Ali menjalankan tanggung jawabnya untuk mengantarkan ibu-ibu yang tidak sengaja menjadi korbannya. Setelah membayar administrasi ke kasir, Ali kembali ke ruang pendaftaran untuk menyerahkan bukti pembayaran agar pasien segera mendapatkan penanganan lanjutan seperti rawat inap.
“Mbak, ini…”
“Mbak, bisa bantu saya carikan Ibu Juli… Juliana Ginting. Tolong dibantu ya, Mbak?” tanya seorang wanita yang tiba-tiba mendahului Ali, “Paman saya terima telepon dari rumah sakit ini katanya,”
“Mbak ini siapanya Ibu Juliana?”
Mentari siang menyusup dari sela tirai kamar, menyinari dinding putih gading dan perabot mewah yang rapi. Bau sabun dan aroma tubuh Ali masih menggantung di udara, bercampur dengan harum lotion yang baru saja dipakai Dahlia.Kamar itu tidak lagi asing. Hanya dalam waktu semalam, ruang itu telah menjadi saksi bagaimana dua orang saling belajar memahami.Dahlia duduk di tepi ranjang, mengenakan blouse putih lembut dan celana kulot pastel. Di meja rias, ada pouch makeup kecil yang belum ditutup. Dahlia sedang bersiap bukan untuk bekerja, tapi untuk mengantar Om Endang dan Tante Juli kembali ke Sumatera Utara. Jadwal pesawat mereka sore ini, dan Dahlia ingin memastikan semuanya berjalan lancar.Dari kamar mandi, terdengar suara air yang mengalir. Tak lama kemudian, suara Ali memanggil dari balik pintu.“Sayang… handukku ketinggalan. Bisa tolong ambilin?”Dahlia tersenyum kecil, “Kalau nggak ada aku, bia
Pagi itu, aroma teh manis dan gorengan dari dapur mulai menyebar ke seluruh penjuru rumah. Rumah masih ramai, tamu dari luar kota belum pulang, dan suasana masih penuh cerita tentang pesta semalam. Para Bapak duduk sambil menyeruput kopi dan camilan di kolam belakang bersama Akung. Dan beberapa perempuan keluarga Ali—saudara jauh dari pihak nenek—berkumpul di meja makan, masih mengenakan daster batik dan mukena yang belum dilepas sejak shalat subuh. Obrolan mereka ringan, kadang diiringi tawa cekikikan pelan. Tapi arah obrolan mulai berubah saat melihat Dahlia. Dahlia keluar dari kamar pelan-pelan, mengenakan baju santai berwarna pastel. Rambutnya masih basah, digerai seadanya, dengan mata yang tampak lelah. Wajahnya sedikit pucat, bukan karena malu, bukan juga karena ‘efek malam pertama’ seperti yang banyak dibicarakan. Ia hanya belum tidur nyenyak, pikirannya semalam terus berputa
Udara malam terasa dingin saat mereka memasuki kamar untuk pertama kalinya sebagai suami istri. Dahlia menunduk, menatap ujung jarinya sendiri, sementara Ali menutup pintu dan menggantung jasnya dengan santai."Capek banget ya hari ini," kata Ali sambil melemaskan lehernya, "Tapi lega juga akhirnya... kamu resmi jadi istriku."Dahlia mengangguk kecil, duduk di tepi ranjang, diam. Tangannya meremas-remas kebaya yang belum sempat ia ganti.Ali memperhatikannya dari kejauhan, dengan dahi mengerut samar. Ada yang aneh. Dahlia tampak... gugup. Bahkan sejak mereka masuk kamar, Ali menyadari langkahnya kaku, matanya gelisah, dan wajahnya merah padam.Ali tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana, "Kenapa? Kamu kok kelihatan tegang banget. Padahal..." Ia berhenti sejenak, lalu duduk di sisi ranjang, "Kamu kan bukan baru pertama kali ngalamin malam kayak gini, kan?"Dahlia menoleh cepat, tapi langsung menunduk lagi. Tida
Tepuk tangan pelan menyusul. Suasana syahdu. Mata Dahlia sudah tidak bisa lagi menahan haru yang luar biasa. Ia menyandarkan kepalanya yang tertunduk di bahu Ali.“Terima kasih, Akung…” sebutnya dengan lirih dan haru. Ia benar-benar bahagia saat ini.Tidak lama setelah Akung turun dari panggung mini, MC kali ini memanggil sang pengantin pria untuk menyampaikan satu dua patah kata untuk mengekspresikan apa yang ia rasakan saat ini.Tapi Ali tidak berpindah tempat. Ia masih berdiri di samping pengantinnya tanpa melepaskan genggaman tangannya. MC datang dan menyerahkan mic untuk Ali bicara.“Terima kasih, semuanya karena sudah datang untuk mendoakan dan bersedia merayakan kebahagiaan kami.”Ia menoleh sebentar pada Dahlia.“Pernikahan kami mungkin tidak megah. Tapi izinkan saya berdiri di sini untuk membuktikan satu hal, bahw
Kantor Urusan Agama (KUA) setempat, pagi hari.Langit pagi itu cerah, tapi tidak terlalu terik. Angin lembut menyapu halaman kecil KUA yang sudah dirapikan oleh petugas. Tidak ada dekorasi berlebihan, hanya beberapa bunga segar di meja akad, dipilih langsung oleh Ali, sesuai permintaan Dahlia yang ingin pernikahan mereka low-key dan penuh kesederhanaan.Beberapa kursi disusun rapi di ruangan kecil KUA. Hanya keluarga inti yang hadir—Pak Endang dan Bu Juli dari pihak Dahlia. Dan dari pihak Ali, ada Akung dan juga Rudi sebagai salah satu saksi nikah.Tidak ada gaun pengantin berkilauan, tidak ada pelaminan, tidak ada kamera besar, tapi justru disitu letak keindahannya.
Setelah malam yang canggung di restoran, Ali tidak bisa memejamkan mata. Senyum Dahlia yang biasanya hangat kini hanya sekilas, dan matanya… terlalu sering melamun. Fitnah itu sangat mengganggunya.Pagi itu, tanpa memberi tahu siapa pun, Ali masuk lebih awal ke kantor. Bukan untuk bekerja, tapi untuk menyelidiki.Ia meminta tim IT menarik kembali rekaman CCTV kantor selama beberapa minggu terakhir. Satu per satu rekaman ruang pantry, lorong belakang, bahkan area parkir ditelaahnya. Ia juga menghubungi bagian HRD secara pribadi, meminta mereka mencatat siapa saja yang sering menggosip, terutama soal Dahlia.Ali bekerja seperti detektif. Diam, tajam, dan rapi.Butuh waktu setengah hari hingga ia mendapat simpul benang: Bu Bani. Pegawai senior bagian administrasi, yang tampaknya merasa paling tahu masa lalu semua orang. Dari mulutnyalah racun gosip itu menyebar, memutarbalikkan masa lalu Dahlia, menyebarkannya seperti jamur di mus