Share

Bab 6. Nasehat untuk duda

"Abang nginep di rumah Johan. Semalam main ke sini, pas nyampe malah hujan gak berhenti. Si Melly juga badannya anget, gak berani Abang bawa pulang," jelas Gusti video call dengan istrinya.

"Astaghfirullahal'adzim! Trus, udah Abang kasih obat? Gimana kondisinya sekarang? Badannya masih panas? 

"Udah, untung kebawa obat panasnya semalam. Panasnya udah mulai mendingan."

Gusti menggeser kamera memperlihatkan Melly yang tengah tertidur pulas. Dia kembali fokuskan kamera ke wajahnya dan melihat air muka khawatir di wajah istrinya.

"Udah, kamu siap-siap, nanti ketinggalan pesawat. Hati-hati di jalan, jangan cemas. Insha Allah, Melly gak apa-apa dengan doa kamu ibunya."

"Iya, dech. Pergi dulu ya, Bang. Jangan ngerepotin bang Johan. Assamu'alaikum. Muahhh!"

"W*'alaikumussalam. Muaahhh!"

Gusti keluar kamar membawa saat melihat Johan membawa belanjaan.

"Kamu belanja, Jo? Uang darimana?" Gusti menatap bingung.

"Dari ATM."

"Maksudnya? Aku gak paham."

"My debit card was expired, Gus. Makanya kemarin gak punya uang. Bank kan, tutup hari Sabtu. Makanya tempo hari aku minta off di hari ini, supaya bisa ke bank untuk bikin kartu baru. Melly udah mendingan?" Johan mengeluarkan plastik berisi Wortel.

"Masih sama. Tapi, udah minum obat. Istriku hari ini pulang, Jo, mungkin udah di bandara." Gusti memotong bawang merah. 

"Loh, bukannya besok?" Johan menoleh dengan kening mengerut.

"Seharusnya besok, tapi ada audit dalam beberapa hari ke depan katanya, jadi mereka buru-buru pulang hari ini. Jadi ya, batal dech jalan-jalan abis seminarnya."

Johan mengangguk paham sambil membersihkan sisik ikan Salam kesukaannya.

"Jo .... "

Johan berdehem. Gusti tidak kunjung berkata setelah beberapa detik, hingga Johan harus menagih apa yang akan Gusti bicarakan.

"Apa?"

"Perasaanmu udah baikan?" Gusti menatap Johan yang sedang memotong ikan menjadi empat bagian.

"Udah. Thanks ya, Gus."

"Aku juga pengin kamu bahagia, dengan punya keluarga baru. Kamu berhak untuk itu."

Gusti terkejut saat terciprat darah ikan di wajahnya. Dia melanjutkan sembari membersihkan darah itu dengan telapak tangan.

"Mulai belajar buka hati ya, Jo. Aku nggak bermaksud ceramahin kamu, tapi kamu juga harus ingat, bahwa umur nambah terus dan kamu juga belum punya anak. Mustahil kamu gak pengin punya anak kandungmu sendiri, kan?"

Johan terdiam dan termenung mendengar nasehat Gusti yang terdengar sangat dewasa kali ini. Tangan kanannya yang memegang pisau berhenti mendadak di udara.

Laki-laki itu tidak punya kata-kata untuk membantah perkataan Gusti. Pun ibunya juga menginginkan hal serupa. Tapi, hati Johan memang belum siap. Apakah harus dipaksa?

"Maaf ya, Jo, aku sama sekali gak berniat menyinggung perasaan kamu. Kita memang gak bisa mengubah masa lalu, tapi kita masih bisa mengubah masa depan. Menciptakan masa depan kita sendiri, masa depan seperti apa yang ingin kita jalani."

Johan melepas pisau dan mencuci ikan sebelum menyalakan kompor gas.

"Kalau memang perasaanmu seperti yang kamu bilang semalam, sebaiknya kamu mengambil posisi pasif. Terima perhatian dari lawan jenis yang tertarik padamu.

"Kalau aku nggak suka sama cewek itu?"

"Ya, gak usah diladeni. Maksudku, kalau ada perempuan yang membuat hatimu tertarik, dan dia juga perhatian sama kamu, ya kamu terima aja."

Gusti mengambil tomat, cabe merah, bawang putih, dan jahe dan daun salam dari kulkas, sebelum memotong sayur kangkung.

"Tapi, kamu juga harus ngomong dari awal kalau kamu sedang mengobati luka hati. Biar dia gak kecewa karena cintanya bertepuk sebelah tangan."

Johan hanya diam tidak membantah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status