Malam masih mencekam, Lolongan kesakitan yang keluar dari mulut Nur yang begitu menyayat membuat suasana semakin seram. Lengkingan jerit yang keluar dari mulut Nur membuat merinding semua orang yang mendengar tak terkecuali Zul dan Rania. Meski rumah mereka berjarak sekitar seratus meter dari rumah Nur, namun lolongan tersebut masih terdengar dengan begitu jelas. “Bang, aku takut.” Zul mengetatkan pelukannya pada Rania meski sebenarnya dia sendiripun bergidik ngeri setiap kali mendengar suara lolongan kesakitan Nur. Zul tetap berusaha menenangkan Rania yang begitu gelisah dengan mendekapnya. “Baca ayat kursi atau ayat – ayat pendek lain, Dek. Biar hati tenang.” Saran Zul sembari membelai rambut legam Rania. Berkali – kali kalimat tahmid dia lafazkan, karena telah terhindar dari sihir Nur. Zul yakin, Nur tak akan berhenti sampai di sini. Akan ada serangan lain ke depannya yang mungkin lebih beringas lagi. “Pagari diri dengan doa dan murajaah
Pukul satu siang Pak RT diantar oleh Adit datang menemui Zul. “Gimana keadaan Nur, Pak? Apa kata dokter?” Tanya Zul berbasa basi. “Udah diperiksa semua, kata dokter gak ada sakit apa – apa Zul. Tapi kemungkinan alergi kata dokter yang memeriksanya tadi.” Terang Pak RT “Oh, Jadi dirawat atau dibawa pulang ke rumah.” Zul bertanya sembari netranya menyapu keadaan rumah Nur dari jauh. “Dibawa ke pesantren akhirnya. Paman Nur memaksa. Katanya mau di rukiyah di sana.” Terang Pak RT lagi. “Baguslah kalau begitu, Pak. Masuk dulu pak. Rania baru saja selesai masak. Kita makan siang bareng.” Zul mengajak Pak RT dan Adit masuk. Meski merasa sungkan, akhirnya Pak RT dan Adit akhirnya menuruti undangan Zul. Rania yang tak menyangka akan kedatangan tamu akhirnya kalang kabut. Untung saja Rania masak untuk sekalian makan malam. Hingga lauk yang dimasak Rania yang sejatinya untuk makan malam juga habis tak bersisa.
Suara decit Ban memekakan telinga, menghentak tubuh Rania yang terbelit oleh Safety Belt ke depan hingga kepalanya hampir terantuk ke dasboard mobil. Sementara suaminya, Zul, Tergugu di balik kemudi dengan wajah pucat pasi. Hampir saja. Hampir saja Zul menabrak ibu – ibu yang tengah hamil besar yang berjalan tertatih – tatih dan tanpa melihat ke kiri dan ke kanan jalan lg dia langsung menyeberang hingga nyaris di tabrak oleh Zul. Beruntung Zul masih sempat menginjak pedal rem hingga kecelakaan itu dapat di hindari. Rania bergegas membuka pintu dan menghambur keluar menghampiri ibu hamil yang kini tengah terduduk lemas dengan wajah pucat pasi di pinggir jalan. “Kalo Jalan jangan ngebut – ngebut wooyyy!!” Bentak salah seorang pejalan kaki sembari memukul kap mobil depan Zul dengan wajah beringas. Zul hanya mengangguk dan melemparkan senyum canggung. Dia segera membuka pintu mobil dan menyusul istrinya. Itu semua bukan sepenuhnya salahnya, Ja
“Tak bisakah adek pertimbangkan dulu. Bersabarlah dulu, Sayang.” Zul mengiba didepan wanita cantik yang dua tahun lalu dihalalkannya. Wanita itu tertunduk, sesekali bulu mata lentik itu mengerjap, membuat butiran air jernih keluar mengalir membasahi pipinya yang mulus dan putih. Zul sungguh tak tahan melihat istrinya menangis. Terlebih dia menangis karena Zul. Diusapnya lembut buliran bening yang mengalir dengan penuh sayang. Nur menepis lengan Zul yang terjulur dengan kesal. “Sampai kapan adek harus bersabar. Abang tanya sama semua wanita yang ada di muka bumi. Adek rasa tak ada satupun yang akan sanggup tinggal di hutan seperti ini dan hidup ala kadarnya”. Ujarnya disela isak tangis. Wanita yang begitu aku cintai saat ini memohon kepadaku untuk menceraikannya, dan aku? bagaimana mungkin aku sanggup mengabulkan permohonan cerainya. Hatiku sudah sepenuhnya kuberikan padanya. Sungguh Aku bukan seorang pemalas. Aku bahkan telah berusaha bekerja keras untuk memberikan nafkah untuknya
Aku melangkah keluar berusaha untuk terlihat tegar. Namun tak urung Tanganku gemetar saat Aku menyalakan motor dan mulai menjalankannya perlahan membelah jalan aspal yang hitam. Dadaku terasa penuh dan sesak seperti terhimpit sekat yang semakin merapat. Jika bisa Aku begitu ingin berteriak sekadar untuk melegakan jalur nafas yang mulai terasa amat berat. Merasa tak sanggup lagi untuk pulang, lebih tepatnya aku tak ingin rasa ini ikut terbawa pulang segera ku belokkan stang kemudi motor ke masjid dekat rumahku. Setelah memarkirkan motorku tepat di depan pintu masjid, gegas aku menuju tempat wudhu untuk berwudhu dan menenangkan hati dan fikiran yang sudah teramat sangat kalut. Aku tersungkur dihadapan Rabbku. Saat aku bersujud lingkaran kristal bening yang sedari tadi menggantung di mataku akhirnya tertumpah tanpa mampu ku bendung. Pedih dan perih bercampur baur menjadi ribuan rasa yang menyesakkan. Aku mengadu dan merintih kepada Sang Pembolak balik Hati. Ya Rabb yang maha mencinta
Acara Takziah sudah hampir usai, tradisi di kota ini biasanya tuan rumah menyediakan tempat untuk santap malam bersama. Nasi dan lauk pauknya biasanya diberi oleh jiran tetangga kemudian dinikmati bersama. Pak Darkum mengajakku bersalaman dengan tuan rumah sebelum bersantap. Aku mengekor Pak Darkum karena tak tahu yang mana yang tuan rumah. “Adjie, kapan kamu pulangnya nak? Mohon maaf tadi siang Pakde tak sempat ikut penguburan almarhum karena Pakde masih di perjalanan.” Pak Darkum menjulurkan tangan mengajak pemuda berkoko biru muda itu bersalaman.“Gak apa – apa Pakde, Doakan saja semoga Allah menerima amal ibadah ayah semasa hidupnya.” Adjie membungkuk saat menyambut tangan Pak Darkum dan menciumnya dengan takzim. “Oh iya, ini Zul, jamaah pengajian kita yang baru. Kenalin dulu,” Pak Darkum memperkenalkanku ke Adjie. Aku tersenyum dan mengulurkan tangan, “Assalamualikum.”“Waalaikumsalam, terima kasih sudah bersedia datang ke sini dan mendoakan almarhum ayah saya.” Adjie menyamb
Sebuah mobil SUV perlahan berhenti di depan rumahku saat aku baru saja kembali dari melihat keadaan kebun sawitku. Sesosok kepala berhijab menyembul dari pintu yang terbuka diiringi oleh senyum manis seorang wanita cantik dan ramah, Ririn. Dia datang bersama Adjie dan seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan jilbab lebar seperti Ririn. Adjie menyalamiku sementara Ririn dan perempuan paruh baya yang dipanggil Bu Nah oleh Ririn menangkupkan jemarinya kepadaku dan kubalas dengan gaya yang sama. “Assalamualaikum, Bang.” Adji menyalami dan memelukku. “Waalaikumsalam warrahmatullah. Waduh.. tamu jauh ini yah. Ayo, Mari masuk. Tapi maaf lho kondisi rumahnya agak berantakan.” Aku mempersilahkan mereka masuk. Mereka mengikutiku masuk dan duduk di ruang tamu yang tak seberapa luas. Aku menyalakan lampu agar ruangan menjadi terang. “Ada angin apa rupanya yah. Ayoo, diminum dulu. Adanya Cuma air putih” aku menyajikan air mineral dingin yang ku ambil dari kulkas. “Begini Bang. Kedatan
Kedua kakiku sudah teramat sangat pegal menunggu Bang Zul lewat di depan rumahku. Begitu juga dengan Leherku karena celingukan dari tadi mengawasi ujung jalan untuk melihat Bang Zul lewat tetapi yang ditunggu tak kunjung juga muncul batang hidungnya. Bagaimana mungkin dia berubah menjadi begitu ganteng sekarang, sama seperti dulu waktu pertama kali aku mengenalnya. Hatiku pun kembali berdesir saat menghirup aroma maskulin yang menguar dari tubuh atletis miliknya saat kami berdekatan di pesta pernikahan Ririn tadi. Mataku terpaku pada garis wajahnya yang sangat tampan sekarang, begitu bersih dan meneduhkan. Ah, menyesal aku dulu meminta cerai darinya. Apalagi sekarang dia sudah terlihat sangat mapan. Dulu aku menggugat cerai darinya karena dia sudah tak punya apa – apa. Apa yang bisa ku harapkan dari seorang tukang ojek yang menyambi kerja sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dulu bahkan tak cukup untuk membiayai skincare dan beraneka ragam produk kecantikanku. Bapak dan Emak ku pun m