Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak.
"Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut."Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit setelah membuang napas kasar, melangkah ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, sedangkan Zafar tidak memperdulikan gadis itu, ia kembali tertidur setelah melihat jam yang masih menunjukan jam empat lebih."Astaghfirullah, tidur lagi?" Hilma bergumam, dia memutuskan untuk solat lebih dulu, Zafar akan dia urus nanti.Setelah solat, ia kembali mengenakan jilbab, gadis itu menengok sebentar untuk memastikan jika Zafar benar-benar tidur pulas. Dengan begitu ia bisa leluasa menguncir rambutnya.Gadis itu tersenyum senang, kemudian dia memilih untuk turun, rumah masih gelap, menandakan semua orang belum bangun.Hilma mencari saklar lampu, setelah berhasil ia ke dapur untuk mengecek, ternyata benar saja ada sisa piring kotor yang belum di cuci, ia pun mencucinya.Gadis itu sudah terbiasa bangun pagi sekali, biasanya ia akan murajaah dulu selepas solat subuh. Kali ini tidak, karena dia tidak menemukan al-quran di kamar Zafar, begitupun di ruang tamu juga tidak ada.Gadis itu lupa, padahal di dekat pintu utama ada musola kecil tempat solat berjamaah, dan di sana susah lengkap semuanya. Ada quran ada juga tasbih dan buku-buku doa.***Bu Hani melaksanakan solat subuh di kamar karena mendadak sang suami harus pergi jam tiga dini hari tadi, otomatis dia merasakan kantuk karena membntu menyiapkan baju dan juga membuat teh.Saat turun ia melihat rumah sudah beres dan rapi. Majalah-majalah yang berantakan di meja pun tertata rapi. Dia tersenyum saat melihat Hilma yang sedang berada di teras sambil menyapu. Padahal baru saja jam enam, tapi rumah sudah rapi dan bersih.Sedangkan Hilma asik menyapu, sampai dia tak sadar ada yang memanggilnya dengan sebutan 'Mbak' dari balik pagar rumah."Sutt, Mbak!"Hilma yang sedikit mendengar kemudian menoleh. Ia memicingkan mata melihat siapa yang memanggil, apakah mereka benar memanggilnya atau bukan."Mbak, namanya siapa?""Maaf, nanya saya?" tanya Hilma. Bu Hani yang ingin menghampiri gadis itu urung, ia mendengarkan apa percakapan mereka."Iya, ini temen saya mau kenalan. Namanya siapa?" Sekali lagi pemuda itu bertanya, sedangkan pemuda yang memakai peci hanya diam menunduk sambil menggeleng melihat perbuatan temannya yang bobrok dan tak tau malu itu."Sekalian kalau mau taaruf boleh katanya. Haha!" Pemuda itu tertawa meledek sang teman.Sedangkan Hilma merasa tak nyaman dengan hal ini. Ia bergegas menaruh sapu. "Maaf ya, Mas. Saya udah punya suami," jawab Hilma singkat, kemudian pergi kembali dalam. Ia dikejutkan dengan Bu Hani yang sudah berdiri di dekat pintu sambil tersenyum."Pada godain kamu, ya? Abisnya kamu cantik, solehah, rajin lagi," tutur Bu Hani."Ibu bisa aja. Risih saya kalau ada laki-laki begitu. Ihh!" Hilma bergidik membuat Bu Hani menahan tawa."Kamu orangnya terjaga, eh malah dapet anak saya yang gak karu-karuan hidupnya." Ia membawa Hilma duduk untuk mengobrol berdua. "Jadi gimana pernikahan kalian?"Hilma mendongak menatap mertuanya itu. "Gimana apanya, Bu?""Mau dilanjutkan?"Hilma yang tadi menatapnya, kini berpaling. Ia juga bingung, harus dibawa ke mana pernikahan ini. Jika memang ia harus menikah lalu meninggalkan desa, sama saja seperti ia di usir jika tak mau menikah."Sejujurnya saya tidak bisa meninggalkan Bapak, Bu. Kasian sekali ia jika harus tinggal seorang diri di sisa umurnya yang sudah tua. Saya gak tega."Bu Hani menggangguk paham. Kemudian ia memiliki rencana perihal hal ini. Karena anaknya selama di kota bandel dan susah di atur, ia berpikir jika lebih baik Zafar untuk tinggal di kampung bersama Hilma, semua fasilitas akan dia ambil darinya. Agar Zafar tau susahnya cari uang, capeknya bekerja.Ya meskipun selama ini Zafar juga bekerja mengolah sebuah pabrik jait yang ia dirikan sendiri. Meskipun uangnya hasil dari minjam pada ibunya Sinta."Nanti kita rundingkan ya?"Hilma mengangguk. Jauh dalam hatinya ia berharap semoga tidak akan jauh meningalkan sang Bapak.Apalagi ia akan sangat rindu dengan suasana desa yang sejuk dan masih arsi itu. Ia rindu momen ketika mengayuh sepeda tua untuk berjualan keliling.Rindu juga suasana saat ia malu-malu ketika berpapasan dengan Ajat yang di mana mereka sebenarnya saling jatuh hati. Tapi sayang Ajat tidak berani untuk mengatakannya waktu itu.Sebuah kisah cinta yang unik, mereka belajar bersama, Hilma adalah murid Ajat yang selalu belajar mengaji padanya karena Ajat salah satu guru ngaji di sana. Setiap setor hafalan gadis itu suka berpacu tak karuan menghadapi Ajat, begitupun dengan pemuda itu.Tapi sayang sekali keduanya tidak bisa mengutarakan perasaannya masing-masing. Karena ingin menjaga diri dari adanya perasaan yang berlebih pada manusia. Mereka juga takut jika karena itu alam timbul hal yang tak diinginkan, jika memang tidak ada niat untuk ke jenjang pernikahan dengan cepat.Cinta mereka yang pada akhirnya terputus karena hal ini. Mereka yakin satu sama lain jika saling mencintai. Tapi di sisi lain Ajat belum siap karena harus meneruskan pendidikan di Yogyakarta. Tapi belum berangkat ke sana, ia harus menerima jika gadis yang ia sukai akan dinikahkan dengan orang lain."Anak ibu kehilangan orang yang ia cinta, tapi bahagia karena memang wanita itu yang berulah tidak baik. Sedangkan aku harus kehilangan cintaku karena semua kejadian ini." Tanpa sadar Hilma mengatakan hal itu. Membuat Bu Hani bingung."Maksudnya?" tanya Bu Hani.Hilma yang tadi melamun ia gelagapan bingung. "Ma—maksud aku....""Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m
"Neng, ayo dipakai dulu kebayanya!""Oh, iya!" Hilma segera menutup kembali surat yang baru saja ia baca. Gadis itu menyimpannya di atas lemari kecil, kemudian berdiri untuk dipakaikan kebaya dan juga singger Sunda. Tiga puluh menit berlalu, kini Hilma sudah siap. Ia nampak sangat anggun dengan kebaya putih menjuntai panjang, juga make-up yang membuat aura penyanyinya keluar. MUA itu sampai tersenyum takjup. Hilma yang selama ini terpoles lipstik saja belum pernah, sekalinya di makupin sangat manglingi sekali. "Masya Allah... Cantik banget, Neng," ujar MUA itu. Ia bergegas ke luar untuk memanggil Pak Hasan. Wanita beranak dua itu membawanya ke kamar, memperlihatkan betapa cantiknya sang anak. Pak Hasan diam sejenak menatap dari atas sampai bawah, matanya memerah menahan tangis. Terharu melihat sang anak yang sangat cantik sekali dengan riasan itu. "Nuhun, Des, sudah bikin anak Mamang cantik sekali begini," ujarnya. "Sama-sama, Mang. Ayo Desi foto dulu buat kenang-kenangan." Wani
"Asik ya, ditangkap mantan kekasih pas mau jatuh. Tatapan yang sangat mesra."Hilma berdiri ingin menjawab kata-kata suaminya itu, tapi urung karena Teh Desi kembali. Wanita itu bergegas memakaikan sabuk pada Zafar, kemudian merapikan Hilma kembali dengan gaun berwarna Navy itu. Keduanya kembali ke pelaminan, tidak ada tawa dan senyuman, mereka bahkan duduk berjauhan. Sedangkan Zafar sibuk bermain dengan ponselnya, pria itu sama sekali tidak berniat untuk membuat kenangan di ponselnya. "Foto lagi ya!" ucap fotografer. Salah satu asistennya mengatur sepasang pengantin itu dengan gaya yang romantis. Membuat Hilma tak nyaman, sedangkan Zafar datar-datar saja."Senyum atuh, jangan cemberut!" seru tukang foto. Mereka terpaksa tersenyum dengan gaya foto yang tukang foto itu berikan. Sampai pada akhirnya sesi foto selesai, mereka baru bisa menghela napas lega. Hilma meminta Teh Desi untuk segera mencopot konde yang dipakai karena berat sekali sampai-sampai kepalanya itu terasa puing seka
"Ke—kenapa memang?" tanya Hilma terbata, ia menggeser kembali tubuhnya agar sedikit lebih jauh dari suaminya itu. "Gak papa, cuma di sini dingin. Apa gak ada selimut atau apa gitu?" Gadis itu langsung duduk, ia kemudian mengambil selimut dari lemari yang sudah usang, kemudian memberikannya pada Zafar. "Maaf, ya. Aku lupa," katanya. "Gak papa. Kirain tadi satu selimut berdua."Mendengar itu Hilma menatap protes, Zafar tertawa kemudian kembali meringkuk karena dingin. "Astaghfirullah, harus banyak-banyak istighfar, Hilma," gumam gadis itu. Kemudian kembali berbaring. Malam semakin larut, bahkan sebentar lagi waktu subuh, Zafar tak kuat dingin, ia menggigil karena memang di sana tempat di bawah kaki gunung, udara jadi sangat dingin jika subuh. Pria itu menggigil semakin parah, kemudian ia memegang tangan Hilma yang hangat, tanpa sadar dia bergeser, menenggelamkan wajah di antara leher dan pundak istrinya itu. Sedangkan Hilma tak sadar saking pulang karena merasa capek seharian men
"Kenapa dibuang?" tanya Hilma, yang melihat aksi suaminya itu. "Pokonya selama seminggu ke depan kamu jangan keluar rumah dulu." Setelahnya Zafar mengambil kunci motor dan pergi. Hilma yang melihat itu bingung, kenapa dengan suaminya itu. Setelah semua beres, gadis itu duduk di dekat jendela, menikmati embusan angin pagi yang terasa segar, dengan matahari yang masih sebunyi-sebunyi di atas sana. Tak lama Pak Hasan pulang membawa jaring di tangannya yang berisi ikan kecil-kecil. Melihat itu Hilma sangat antusias karena ikan itu adalah ikan yang sudah tiga minggu lalu ia inginkan. "Neng, buka pintu belakang, nya. Dan ini tolong dibawa."Gadis itu mengambil sambil tersenyum girang, ia berucap terima kasih dengan nada yang manja. Kemudian bergegas membukakan pintu belakang agar sang Bapak bisa masuk untuk mencuci kaki yang kotor. Hilma juga mengambil nasi dan lauk yang tadi ia bereskan. Kemudian mengambil ulekan batu untuk membuat sambal dadak kesukaan Pak Hasan. Sang Bapak keluar da
Pagi sekitar pukul sembilan, Hilma merapikan baju karena diingatkan oleh Zafar agar segera beres-beres. Ia juga membereskan baju sang Bapak. Sedangkan Zafar duduk di depan teras rumahnya sambil bermain ponsel. Pria itu saling kabar dengan seseorang yang kemarin ia temui. Sedang pokus pada ponsel, suara motor terdengar memasuki perkarangan rumah, membuat Zafar menatap siapa yang datang. "Dia lagi," gumam Zafar, saat melihat Ajat yang datang, pria itu berdiri menyebutnya. "Assalamu'alaikum, Kang!" ucap Ajat. "Waalaikumsalam," jawab Zafar datar. "Bapaknya ada? Ini ada undangan pengajian di rumah Teh Rina, tolong disampaikan ya, Kang.""Oh, iya." Zafar mengangguk, matanya pokus pada Ajat yang seperti sedang mencari sesuatu di dalam rumah. "Ya udah, kalau gitu saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Hmmm." Hanya itu yang Zafar berikan. Entah kenapa dia curiga pada lelaki itu, apa memang dia mata-mata Sinta? ***Sore menyapa, keduanya tengah duduk di samping rumah. Menikmati embusan angi