Share

Pertemuan

Author: Money Angel
last update Last Updated: 2025-06-28 12:34:20

“Mas, sekarang kita gimana?” Tanya Nila dengan raut wajah tidak tenang. Setelah Dahlia pergi dari rumah, Nila seperti bebas tinggal di sana karena persetujuan Bu Bani, dan Juan terlihat acuh.

Juan yang belum lepas lelahnya setelah pulang bekerja, terlihat menghela napas berat mendengar pertanyaan selingkuhannya itu, “Apanya yang gimana?”

“Ya soal si Lia lah, apalagi?” Nada Nila terdengar ketus. Itu karena Juan terlihat malas menjawabnya, “Lia udah tau soal kita. Walau dia nggak bilang apapun di rumah sakit tadi, tapi aku tau dia marah sama aku, Mas. Sebelumnya dia nggak pernah cuekin aku,” lanjutnya mengeluh.

Juan terdiam sambil melipat bibirnya ke dalam. Pikirannya jauh mengingat setiap kalimat yang Dahlia ucapkan kemarin. Helaan napas berat kembali terdengar darinya sebelum bicara, “Dia minta cerai.”

“Hah? Suer kamu, Mas?” Mata Nila spontan membulat kaget. Ekspresinya berubah lebih semangat, “Terus, kapan mau cerainya? Habis itu kita nikah, kan?” tanyanya lebih antusias.

“Dia ngotot mau ngurus sidang cerai, tapi… aku nggak bisa, Nila. Rasanya berat mau ceraikan Lia. Aku nggak bisa ninggalin dia sendirian,” Juan tertunduk tanpa tenaga, tapi suara Bu Bani seketika membuat kepalanya terangkat lagi.

“Minta cerai?” tanya Bu Bani yang saat ini berdiri di depan pintu kamar anaknya, “ceraikan aja lah. Bagus malah!” sambungnya menambahkan provokasi.

“Kamu dengar, Mas? Tante setuju kamu ceraikan Lia. Tante juga udah setujui hubungan kita dari dulu dan sekarang memang waktu yang tepat buat kamu bersihkan namaku sebagai istri, bukan selingkuhan kamu aja. Aku juga mau bangga kalau aku ini milik kamu!” Desak Nila lagi. 

Kali ini ia berbalik ke arah Bu Bani dan duduk di sebelah pendukungnya itu, “Bu, tolong jelasin ke Mas Juan. Katanya dia nggak mau ceraikan Dahlia,” rengeknya.

“Nila dan Ibu harus paham kondisinya. Aku nggak mungkin jadi manusia nggak punya hati setelah apa yang Lia kasih ke aku, Ibu, dan kamu, Nila. Dia yang paling kasihan dalam hubungan kita. Tanpa aku dan kita, dia sendirian, nggak punya siapa-siapa lagi. Kalian kan ngerti itu.” Juan mencoba memberikan pandangan.

“Ya, Ibu udah tau kalau Lia yang kasih ginjalnya ke Ibu. Tapi, so what?  Kalau dulu ibu tau dia yang donor ginjal, udah pasti Ibu tolaklah!” Bu Bani menjawab begitu arogan.

“Kalau gitu, memangnya Ibu bisa balikin ginjal Lia lagi?” Sontak Juan membalikkan fakta.

“Ogah! Ibu nggak ngerasa pernah ngemis ke dia, tau!” Sahut Bu Bani tidak suka. Ia pun menoleh ke Nila yang sudah kehabisan kata membujuk Juan, “Si Gembrot udah tau kalau kalian selingkuh, jadi mau apalagi? Buang aja tuh si Gembrot mandul. Nggak ada gunanya, cuma jadi sampah!”

“Satu lagi. Kalau kalian cerai, tuntut harta gono-gini juga, Juan. Mobil minta ganti dan rumah ini harus jadi milik kamu. Ibu nggak mau balik ke kampung lagi,” desaknya, “Enak aja dia mau jadi janda kaya, sementara kamu yang kerja setengah mampus sampai Papua sana!”

“Dia juga kerja, Bu. Ibu jangan lupa kalau Lia itu bos aku. Gajinya lebih besar menopang kebutuhan keluarga kita. Aku cuma kasih satu setengah juta tiap bulan ke Lia, selebihnya untuk keperluanku di Papua dan sisanya ke Ibu. Syukurnya dia nggak pernah marah dan protes. Lia itu baik banget ke kita, dia tulus, Bu,” Juan hampir kehilangan ketenangannya menghadapi sang ibu yang keras.

“Baik aja nggak cukup, kalau dia mandul buat apa kita pelihara terus?” celetuk Bu Bani yang terus menyuarakan kebencian pada Dahlia.

“Bu!” Bentak Juan singkat, “Satu ginjalnya di Ibu, itu aja masa nggak ngerti, sih!” sambungnya kembali mengingatkan.

“Mas, jangan kasar gitu ke Tante. Tante Bani ibu kamu, ingat,” Nila ikut bicara seraya membenarkan ego Bu Bani.

“Terserah! Masa bodo sama dia. Mau dia sebaik apapun, Ibu tetap nggak suka,” Bu Bani tetap menolak. Wanita itu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah pintu, “ceraikan dia, Juan. Terus tuntut harta bersama selama kalian nikah. Mobil sama rumah ini jangan sampai lepas, itu hak Ibu!” ujarnya lalu keluar dari kamar putranya.

Juan mulai frustasi. Meskipun tidak mencintai Dahlia, tapi Juan masih tahu diri untuk balas budi.

*** 

Udara pagi masih terasa dingin di area gedung rumah sakit, tapi langkah setengah berlari Ali membuat tubuhnya berpeluh. Harusnya masih besok ia sampai di Bandung, tapi setelah berbincang dengan Rudi via telepon, Ali langsung memesan tiket pulang ke Indonesia. 

‘Kaki Akung cedera ringan waktu jatuh kecopetan kemarin. Tapi syukurnya pencopetnya ketangkap dan Mbak Dahlia yang bantu ringkus pencopetnya.’

‘Kemarin saya dapat cerita dari Mbak Dahlia sendiri soal Akung yang nekat naik di pagar pembatas taman rooftop rumah sakit. Kebetulan Mbak Dahlia memang dirawat di sana karena kecelakaan. Dan, untuk kedua kalinya Akung diselamatkan Mbak Dahlia.’

‘Saya nggak paham apa yang dirasain Akung, tapi sepertinya Akung memang mengharap Den Ali menikah. Dan entah memang takdir Tuhan atau gimana, Mbak Dahlia yang jadi incaran Akung buat jadi cucu menantunya, Den.’

‘Tolong pikirkan lagi buat kenalan sama Mbak Dahlia. Orangnya baik dan sopan. Nggak ada salahnya nyoba dan mulai turutin Akung, Den…’

Ucapan Rudi padanya terus terngiang di benak Ali. Kondisi pikiran sang Kakek yang sudah tua menuntutnya untuk bersiaga lebih cepat. Ia tidak mau menyesal jika suatu hari ada hal yang tidak diinginkan terjadi pada kakeknya. Walaupun belum siap menikah, tapi setidaknya ia harus ‘Deep Talk’ dulu dengan Akung.

Ali sampai, ia segera memegang handle pintu ruangan rawat tersebut lalu membukanya dengan cepat, “Akung, I’m here…”

“Argh!” teriakan panjang wanita di hadapannya sontak membuat Ali berbalik badan lalu menutup pintu cepat-cepat. Wanita mana lagi kalau bukan Dahlia.

“Oh my God! Very big hot–, ops!” Ali spontan melipat bibirnya ke dalam setelah hampir keceplosan memuji pemandangan bukit kembar indah pagi hari di depannya.

“Le, kamu udah balik. Ngapain di situ?” panggilan dari suara yang familiar seketika membuat Ali menoleh. Dia melihat Akung berdiri di depan pintu ruangan sebelah.

“Akung? Kok di situ?” tanya Ali bingung.

“Ini kamar Akung. Lah kamu ngopo di situ?” Akung membalikkan pertanyaan. Sedetik kemudian, senyum Akung terukir usil melihat wajah memerah cucunya, “Hayo, udah nggak sabar ketemu calon istri, ya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Dia Adikku

    Langit mendung menggantung di luar jendela, dan angin pelan membuat tirai tipis bergoyang. Suasana rumah besar itu masih dipenuhi aroma bunga duka. Keluarga besar duduk diam. Beberapa saudara sepupu berbisik pelan. Di tengah ruangan, Ali duduk dengan punggung tegak, tangan Dahlia menggenggam erat jemarinya.Tiba-tiba, suara mesin mobil berhenti di halaman depan. Tak lama kemudian, ketukan terdengar di pintu.Seorang asisten rumah tangga membuka pintu, lalu masuklah seorang pria berumur lima puluhan, mengenakan jas rapi warna abu tua. Wajahnya tenang, rapi, dan penuh wibawa.“Pak Ali, ini Pak Harlan… pengacara almarhum Bapak Jumali Hasan,” seorang pria yang lebih muda—asisten Pak Harlan—memperkenalkan bosnya.Pak Harlan melangkah masuk, sedikit membungkuk untuk sapaan singkatnya, “Permisi. Mohon maaf datang di saat duka. Saya Harlan, pengacara pribadi mendiang Bapak Jumali Hasan. Saya ke sini untuk menyampaikan is

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Akung Dalam Kenangan

    Doa pun dikumandangkan, mengiringi tubuh yang akan menyatu dengan bumi. Suara pelan ustaz, suara isak dari beberapa pelayat, dan suara angin lembut menjadi latar kepergian itu. Ali akhirnya melangkah maju, menggenggam sekop pertama. Dengan tangan itu yang dulu dibantu Akung untuk memegangnya saat belajar jalan, kini dengan tangan ini Ali menguburkan tubuh kakenya sendiri. Seketika tubuh Ali limbung. Satu sekop tanah yang ia jatuhkan, seakan ikut menjatuhkan setengah jiwanya ke dalam lubang itu. Air mata tak bisa lagi ia tahan. Tapi tetap tak ada suara tangis. Hanya wajah yang basah dan beku. Dahlia menyentuh lengan Ali dengan lembut saat prosesi selesai, tapi pria itu tetap diam. Matanya masih tertuju pada tanah merah yang menutup lubang itu perlahan, yang pada setiap sekop tanah terdengar seperti pukulan keras ke dada. Sementara Rudi merunduk, membisikkan doa terakhir sambil menahan

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Akung Setengah Dunia Ali

    Sampai hari berganti dan para pelayat sebagian besar pergi untuk datang lagi di acara pemakaman nanti, tapi Ali masih duduk di lantai marmer dingin itu.Di hadapannya, tubuh Akung terbujur kaku. Tak ada lagi suara napas berat atau gerutu khas saat pagi datang. Tak ada suara Akung memanggil namanya, tak ada tangan hangat yang menepuk pundaknya.Dan seketika dunia Ali terasa hening, tak ada suara, tak ada waktu, hanya detik-detik hampa yang menusuk dada.Pelan-pelan, air matanya kembali jatuh. Ia tidak bisa berhenti menangis, meski tidak ada suara dari bibirnya. Hanya wajah yang kusut dan mata yang sembab.

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Dunianya Runtuh

    Sinar matahari menari pelan di sela tirai, menyentuh kulit dua insan yang masih terbungkus selimut hangat. Nafas mereka tenang, dengan tubuh mereka masih bertaut, seperti enggan berpisah dari malam yang telah mereka lalui.Dahlia terbangun lebih dulu. Ia menatap suaminya yang masih terlelap dengan rambut berantakan dan wajah damai, wajah yang malam tadi membuatnya lupa segalanya.Dengan lembut, ia mengecup dahi Ali, “Pagi, Mas…” bisiknya manja.Ali membuka mata perlahan, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum lelah, “Hmm… pagi… istri tercintaku yang bikin aku gempor.”

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Niat Yang Terbaca

    Langkah Citra terdengar tenang saat menyusuri rumah besar milik Akung Hasan. Seperti biasa, ia membawa tas kecil berisi alat cek tekanan darah dan beberapa botol vitamin yang diresepkan rekan dokternya yang sudah beberapa kali memeriksa kesehatan Akung.Senyumnya tetap lembut, tatapannya ramah, dan bicaranya manis pada pelayan rumah yang menyapa. Tapi siang itu, setelah melihat senyuman Akung yang biasanya menyambut dengan hangat, tampak lebih datar, ia merasa aneh.“Kakek… udah minum obat pagi, belum?” sapa Citra sambil duduk di sisi kanan kursi rotan besar tempat Akung biasa duduk membaca koran.“Udah, Nduk… barusan tadi Rudi yang ngingetin sebelum ngantor,” jawab Akung pelan.“Oh, ya udah. Sekalian Citra cek tekanan darahnya, ya,”Akung hanya mengangguk pelan, tapi tidak buru-buru menyodorkan lengannya seperti biasanya. Tatapannya justru menatap Citra dalam diam, dalam keheningan yang membuat perempuan itu sedikit canggung.“Kake, kenapa? Ada yang salah?” tanya Citra mencoba tetap

  • MANTANMU JADI ISTRI BOS   Terbakar Cemburu

    Cahaya matahari pagi menyusup dari sela tirai putih yang melambai lembut. Dahlia membuka matanya perlahan, dan hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang suaminya, tempat kepalanya bersandar semalaman.Ali masih tertidur dengan napasnya yang teratur, tangannya tetap melingkari pinggang Dahlia, seolah takut istrinya bisa menghilang dari pelukannya.Bersamaan dengan Dahlia yang mengangkat wajah sedikit, Ali juga mulai membuka mata, “Pagi…” gumamnya dengan suara serak seksi khas baru bangun.Dahlia tersenyum malu, “Pagi juga…”Ali menariknya makin dekat. “Masih sisa baterainya, Sayang?”“Kelihatannya gimana?” jawab Dahlia, membenamkan wajahnya di leher Ali.Ali tertawa pelan, “Syukurlah kamu masih bisa bangun. Aku kira kamu bakalan lemas kehabisan tenaga karena aku pakai semalaman,”Dahlia mencubit pinggangnya, “Mas!”Ali meringis dibuat-buat, “Istri aku galak banget pagi-pagi, padahal suaminya udah lembur semalaman buat siramin cinta semalaman,”Dahlia memukul dada Ali pakai bantal ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status