Share

Bab 6

Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana.

Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia.

"Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak."

"Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"

Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia.

Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika memang semua yang warga kampung itu bilang itu adalah fitnah. Karena tau sifat anaknya seperti apa. Dia berpikir Hilma telah dijebak dan sengaja dimanfaatkan oleh anaknya itu.

"Kamu tidak mengancam gadis itu untuk berkata jujur bukan?" Pertanyaan ayahnya itu membuat Zafar terkejut, apa maksudnya? Apa ayahnya itu masih menuduh jika Zafar memang melakukan apa yang warga tuduhkan.

"Jadi kalian tidak percaya pada ucapan gadis itu? Hanya karena aku nakal dan susah di atur, Ayah pikir aku tega melakukan itu pada gadis sepertinya? Jika memang ingin pun, tidak perlu memakainya, gadis kampung yang kumuh, dan tidak bisa berpenampilan baik, aku punya Sinta, kalau ingin kenapa aku tidak memakai dia sejak awal? Aku memang nakal, tapi aku tidak sebejat itu!"

Zafar mendorong kursi makan sampai membuat bunyi yang nyarinya. Dia pergi kembali ke atas dengan napas yang memburu karena emosi. Sedangkan Ibu dan Ayahnya hanya diam saling pandang, belum pernah dia melihat sang anak marah sampai seperti itu.

"Terus bagaimana?" tanya Ayahnya Zafar pada sang istri, yang hanya dibalas helaan napas oleh Bu Hani. "Mungkin ini memanglah sebuah fitnah semata, Yah. Tak mungkin juga Zafar melakukan hal itu, terlebih lagi gadis itu sudah bicara pada kita."

"Entahlah, Bu, aku masih kurang yakin. Takut jika Zafar mengancam gadis itu untuk tidak jujur perihal ini. Kamu tau kan sifat anakmu itu seperti apa?"

"Tapi...."

"Sudahlah, Bu. Nanti kita pikirkan lagi, Ayah mau istirahat dulu, sakit kepala mikirin anakmu itu."

"Anakmu juga itu," jawab Bu Hani, yang tidak dihiraukan oleh suaminya.

Sedangkan di kamar, Hilma was-was jika Zafar tiba-tiba saja masuk seperti tadi, dia baru saja lega karena pria itu pergi dari kamar setelah kesalahan berbicara pria itu tadi. Yang membuat Hilma pikirannya jadi ke mana-mana.

"Kalau sampai dia ke sini lagi, aku yang akan keluar," ucapnya sambil menengok ke arah pintu.

Setengah jam berlalu ia berjaga-jaga, tapi Zafar tak ada masuk lagi ke kamar. Hilma lama kelamaan mengantuk dan kemudian tertidur.

***

Pagi sekitar pukul tujuh, aroma masakan menusuk ke indera penciuman Hilma yang sedang menyapu di lantai atas. Meskipun lantai sudah bersih, tapi ia tetap sapu lagi karena bingung harus melakukan apa.

Setelah selesai menyapu, gadis itu dengan ragu turun ke bawah, dilihatnya Bu Hani sedang sibuk di dapur, pelan dia pun menghampiri, berdehem sekali kemudian basa-basi. "Maaf, Bu, apa boleh saya bantu?" tanya Hilma.

"Boleh-boleh. Ayo sini. Eh, yakin mau bantu? Bau terasi loh ini, tuh sampe se rumah-rumah baunya."

"Jangankan bau terasi, Bu, saya bau sampah juga biasa aja. Sayurnya biar saya yang cuci, ya?"

"Boleh." Bu Hani tersenyum padanya, kemudian kembali mengaduk sambal godok yang masih meletup-letup di atas kompor.

"Ibu mau bikin sayur lodeh, ya?"

"Kok tau?"

"Tau aja, Bu. Kebetulan saya juga di kampung kalau Bapak ada rezeki alhamdulillah suka jualan lauk nasi, kadang-kadang gorengan. Nih biasanya hari ini Minggu Bapak gajian dari Haji Burhan, sorenya saya suka jualan lauk nasi. Tapi sekarang...."

Hilma mendadak diam. Ia kembali teringat pada Bapaknya. Teringat juga setiap minggu sore dia selalu keliling kampung untuk menjual makanan yang ia buat. Entah itu sayur, ikan dan juga gorengan. Makanan buatannya selalu habis, kadang tersisa itu pun hanya dua atau tiga kantung saja.

Pulang keliling mereka biasa makan bersama dengan piring yang sudah usang warnanya, tak jarang pula beralasan daun pisang, karena mereka merasakan kenikmatan ketika makan berdua dalam satu lembar daun pisang. Saling tertawa bercerita kegiatan mereka masing-masing.

Namun kini, hal itu menjadi kenangan yang indah untuk Hilma, sekaligus sedih karena harus pergi berjauhan dari sang Bapak. Hilma pikir, dulu ia akan selalu berada di dekat sang Bapak, menemani sehari-harinya. Tapi kini... entah takdir mengapa membawanya sampai ke titik ini.

"Kamu baik-baik aja?" tanya Bu Hani, yang menyadari isakan tangis Hilma di depan wastafel. Wanita itu merasa iba padanya, tangannya terulur mengusap pundak Hilma, membuat gadis itu berbalik menatapnya.

"Jangan sedih, jumat besok kan kamu ketemu lagi sama bapakmu. Nikmati dulu di sini, anggap saja liburan, ya? Bapak baik-baik aja kok di kampung. Oh iya, nanti kita telfon ke sana ya, kamu mau bicara kan sama Bapak?"

"Beneran, Bu?" tanya Hilma berbinar, ia sepontak mengusap air matanya.

"Beneran, dong, nanti selepas makan siang kita telfon, ya."

"Makasih ya, Bu. Aku pikir kalian akan membenciku karena hal ini."

"Hal yang tidak kamu lakukan?" tanya Bu Hani, kini ia mancing, karena dalam hatinya masih ragu. Takut jika anaknya itu memang mengancamnya untuk tidak berkata jujur.

Hilma diam menatap wanita itu. "Semua yang mereka tuduhkan itu memang tidak benar, tapi aku juga tak berdaya untuk mengelak. Kami hanya orang rendahan yang tak mungkin bisa dipandang baik semua orang. Makasih sudah sangat baik pada aku, Bu. Dan di sini aku merasakan sosok hangat seorang Ibu setelah 19 tahun tidak merasakannya."

"Maaf, memangnya Ibu kamu ke mana?"

"Sudah meninggal sejak melahirkan aku."

"Inalilahi... Ibu minta maaf, ya. Udah kamu jangan sedih lagi, sekarang ada Ibu, anggap aja sebagai ibumu sendiri. Ibu juga senang akhirnya punya mantu sebaik kamu, dari dulu berharap dan sekarang terkabul. Punya anak laki bikin emosi mulu."

Hilma tersenyum sambil mengusap air mata yang tak tertahan jatuh ke pipi. "Tapi... Kenapa dia begitu sangat kedinginan, dan aneh sekali keadaanya tidak seperti orang yang kedinginan pada umumnya?"

Bu Hani menghela napas pelan. "Hmmm, saya ngerti. Karena memang kebetulan Zafar itu mempunyai penyakit yang...."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status