Share

Bab 7. Hati yang tersinggung

Marina berputar-putar di depan cermin mematut diri dengan celana jeans putih dan tunik bunga selutut berlengan panjang. Marina tidak suka memakai baju terbuka. Tidak sopan kata bapak dan ibunya.

Pagi ini dia akan ke ATM untuk setor uang hasil penjualan kemarin. Itu dilakukannya setiap hari.

Tiga puluh lima menit kemudian, Marina menatap malas pintu masuk bank, saat matanya menangkap tulisan di mesin setor tunai MAAF ATM SEDANG DALAM PERBAIKAN. Antrian panjang di dalam ruangan benar-benar memuakkan. Marina dan semua orang tentu saja tidak suka itu. Dia juga malas mencari mesin setor tunai yang lain. Jauh.

Marina akhirnya masuk ke dalam bank, berdiri di pintu masuk, melihat ke dalam ruangan yang... Sesak. Matanya tertuju ke layar monitor yang menunjukkan angka 005 untuk antrian teller, lalu pindah ke jam dinding di jarum pendek 10.05.

'Anda tidak beruntung.' 

Marina berdiri setelah mengambil nomor antrian lalu mengisi form setoran tunai. Matanya melihat seluruh ruangan, tidak ada bangku kosong.

'Benar-benar menyebalkan!'

Sesaat kemudian matanya tertuju pada sosok yang sedang duduk di antrian customer service. 

'Ok, ketemu dia lagi. Mudah-mudahan dia gak lihat aku, apalagi sampe berpapasan.'

Dia berdiri di dekat meja dimana form berada. Menyusuri satu-persatu kursi yang mungkin kosong, karena nasabah muak menunggu antrian yang lama.

Dua jam kemudian, Marina sudah duduk di kafe bersama secangkir mochacino menghilangkan penat setelah antrian bank yang membuat kakinya lemas, dan bokongnya sakit. Dia mengambil waktu satu jam sebelum balik ke warung untuk mengurus gaji pekerja.

Hari ini tanggal 1, dan 3 hari lagi pekerja akan gajian. Marina tidak mau membayar gaji setiap tanggal 2 setiap bulan. Dia harus menghitung bonus dan pajak setelah menyussun nominal gaji, yang ditransfer ke rekening masing-masing.

Hari ini dia benar-benar merasa lelah untuk seseorang yang hidup sendiri. Marina menatap ponsel yang terletak di sebelah kanan cangkir. Seperti ada sesuatu yang membuatnya harus melakukan sesuatu, bukan perihal pekerjaan.

Tatapan Marina tertuju pada seorang kakek tua bersepeda yang membawa dagangan. Dia terlihat lelah dan uzur. Punggungnya membungkuk, kulitnya kering tua, tapi dia masih sangat kuat berjalan menjajakan sapu ijuk. Entah sudah berapa jam kakek itu berkeliling, tapi dia sungguh tidak mengeluh.

Marina terpaku.

Matanya mulai berkaca-kaca, melihat kenyataan hidup yang dihadapi masing-masing individu demi bertahan hidup. 

***

[Gimana kabar kamu, Han?]

"Alhamdullillah baik. Ibu sehat di sana?"

[Ibu di sini baik-baik, kok. Sehat Alhamdullillah. Kamu sekarang lagi dimana? Apa masih di kantor?]

"Hmmm... Masih ada kerjaan, Bu. Tapi, gak repot-repot amat. Kenapa, Bu?

[Ibu ada rencana mau ke rumah kamu pekan depan, jadi kita bisa puasa bareng.]

"Wahhh... Alhamdullillah."

'Akhirnya ada yang masakin.'

"Trus, kapan Ibu berangkat? Biar Han jemput."

[Kan udah Ibu bilang dalam beberapa hari, gimana sih?]

"Lah, kan tanggal pastinya, Bu. Tiket udah beli belum? Biar Han..."

[Nanti kan Ibu kabari lagi. Tiketnya jangan lupa belikan. Udah ya, Ibu mau beli ikan dulu. Assalamu'alaikum.]

Tut tut tut. 

"Lah?"

Johan mengembus napas sembari memandang aneh ponsel yang dipegang. Bukan hal baru bagi Johan mengalami perlakuan ibunya yang seperti itu saat menelepon, tapi kalau minta dibelikan tiket tanpa ada kepastian tanggal?

"Keburu naik harga tiket, Buuuu!" Johan menepuk jidat.

"Ika berani taruhan, Abang senang ibu Abang datang pasti karena gak perlu masak-masak apalagi makan di luar. Hehehe..." Riska cengengesan.

"Nguping aja!" sewot Johan memandang desktop.

"Gak nguping juga denger kali, Bang. Abang bicara bukan bisik-bisik kayak orang pacaran," bantah Riska bangun dari kursi.

"Nih, Abang tanda tangan." Riska meletakkan berkas dua bundel di meja Johan.

Johan hanya melirik kertas-kertas itu tanpa menjawab, lalu melirik Riska sekilas yang berjalan menuju pantry.  

"Kopi Abang sekalian, Ris."

"Cari bini, Bang!" teriak Riska di ujung tangga.

Johan menarik napas.

"Nitip makan siang gak, Jo? Aku lagi malas keluar hari ini."

Gusti datang membawa keripik pisang cokelat yang tersisa setengah bungkus. Johan menoleh.

"Nitip sama Deni?"

"Hu um, mau gak?" Gusti menarik kursi mendekat ke Johan.

"Boleh, dech." Johan bersandar ke punggung kursi.

"Dua aja, Ris, kopinya?"

"Iya, punya Bang Johan satunya."

Gusti melirik Johan yang mendongak ke atas dengan mata tertutup. Riska menaruh segelas kopi ke hadapan Johan, lantas mengambil sedikit keripik dari plastiknya. Gusti menarik kursi lain untuk Riska.

"Kenapa, Jo?"

Mata Johan perlahan terbuka.

"Gak apa-apa. Lagi suntuk aja," lirihnya.

"Bang, Ika bukannya ikut campur ya, tapi Ika prihatin sama Abang. Kenapa Abang gak nikah lagi, sih? Apa Abang trauma sampe gak mau buka hati lagi?"

Riska duduk setelah meletakkan kopinya di dekat bungkus keripik.

"Emang seprihatin itu hidup Abang kelihatannya?" kesal Johan menegakkan badan.

"Gak gitu, Bang. Maksudnya ...."

"Masih ada luka yang sembuh, Ris. Nanti juga nikah lagi setelah ketemu dokter cintanya," sela Gusti meminimalisir ketegangan yang mulai terasa.

Johan menatap sinis Gusti yang meledeknya. Gusti balas menatap Johan mantap, mengunyah keripik dengan santai tanpa rasa bersalah.

"Maaf ya, Bang. Bukan maksud Ika, tapi ..." Riska takut-takut menatap Johan.

Johan memandang ke layar komputer bermain Tetris. 

"Ada baiknya Abang belajar buka hati, walaupun masih sakit. Hidup kita kan terus berjalan maju, Bang, bukan mundur ke belakang."

"Tumben loe dewasa," tutur Gusti terperangah.

"Apaan sih, Bang?" sewot Riska menatap Gusti.

"Abang gak kasihan gitu sama ibu? Mungkin Abang gak masalah mau duda sampe bongkok juga masa bodoh, tapi ibu Abang? Kan ibu pengin juga momong cucu dari Abang. Orang tua tuh cuma pengin anaknya bahagia, punya keluarga utuh, main sama cucu..."

"Ris, Ris, loe kesambet apa, Dek?" sela Gusti.

Johan hanya menyimak petuah Riska yang masih lajang, bahkan calon suami juga tidak punya. Gusti melirik Johan yang tampaknya tengah berpikir, lantas mendelikkan mata pada Riska.

"Udah tausiahnya?" Johan menatap Riska.

Riska terkejut.

"Maaf, Bang," sahut Riska menunduk.

Johan termenung.

"Sudahlah, Abang lagi gak mood sama ceramah kamu. Gak harus juga semua orang Abang ceritain harapan dan impian Abang, kan?" ungkap Johan bernada tidak suka.

Johan berdiri dan meninggalkan Riska bersama Gusti dalam kebingungan. Gusti memejam mata melihat Riska melakukan kesalahan yang –sejak awal Gusti tahu –akan menyinggung perasaan Johan. Niat Riska mungkin baik, tapi mungkin Timing yang tidak tepat untuk menyampaikan.

"Bang, Ika salah ya?" Wajah Riska terlihat serba salah.

"Kamu gak salah, Ris. Cuma momentnya yang gak benar. Lain kali lihat-lihat sikon kalau mau bicara," kesal Gusti. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status