Share

Bab 5. Curahan hati duda

Johan baru saja selesai mandi ketika ponselnya yang tergeletak di atas kasur berbunyi. Buliran air pada rambut yang dikeramas menyisakan tetes air yang jatuh di pinggiran wajah dekat telinga dan juga bahu. Laki-laki itu hanya mengenakan celana pendek katun. Kulit cokelatnya yang bersih membuat Johan semakin terlihat menawan.

Anakku hampir pingsan menunggumu di teras, buka pintu buruan!

Johan segera keluar kamar setelah membaca pesan yang membuat jantungnya hampir copot. Dia terkejut saat pintu dibuka, melihat Gusti sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah tas bayi dan anaknya dalam gendongan.

“Kenapa gak bilang-bilang kemari?” Johan membuka pintu lebar-lebar.

“Kelamaan! Nunggu buka pintu aja sampe sepuluh menit. Bisa kehujanan aku di jalan kalau harus telepon dulu. Kasihan anakku.”

Gusti menerobos masuk tanpa mengucap salam dan meletakkan tas bayinya di meja tamu. Johan menutup pintu sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan sohibnya itu.

“Aku kan lagi mandi, mana dengar. Mau teh atau kopi?”

“Kopi aja, dech.” Gusti meletakkan bayinya di sofa panjang.

“Kayaknya aku nginep sini aja dech, Jo. Boleh ya? Di rumah juga suntuk banget. Lagian hujan-hujan begini Mely suka kaget-kagetan kalau ada suara petir atau guntur.”

Gusti menatap Johan yang berdiri beberapa langkah dari pintu masuk, lalu menatap gadis kecilnya. Bocah mungil yang berumur empat belas bulan itu tengah tidur pulas dalam selimut halus pemberian ibu Gusti.

“Gak masalah. Bawa aja ke dalam. AC belum kunyalain dari tadi sejak pulang.”

Gusti memindahkan bayinya ke kamar Johan, yang juga ke kamar untuk memakai baju. Lantas ke dapur membuat kopi.

“Kamu merasa ada yang aneh gak sih sama acara tadi? Vina cuma ngasih petty cash lima juta ke Vira untuk pegangan. Terus, pak Suroso tiba-tiba minta uang. Buat apaan, ya? Dia juga menghilang tadi pas lagi puncak-puncaknya.”

Gusti muncul tiba-tiba di dapur bersama sebotol susu ukuran besar dan sekotak susu. Johan melirik ke dua benda yang ditaruh di dekat rak gelas itu.

“Aku juga bingung. Bisa-bisanya kekurangan uang buat tebus makanan. Untung Riska bawa duit cash sejuta, kalau gak, gak tahu gimana. Benar-benar aku gak punya muka tadi.” Johan menyodorkan kopi.

“Haahh … jantungku mau copot bicara sama si kasir Marjan. Untung pemiliknya mau pengertian. Memang rezeki tadi kita, Jo. Tuhan nolongin kita.”

Gusti meneguk kopi saset miliknya yang memang sengaja ditinggalkan di rumah Johan.

Hujan semakin deras, suara gemuruh di langit semakin keras. Gusti hanya berharap bahwa sepanjang malam anaknya bisa tidur lelap. Tidak ada petir yang menggelegar. Tidak ada angin bertiup kencang. Hanya ada pulasan tidur untuk dirinya dan Johan yang sudah sangat lelah.

Dua lelaki itu beralih ke kamar menemani baby girl sambil mengobrol untuk memancing rasa kantuk. Johan melihat Gusti merangkak naik ke kasur. Menyelimuti gadisnya lebih hangat dan mengibas-ngibas di atas Mely untuk menghalau lalat atau nyamuk.

Gusti menjalankan figur kebapakannya dengan baik. Berbagi tugas dengan istri mengurus anak pertama mereka. Setitik kecemburuan dan kesedihan menyerang hati Johan setiap kali melihat Gusti menggendong atau mengurus anaknya.

“Istrimu kapan pulang?”

“Insha Allah lusa, berangkat pagi pesawat jam sepuluh. Mudah-mudahan gak ada hambatan berarti.”

Johan menatap jendela yang tertutup gorden. Pandangannya kosong sembari sesekali mencicip kopi buatannya yang mulai ‘dingin’ karena udara dingin yang menusuk kulit. Dia duduk di kursi kayu beralas busa.

Kilatan cahaya langit terlihat dari balik jendela. Laki-laki itu berdiri, lantas menuju ruang tamu menutup gorden, mengunci pintu, dan mematikan lampu.

Hati Johan mendadak perih, matanya perlahan terasa panas. Entah sesak apa yang menggerogotinya saat ini, tapi Johan benar-benar ingin menangis dari hati yang terdalam.

Apakah karena bertatap muka tanpa sengaja untuk pertama kalinya dengan mantan? Tidak!

Apakah karena melihat Gusti mengurus anak? Juga tidak!

Tapi, detik berikutnya Johan menyadari bahwa dia menangis karena Mely –anak Gusti!

Gusti muncul di balik remang-remang ruang tamu dimana Johan tengah duduk berduka. Air matanya bukan lagi menetes, tapi tak ubahnya air hujan yang sedang turun di luar. Dia melihat gelas kopi Johan di atas meja.                     

Johan menyeka air mata lantas mengusap pipinya yang basah. 

Kamu kenapa nangis?” Gusti duduk di sebelah Johan.

Gusti memperhatikan wajah Johan yang fokus memandang lurus ke depan. Setetes air matanya masih jatuh membasahi. Johan butuh tempat berbagi cerita, dan Gusti memahami itu. Dia memeluk Johan yang langsung menangis pecah di pelukannya.

Dia tahu dengan benar karakter dan tabiat rekan kerja yang sudah seperti saudara baginya. Johan bukan lelaki muluk-muluk, atau pecicilan, atau tukang gombal pada gadis-gadis, dia lelaki dengan kepribadian dewasa. Cool.

Gusti menepuk-nepuk pundak Johan memberi kekuatan. Detik berikutnya, tangis Johan perlahan mereda dan melepas pelukan. Namun, Gusti masih belum tahu apa alasan dibalik Johan menangis.

“Aku siap pasang antena tinggi-tinggi, kalau kamu mau cerita,” tawar Gusti hati-hati.

“Gak, Gus. Gak ada apa-apa. Aku cuma ….”

“Cuma …?”

Gusti masih menyimak dan menunggu kalimat lanjutan Johan yang menggantung. Tapi, insting Gusti berkata bahwa ini karena nasib pernikahannya yang bahkan ternoda dengan perselingkuhan.

“Aku gak tahu sampe kapan aku terus begini,” lirihnya masih terisak. 

“Maksudmu?” Kening Gusti mengerut.

“Terus terang, aku juga pengin membuka hati. Punya hidup baru dengan perempuan baru. Aku … pengin berumah tangga lagi, Gus. Tapi ….”

Johan menarik napas karena isakannya yang masih sesekali terdengar. Dia menatap mata Gusti dalam-dalam sebelum mengalihkan tatapan pada jendela yang terlihat terang karena cahaya kilat. Hujan masih turun deras disertai angin bertiup yang –untungnya tidak kencang.

“Aku kayak merasa lelah untuk berurusan lagi dengan hati. Jatuh cinta dimana pengertian dan pengorbanan menjadi bagian yang gak pernah bisa dipisahkan.”

Johan menarik napas panjang – lelah. Dia memang lelah menjalani hidup sebagai seorang duda yang terkurung dalam kurungan hati yang terpenjara. Johan lelah untuk mengerti. Dia lelah. Benar-benar lelah.

“Aku capek, Gus.”

Pengakuan yang sudah Gusti tebak sebelumnya. Luka yang masih terbuka lebar, yang masih membutuhkan waktu untuk menata hati agar siap membuka lembaran baru. Kebahagiaan tidak datang dengan sendirinya, melainkan diciptakan dengan berusaha meraihnya.

“Kamu yakin dengan keinginanmu? Kalau iya, kamu mesti paksakan dirimu untuk bisa terbuka, khususnya hatimu. Aku tahu itu gak mudah, tapi kalau gak dicoba gak akan pernah bisa tahu, kan?”

“Seperti halnya perempuan yang terlihat kuat dan tangguh di luar, kami lelaki pun sebenarnya juga rapuh di dalam. Hanya saja, kami bukan kaum yang dikodratkan ekspresif dalam mengungkapkan perasaan.”

~Gusti Mahoto~ 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status