“Mas, sekarang kita gimana?” Tanya Nila dengan raut wajah tidak tenang. Setelah Dahlia pergi dari rumah, Nila seperti bebas tinggal di sana karena persetujuan Bu Bani, dan Juan terlihat acuh.
Juan yang belum lepas lelahnya setelah pulang bekerja, terlihat menghela napas berat mendengar pertanyaan selingkuhannya itu, “Apanya yang gimana?”
“Ya soal si Lia lah, apalagi?” Nada Nila terdengar ketus. Itu karena Juan terlihat malas menjawabnya, “Lia udah tau soal kita. Walau dia nggak bilang apapun di rumah sakit tadi, tapi aku tau dia marah sama aku, Mas. Sebelumnya dia nggak pernah cuekin aku,” lanjutnya mengeluh.
Juan terdiam sambil melipat bibirnya ke dalam. Pikirannya jauh mengingat setiap kalimat yang Dahlia ucapkan kemarin. Helaan napas berat kembali terdengar darinya sebelum bicara, “Dia minta cerai.”
“Hah? Suer kamu, Mas?” Mata Nila spontan membulat kaget. Ekspresinya berubah lebih semangat, “Terus, kapan mau cerainya? Habis itu kita nikah, kan?” tanyanya lebih antusias.
“Dia ngotot mau ngurus sidang cerai, tapi… aku nggak bisa, Nila. Rasanya berat mau ceraikan Lia. Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian,” Juan tertunduk tanpa tenaga, tapi suara Bu Bani seketika membuat kepalanya terangkat lagi.
“Minta cerai?” tanya Bu Bani yang saat ini berdiri di depan pintu kamar anaknya, “ceraikan aja lah. Bagus malah!” sambungnya menambahkan provokasi.
“Kamu dengar, Mas? Tante setuju kamu ceraikan Lia. Tante juga udah setujui hubungan kita dari dulu dan sekarang memang waktu yang tepat buat kamu bersihkan namaku sebagai istri, bukan selingkuhan kamu aja. Aku juga mau bangga kalau aku ini milik kamu!” Desak Nila lagi.
Kali ini ia berbalik ke arah Bu Bani dan duduk di sebelah pendukungnya itu, “Bu, tolong jelasin ke Mas Juan. Katanya dia nggak mau ceraikan Dahlia,” rengeknya.
“Nila dan Ibu harus paham kondisinya. Aku nggak mungkin jadi manusia nggak punya hati setelah apa yang Lia kasih ke aku, Ibu, dan kamu, Nila. Dia yang paling kasihan dalam hubungan kita. Tanpa aku dan kita, dia sendirian, nggak punya siapa-siapa lagi. Kalian kan ngerti itu.” Juan mencoba memberikan pandangan.
“Ya, Ibu udah tau kalau Lia yang kasih ginjalnya ke Ibu. Tapi, so what? Kalau dulu ibu tau dia yang donor ginjal, udah pasti Ibu tolaklah!” Bu Bani menjawab begitu arogan.
“Kalau gitu, memangnya Ibu bisa balikin ginjal Lia lagi?” Sontak Juan membalikkan fakta.
“Ogah! Ibu nggak ngerasa pernah ngemis ke dia, tau!” Sahut Bu Bani tidak suka. Ia pun menoleh ke Nila yang sudah kehabisan kata membujuk Juan, “Si Gembrot udah tau kalau kalian selingkuh, jadi mau apalagi? Buang aja tuh si Gembrot mandul. Nggak ada gunanya, cuma jadi sampah!”
“Satu lagi. Kalau kalian cerai, tuntut harta gono-gini juga, Juan. Mobil minta ganti dan rumah ini harus jadi milik kamu. Ibu nggak mau balik ke kampung lagi,” desaknya, “Enak aja dia mau jadi janda kaya, sementara kamu yang kerja setengah mampus sampai Papua sana!”
“Dia juga kerja, Bu. Ibu jangan lupa kalau Lia itu bos aku. Gajinya lebih besar menopang kebutuhan keluarga kita. Aku cuma kasih satu setengah juta tiap bulan ke Lia, selebihnya untuk keperluanku di Papua dan sisanya ke Ibu. Syukurnya dia nggak pernah marah dan protes. Lia itu baik banget ke kita, dia tulus, Bu,” Juan hampir kehilangan ketenangannya menghadapi sang ibu yang keras.
“Baik aja nggak cukup, kalau dia mandul buat apa kita pelihara terus?” celetuk Bu Bani yang terus menyuarakan kebencian pada Dahlia.
“Bu!” Bentak Juan singkat, “Satu ginjalnya di Ibu, itu aja masa nggak ngerti, sih!” sambungnya kembali mengingatkan.
“Mas, jangan kasar gitu ke Tante. Tante Bani ibu kamu, ingat,” Nila ikut bicara seraya membenarkan ego Bu Bani.
“Terserah! Masa bodo sama dia. Mau dia sebaik apapun, Ibu tetap nggak suka,” Bu Bani tetap menolak. Wanita itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, “ceraikan dia, Juan. Terus tuntut harta bersama selama kalian nikah. Mobil sama rumah ini jangan sampai lepas, itu hak Ibu!” ujarnya lalu keluar dari kamar putranya.
Juan mulai frustasi. Meskipun tidak mencintai Dahlia, tapi Juan masih tahu diri untuk balas budi.
***
Udara pagi masih terasa dingin di area gedung rumah sakit, tapi langkah setengah berlari Ali membuat tubuhnya berpeluh. Harusnya masih besok ia sampai di Bandung, tapi setelah berbincang dengan Rudi via telepon, Ali langsung memesan tiket pulang ke Indonesia.
‘Kaki Akung cedera ringan waktu jatuh kecopetan kemarin. Tapi syukurnya pencopetnya ketangkap dan Mbak Dahlia yang bantu ringkus pencopetnya.’
‘Kemarin saya dapat cerita dari Mbak Dahlia sendiri soal Akung yang nekat naik di pagar pembatas taman rooftop rumah sakit. Kebetulan Mbak Dahlia memang dirawat di sana karena kecelakaan. Dan, untuk kedua kalinya Akung diselamatkan Mbak Dahlia.’
‘Saya nggak paham apa yang dirasain Akung, tapi sepertinya Akung memang mengharap Den Ali menikah. Dan entah memang takdir Tuhan atau gimana, Mbak Dahlia yang jadi incaran Akung buat jadi cucu menantunya, Den.’
‘Tolong pikirkan lagi buat kenalan sama Mbak Dahlia. Orangnya baik dan sopan. Nggak ada salahnya nyoba dan mulai turutin Akung, Den…’
Ucapan Rudi padanya terus terngiang di benak Ali. Kondisi pikiran sang Kakek yang sudah tua menuntutnya untuk bersiaga lebih cepat. Ia tidak mau menyesal jika suatu hari ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada kakeknya. Walaupun belum siap menikah, tapi setidaknya ia harus ‘Deep Talk’ dulu dengan Akung.
Ali sampai, ia segera memegang handle pintu ruangan rawat tersebut lalu membukanya dengan cepat, “Akung, I’m here…”
“Argh!” teriakan panjang wanita di hadapannya sontak membuat Ali berbalik badan lalu menutup pintu cepat-cepat. Wanita mana lagi kalau bukan Dahlia.
“Oh my God! Very big hot–, ops!” Ali spontan melipat bibirnya ke dalam setelah hampir keceplosan memuji pemandangan bukit kembar indah pagi hari di depannya.
“Le, kamu udah balik. Ngapain di situ?” panggilan dari suara yang familiar seketika membuat Ali menoleh. Dia melihat Akung berdiri di depan pintu ruangan sebelah.
“Akung? Kok di situ?” tanya Ali bingung.
“Ini kamar Akung. Lah kamu ngopo di situ?” Akung membalikkan pertanyaan. Sedetik kemudian, senyum Akung terukir usil melihat wajah memerah cucunya, “Hayo, udah nggak sabar ketemu calon istri, ya?”
Suasana hangat menyelimuti acara pernikahan Rudi dan Dian. Tawa dan doa mengalun, menandai awal baru bagi mereka berdua, juga hadirnya Ilham yang kini resmi menjadi bagian dari keluarga besar Hasan. Anak kecil itu berlari-lari kecil di antara meja tamu, kadang tertawa, kadang sembunyi malu di balik gaun pengantin ibunya.Dahlia duduk di samping Ali, mengenakan kebaya sederhana namun anggun. Tangannya erat menggenggam milik suaminya, seolah masih tak percaya bahwa lelaki itu kini ada di sisinya, tersenyum, hidup, setelah dulu sempat ia hampir kehilangan. Kenangan pahit pun berkelebat—masa lalunya sebagai janda Juanda Putra yang hancur karena perselingkuhan, perjalanan penuh luka bersama Ali yang sempat ditentang banyak pihak, meninggalnya Akung, Status Rudi, munculnya Shafira dengan kehamilan, hingga malam kelam saat kecelakaan merenggut kesadaran Ali selama tiga bulan.Namun semua itu kini terasa jauh. Semua luka seakan luluh oleh hadirnya Akbar, buah hati mereka, yang kini tertawa
Rudi berdiri di hadapan Dian dan Dilan dengan napas masih memburu setelah pertengkaran barusan. Jemarinya mengepal, namun matanya justru bergetar, penuh pergulatan batin. Ia menatap Dian yang wajahnya masih pucat, lalu beralih ke Dilan yang sudah menahan diri untuk tidak melontarkan kata-kata lagi. Suasana hening, hanya bunyi napas yang terdengar. “Aku…” suara Rudi parau, serak menahan beban yang menyesakkan dada, “Aku juga baru tahu semuanya, baru sekarang, setelah tes DNA keluar.” Dian mengangkat wajahnya dengan pandangan tak percaya, seakan tak mampu menangkap maksud kata-kata itu. Sementara Dilan hanya terdiam, menunggu penjelasan. Rudi menelan ludah, suaranya bergetar namun tegas, “Awalnya… semua ini berangkat dari kecurigaan Mbak Dahlia,” “Dia lihat terlalu banyak kemiripan, bukan cuma wajah, tapi juga emosional Ilham dan Akbar. Semakin lama, semakin jelas.” Rudi memejamkan mata sejenak, menahan sakit di kepalanya, “Aku bahkan sempat menyangkal. Kupikir itu cuma sugesti
Ponsel Rudi bergetar di atas meja kerja hotelnya. Ia baru saja selesai membereskan berkas meeting ketika nama temannya, pemilik laboratorium, muncul di layar. “Aku tinggal sebentar.” Pamitnya pada Dian dan Dilan. Rudi meninggalkan kamar dan mencari tempat yang hening untuk mendengarkan kabar yang dia tunggu sejak dua hari lalu. Dengan cepat ia angkat, menempelkan ke telinga. ‘Rud, hasil tes DNA yang kamu titipkan itu… sebenarnya Ilham itu—’ Kalimat di seberang sana terputus. Rudi menahan napas, keningnya berkerut, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia memejamkan mata sepersekian detik, lalu suara sambungan telepon tiba-tiba terdengar terputus. Sinyal hilang. Rudi mendecak pelan, perasaan tidak tenang membayangi benaknya. Ia menatap layar ponsel yang kembali hening, belum berani menyimpulkan apapun. Sementara itu, di depan kamar Rudi, ada sebuah joglo kecil dengan lampu temaram dan kursi kayu. Malam Bali yang hangat hanya ditemani suara ombak jauh di kejauhan. Dila
Rudi mengerjap, kembali ke kenyataan. Dadanya naik turun tak teratur. Pandangan matanya bergetar, seakan ia baru saja diseret kembali ke neraka masa lalu. “Jangan-jangan…” gumamnya, tenggorokannya tercekat. Ia tak berani melanjutkan. Rudi terdiam lama. Ingatan tentang malam penuh dosa di Golden Lotus Bay terus berkelebat di kepalanya. Nafasnya berat, wajahnya pucat. Dan entah kenapa, setiap ia menatap Ilham, ada sesuatu yang menusuk—rasa yang tak bisa ia tolak. ‘Jangan-jangan… dia…’ pikirannya mendadak kacau. Sebelum sempat ia larut lebih jauh, suara lirih Dahlia memecah lamunan, “Rudi… Mbak takut dosa, tapi Mbak harus bilang.” Rudi menoleh cepat. Dahlia menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya sendiri, wajahnya diliputi rasa bersalah. “Mbak… nggak tahu kenapa, tapi Mbak kepikiran kalau Ilham itu anak Mas Ali.” Deg… Kata-kata itu membuat jantung Rudi makin berdegup tak karuan. Dahlia menarik napas berat, matanya berkaca-kaca. “Mbak tahu ini salah. Aku istri dia, seh
Malam itu… adalah malam paling kelam dalam hidup Dian. Dia sama sekali tidak sadar apa yang dilakukannya. Semua anggota tubuhnya seperti tidak lagi dikendalikan oleh pikirannya.Samar-samar, dia masih bisa ingat… kalau dia sendiri yang memulai permainan terlarang itu.Dian yang menarik lelaki itu ke dalam lingkaran dosa yang akhirnya menjeratnya sampai sekarang.Dan paginya… waktu Dian membuka mata, dia langsung tersentak. Seluruh tubuhnya bergetar begitu sadar dia hampir tak mengenakan apa-apa, hanya berbalut satu selimut tipis… bersama pria itu. Baju-baju mereka berserakan di lantai, jadi tanpa pikir panjang Dian buru-buru memungutnya satu per satu. Dian tidak berani menoleh lagi ke arah lelaki itu, apalagi membangunkannya. Dia hanya ingin lari. Lari sejauh mungkin dari kamar itu.Sejak saat itu, Dian selalu merasa hidup dalam dosa.‘Aku berdosa, Mbak… aku benar-benar berdosa…’‘Dan dosa itu semakin nyata waktu sebulan kemudian aku sadar ada nyawa kecil tumbuh dalam rahimku.’‘Awa
Di sebuah taman bermain sederhana yang punya area café kecil Akbar dan Ilham akhirnya bertemu. Akbar datang menggandeng tangan Dahlia, sementara Ilham sudah duduk di bangku taman ditemani Dian yang tampil sederhana dengan kemeja longgar dan topi. Begitu mata mereka bertemu, Akbar langsung melangkah cepat. “Eh, kamu Ilham?” tanyanya polos sambil sedikit mengangkat alis. Ilham berdiri, tersenyum tipis, “Iya. Kamu Akbar, kan?” Tanpa basa-basi, dua bocah itu langsung berjabat tangan. Dahlia dan Dian yang menyaksikan dari samping sempat saling melirik, terkejut sekaligus lega melihat anak-anak mereka begitu mudah nyambung. “Jadi kamu juga nolak dibayar uang?” tanya Akbar sambil duduk di sebelah Ilham. “Iya,” jawab Ilham santai, “aku minta uangnya buat Eyang bikin toko bunga aja. Kalau kamu?” “Aku juga gitu, minta Tante Dian supaya balik jadi cewek,” jawab Akbar sambil melirik Dian sebentar. Dian tersipu, menunduk dalam, sementara Dahlia spontan menahan tawa kecil meliha