Dan benar saja, baru beberapa saat saja Diandra pergi menemui tunangan Ceo-nya itu, Rudi sudah uring-uringan memanggilnya.“Diandra. Di mana minumanku?” tanya Rudi dengan nada dingin, “Terus, kamu pergi ke mana lima belas menit yang lalu?” sambungnya bertanya.“Saya ke kamar mandi, Bos.” jawab Diandra yang jelas berbohong. Ia terlihat berbalik dengan setengah berlari saat Rudi tidak memberikan tanggapan lagi.Beberapa saat kemudian, Diandra kembali dengan membawa secangkir kopi ke ruangan Rudi.“Bos, ini kopinya.” ucap Diandra setelah meletakkan sisi lain meja kerja Rudi.“Siapa yang mau minum kopi pagi-pagi gini?” tanya Rudi yang terlihat menaikkan sebelah alisnya.“Bukannya biasanya Bos suka minum kopi pagi?” tanya Diandra heran dan segera mengeluarkan catatan kecil di sakunya.Melihat keluguan Diandra yang tidak lucu sama sekali dengan pakaian dan penampilan prianya, membuat Rudi tersenyum licik.“Ambilkan teh aja.” tanpa me
Sepulang kantor, Hanum datang ke rumah Dian untuk ikut merayakan diterimanya sepupunya itu di Star Snack. Dian bererima kasih karena atas petunjuk Hanum, dia berani mengajukan diri ke perusahaan tersebut.Setelah suasana makan malam yang ceria, Diandra dan Hanum berbincang di halaman belakang rumah sembari menikmati angin malam yang segar.“Yan, aku bilang sesuatu deh,” ucap Hanum. Tanpa menunggu tanggapan Dian, ia melanjutkan kalimatnya, “Kok aku ngerasa Ilham mirip sama satu orang…”“Hmm, siapa? Jangan bilang mirip Pak Rudi loh,” celetuk Diandra dengan sikap tenang.Seketika Hanum terperangah mendengar ucapannya, “Kok bisa kamu ngomong gitu, Yan? Beneran Pak Rudi ya papanya Ilham?” tanyanya penasara.Mata Dian melirik, “Ya bukan lah. Iya kali, Ilham anaknya dia,” jawabnya setengah menggerutu, “Tapi, siapapun papany aIlham, aku nggak pernah mau nyari tau, Num. Aku nggak mau i
“Penilaian yang hampir tepat. Tapi saya suka sama cara penyampaian dan penilaian kamu tentang semuanya. Kamu juga berani banget ungkapin masalah yang cukup pribadi di antara kami, walau berita jelek soal tunangan saya udah menjadi rahasia umum, ya.”“Tapi kamu sama sekali belum menjawab pertanyaan saya tadi. Apa saya bisa percaya kamu buat nggak goda tunangan saya nantinya? Apa kamu yakin nggak bakal khianati kepercayaan saya nanti?” Rissa menegaskan pikirannya.Diandra terlihat menghela napas kasar sebelum bicara.“Saya kehilangan rasa buat jatuh cinta ke laki-laki, Mbak.” jawab Diandra yang sontak membuat Rissa mundur selangkah sembari menyilangkan kedua tangannya di dada.Rissa langsung memandang Diandra dengan tatapan mengerikan, “Ka-kamu Les—”“Eh, bukan. Bukan gitu maksud saya. Saya bukan Lesbong, Mbak. Saya perempuan normal. Tapi memang saya nggak mau jatuh cinta lagi ataupun menjalin hubungan sama laki-lak
Diandra baru saja tiba di lobby kantor PT Start Snack. Kebetulan sekali, mata Diandra langsung menangkap sosok Hanum—sepupunya—yang mengawali pengajuan lamaran kerja ke kantor itu.—yang juga baru tiba dan turun dari mobilnya.“Selamat pagi, Mbak Hanum.” sapa Diandra yang sudah berada di belakang Hanum.Hanum berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya. Alisnya terangkat sebelah karena bingung dan heran.‘Cowok? Siapa, sih? Nggak kenal deh...’‘Oh, nggak! Dandanannya aja yang kayak cowok. Tapi, kayaknya aslinya cewek? Eh, gimana sih?’ batin Hanum bingung.“Maaf, kamu siapa, ya? Apa saya kenal?” tanya Hanum sopan.Diandra yang ditanyai seperti itu malah bingung dan langsung memperhatikan penampilannya sendiri. Tapi setelah itu Diandra terkekeh.“Apa kamu nggak ngenalin aku, Num? Beneran udah ok ya, penampilan aku, sampai kamu pangling gitu
Rudi sendirian di kantor setelah Clarissa pergi. Dia termenung, melirik cincin tunangannya sendiri, tapi wajah yang muncul di pikirannya malah… sosok wanita yang wajahnya samar dari masa lalu yang belum hilang dari ingatannya.Malam itu, di balkon kamarnya, Rudi duduk sendirian sambil menatap puntung rokok yang tinggal separuh disesapnya. Dari tempatnya duduk, semilir angin dan suara jangkrik entah mengapa lebih membuat tenang hatinya, daripada suara manja Rissa, tunangannya.Ia teringat kabar dari perusahaan—besok akan ada calon sekretaris baru yang akan diwawancara. Entah kenapa, kabar itu membuat pikirannya melayang jauh.Rudi termenung, kepalanya dipenuhi satu bayangan yang selalu datang saat ia sedang sendiri. Malam panas di Bali, di sebuah village tempat ia menginap.Saat itu ia baru saja pulang dari pesta kecil temannya yang menikah. Badannya masih hangat oleh minuman, tapi kesadarannya penuh. Lalu… terdengar ketukan panik di pintu.
Malam itu rumah terasa begitu tenang. Pesta pernikahan Darren dan Tina masih terbayang dalam ingatan, dengan tawa, musik, dan lampu gemerlapnya.Namun kini, hanya ada suara jangkrik dari luar jendela dan napas kecil Akbar yang sudah lelap di kamarnya.Ali bersandar di sisi ranjang, memandang Dahlia yang sibuk melepas perhiasannya satu per satu. Ada kilau lembut di mata pria itu, seolah setiap gerakan istrinya adalah sesuatu yang ingin ia abadikan.“Lelah, Sayang?” tanya Dahlia sambil tersenyum tipis, tanpa menoleh.Ali mendekat, tangannya menyentuh perlahan bahu istrinya dari belakang, “Sedikit. Tapi lebih lelah lagi kalau harus nahan diri buat nggak nyentuh kamu.”Dahlia terkekeh pelan, wajahnya sedikit memerah, “Mas ini, ada-ada aja…”Ali berputar, berdiri tepat di depannya, lalu meraih kedua tangannya, “Tadi semua orang kagum sama Tina yang jadi ratu sehari. Tapi tahu nggak, Yang? Bagiku, dari dulu sampai sekarang, pengantin tercantik itu ya kamu.”“Kamu yang aku menangkan dulu, da