk kepala bingung. "Maksud kamu hotel kali ya? Oh kalian sebelum sampai ke sini ke hotel dulu? Terus si Sinta itu perginya pas di hotel dong, ya?"

"Nah, iya, mungkin itu, Bu. Hotel namanya. Kalau soal si Teteh itu, pas kami mau berangkat dia udah gak ada. Kan saya tanya ke anak Ibu, katanya jangan di pikirin. Padahal saya kan cuma nanya ya, Bu, bukan mikirin dia. Uh, ada-ada saja si Kakak teh."

Bu Hani tertawa kecil mendengar penuturan mantu barunya itu. Hatinya merasakan kelegaan, mungkin karena selama ini ia jarang sekali mengobrol empat mata begini dengan anaknya. Kini, dengan adanya Hilma, mereka bisa berbicara ngalor ngidul.

"Udah, ah. Nanti ngobrol terus kita gak jadi-jadi masaknya." Mereka tutup obrolan itu dengan kembali memasak bersama.

***

Setelah solat jamaah di rumah, mereka kembali ke meja makan. Hilma juga sudah bersih karena Bu Hani memberikan sebuah Midi dres padanya untuk dipake. Lengkap dengan kerudung warna senada, yaitu warna hijau sage.

Bu Hani sampai terpana melihat cantiknya gadis itu, meskipun dari desa tapi kulitnya putih bersih. Meskipun memang soal baju dia tidak tau outfit yang baik untuk ia pakai. Wajar saja, setahun sekali saja belum tentu ia membeli baju baru. Kecuali kalau memang ada orang yang memberikannya baju bekas yang masih layak pakai.

"Mana Zafar?" tanya Bu Hani.

"Entahlah, disuruh solat juga gak ada," jawab sang suami, membuat Bu Hani kesal dengan anaknya itu. Sangat susah sekali untuk di aturnya.

"Dia itu gak malu apa, ya. Kamu aja yang baru ke sini sudah masak, solat bareng, lah dia. Aduh, bener-bener punya anak cuma satu-satunya malah begini. Ya Allohurobbi!"

Hilma hanya diam mendengar ibu mertuanya itu mengoceh, kemudian Pak Jaidi menutup kedua telinga saat Bu Hani berteriak membangunkan Zafar yang sedang menikmati lelapnya tidur.

Pak Jaidi memberi kode pada Hilma, kemudian dia memberitahu gadis itu, kalau hal ini sudah biasa terjadi saat Zafar sedang berada di rumah.

"Bangun, gak!" Bu Hani menarik selimut yang anaknya kenakan, teriakannya membuat pria itu akhirnya terbangun dengan wajah yang kusut. Ia merasa capek karena semalaman menyetir sendiri dari Bandung ke Jakarta.

"Teriak-teriak mulu, Bu. Pusing aku dengernya ah!"

"Ya gimana gak teriak, kamu diajak solat gak mau, sekarang waktunya makan malah masih tidur aja."

"Ya kan bisa nanti, Bu. Aku itu capek—"

"Gak ada nanti-nanti. Kalo mau nanti, kamu beli aja malan di luar. Kalau gak turun juga, makanan gak akan tersisa buat kamu, ya!"

"Loh kok gitu. Arghh!" Pria itu mengacak-ngacak rambutnya karena kesal, pada akhirnya turun juga karena merasa malas jika harus mendengar teriakan sang ibu yang menggelegar.

"Maaf ya, Saya memang sukan begini kalo dia ada di rumah. Musingin anaknya."

Hilma hanya diam sambil tersenyum kecil, merasa kaget juga ia dengan keluarga yang baru ia masuki ini.

"Ayo makan, ayo. Udah masak masa cuma dianggurin."

Hilma menerima piring yang diberikan oleh Bu Hilma, kemudian ia juga ikut menikmati makanan. Sedangkan Zafar, hanya duduk dia menunggu dilayani oleh sang ibu, tapi ibunya itu malah sibuk pada Hilma, yang pada akhirnya menikmati makanannya tanpa melirik Zafar sama sekali.

"Terus aku gimana?" tanya Zafar.

"Ya kamu ambil sendiri, biasanya juga gak kau dilayani." Pak Jaidi menyahut, pria itu kalau sudah, dia membuang napas kasar kemudian mengambil nasi. Di saat itu mata mereka tak sengaja saling tatap satu sama lain, membuat Hilma kembali menunduk menikmati makanan.

Saat makan, semua fokus pada makanan mereka masing-masing. Sampai makan sudah selesai, semuanya bubar kecuali Bu Hani dan Hilma yang kembali ke dapur untuk membereskan piring-piring kotor.

Bu Hani meminta Hilma untuk pergi ke kamar beristirahat, tapi Hilma menolaknya, ia ingin membantu ibu mertuanya itu untuk menberikan semuanya. Karena kebiasaan Hilma juga selama di desa ia selalu membereskan semuanya setelah selesai makan.

***

Malam menyapa, hati gadis itu merasa bahagia karena selepas makan siang tadi ia berbicara dengan sang Bapak meskipun hanya sepatah dua patah kata yang Bapaknya itu lontarkan.

Hilma memaklumi karena semua ini pasti tidak mudah untuk sang Bapak, tapi dengan itu ia sedikit bahagia karena setelah di diamkan Bapaknya itu mau bertanya lagi padanya.

Saat sedang memeluk guling dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan, pintu tiba-tiba dibuka, Zafar menghambur ke kasur setelah ia menutup kembali pintu. Hilma yang melihat itu ia langsung terperanjat kaget dan turun dari ranjang.

"Matiin AC-nya tolong, aku gak bisa dingin-dingin banget. Kalau gak pindah mode aja, takut kamu kepanasan. Kan usaha Jakarta sama kampung beda."

Hilma yang masih terkejut malah dibuat bingung oleh remot AC yang bagian mana harus gadis itu tekan. Karena yang menyalakan AC tadi adalah Bu Hani, gadis itu sama sekali tidak mengerti mana yang harus pindah mode.

"Mmm, aku...."

Zafar yang menyadari itu berusaha sabar, kemudian bangkit dan memindahkan mode agar tidak terlalu dingin. Ia kembali ke ranjang, kemudian menatap Hilma yang hanya berdiri diam di tempat yang sama.

"Ngapain? Mau terus berdiri di situ?"

"Emm, aku di sini aja." Hilma menaruh guling yang ia peluk di lantai, kemudian berbaring. Membuka Zafar menggelengkan kepala.

"Naik ke atas kasur sekarang!"

Hilma menengok sebentar, kemudian kembali berbaring tak memperdulikan ucapan suaminya itu.

"Harus ku apakan dia!" gerutu Zafar pelan, ia bangkit kemudian menarik tangan Hilma untuk naik ke atas kasur, membuat pembatas untu mereka berdua.

"Sudah tidur yang tenang di sini. Jangan berulah lagi, aku malas dimarahin Ibu cuma gara-gara kamu, paham?! Kalo ngomong gak paham juga, aku habisi kamu di kasur ini!"

"Ha—habisi gimana?" tanya Hilma ngeri.

"Seperti apa yang orang desa itu pikirkan saat kita lagi di saung."

Hilma nge-lag sebentar, kemudian dia tersadar arti pembicaraan Zafar ke mana. Dengan cepat gadis itu berbaring memunggungi sang suami, demi apa pun saat ini jantung gadis itu berpacu hebat karena ketakutan. Takut....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status