Share

Bab 2

______🖤_____

 Aroma bunga melati menguar saat Marni mengguyur tubuhnya dengan air japa mantra yang ia pelajari sejak lama. Sejak ia diikuti oleh sukma Nyai Asih.

Lalu ingatan itu sering muncul dalam fikiran. Bagaimana saat pertama dia begitu takut melihat Nyai Asih yang pucat dan bersimpah d a r a h.

"N-nyai kenapa kau m a t i? Aku tidak punya teman, karena mereka j a h a t padaku," isak Marni dengan polosnya, saat siuman.

"Aku pun sedih. Tapi jika kau takut sendiri, aku akan menemanimu, asal kau mau membantuku."

Rambut panjang tergerai menutupi sebagian senyum yang biasanya tersemat manis. Namun kali ini sedikit menyeramkan bagi Marni. Rambut panjangnya yang tak wajar dan berantakan, membuat Marni kecil sedikit takut. Akan tetapi baginya, lebih menakutkan jika dirinya tak punya teman dan mendapatkan hinaan dari teman-temannya, hanya karena dia tidak tahu siapa ayahnya.

Mereka selalu m e n g h i n a, bahwa Marni adalah anak h a r a m, anak yang tidak di inginkan oleh ayah kandungnya. Maka dia di biarkan hidup berdua dengan ibunya. Hal itu membuat hati Marni sakit, juga takut menghadapi hari-hari.

"Temani aku Nyai, aku takut." Bibir mungil itu berterus terang. 

Bangkitlah Nyai dan menyanggul rambutnya rapi seperti sediakala, seperti saat dia masih hidup. Sunduk rambut Marni, dia gunakan untuk mengunci rambutnya yang panjang, sampai menyentuh lantai gubuk panggung Marni. 

Dia menyeringai dengan mata yang hitam legam, jarak yang cukup jauh untuk menjangkau Marni yang masih duduk di ambenan kayu, berlapiskan tikar anyam.

Dengan cepat mendekat secara tiba-tiba tepat di hadapan Marni, dengan d a r a h segar keluar dari mulut, yang sedikit terbuka berbau anyir.

Marni terlonjak, kaget.

"Ibu ... !!!"

Marni kembali pingsan.

________

Kamar berukuran luas itu sengaja ia buat dua ruangan. Kamar yang begitu mistis, sedikit redup dan berbau anyir namun terkadang pula wangi semerbak aroma bunga kantil juga melati. 

Tidak ada satu orang pun yang boleh membuka kamar itu begitu saja, termasuk Ningsih. Rumah gedong milik kakek-nenek Marni itu diwariskan pada Ningsih-anak semata wayang, kemudian di tempati hampir tujuh tahun terakhir ini bersama Marni.

"Ibu, aku mau tidur sendiri. Aku sudah tidak takut, karena aku sudah punya teman," pinta Marni kecil pada ibunya, sambil menatap Nyai Asih yang sudah duduk di ruangan luas dengan dua tempat tidur itu. 

"Dipane 'enek loro. Aku turu ing sandhingmu. Kowe isih cilik, nduk."

**"Ranjangnya ada dua. Ibu tidur denganmu. Kamu 'kan masih kecil."

"Aku mau sendiri, buk." Dengan tanpa persetujuan, Marni menempati kamar itu sendirian. Menutup pintu dengan kasar.

Ibunya sedikit terhenyak, tapi lagi mencoba mengalah. 

"Yo wes, nduk. Turu'o kene dewe." 

**Ya sudah. Tidurlah sendiri disini."

Marni mendengar ucapan ibunya di luar, dia tersenyum pada Nyai.

_____________

Marni bocah Lima tahun itu tumbuh menjadi gadis dewasa yang pendiam. Pergaulannya hanya antara sanggar tari, kemudian rumahnya.

Semenjak sering pingsan dan mendapati putrinya berkelakuan aneh. Ningsih pergi meninggalkan tanah Sunda, membawa Marni kecil ke tanah Jawa, tanah kelahirannya, tepatnya di sebuah desa yang kental sekali akan tradisi musik gamelan, yaitu desa 'Gendingan' yang berarti alunan musik gamelan.

Disini, Marni lebih agresif meski tak punya teman yang amat dekat. Karena teman-temannya merasa takut pada Marni, meski dia hanya diam saja. Namun, Marni menjadi murid yang pandai menyerap ilmu tari, dan paling di sukai para penonton. Marni jadi andalan jika seni tari itu di adakan dalam sebuah acara.

Selain cantik dan jago menari, dia juga terbantu dengan sukma Nyai Asih, hingga membuat dirinya lebih percaya diri dan lebih dilirik oleh pandangan orang. Meski kekuatan pemikat itu belum sepenuhnya dia miliki, seiring raga itu menyatu.

Setelah Marni mandi, dia memakai kain jarik penutup tubuhnya, gadis yang genap 20 tahun itu akan segera melakukan ritual penyatuan "Rogo sukmo" yaitu raga Marni dengan arwah Nyai Asih.

Suara lantunan japa mantra, diiringi alunan gending mistis membuat tubuh Marni mengalun, menggerakkan tari meski raganya terasa berat. Semakin berat, semakin dia harus berkonsentrasi menggerakkan jari-jari lentiknya dalam sebuah gerakan, kelamaan rasa perut begitu mual, namun dia tahan demi sempurnanya penyatuan itu.

Hingga ketukan ritme Gendingan itu berakhir laun, kepala semakin berat seperti hendak dia jatuhkan dan, bughk!!! Seperti hantaman keras tubuhnya terdorong hingga rasa m u a l itu tak tertahankan lagi. D a r a h menyembur dari mulut Marni, mata terbalik, senyum mengerikan tersemat perlahan. Dia tertawa terbahak, kemudian mengambil mangkuk bunga kantil dan memakannya, menegak cairan amis dari seekor ayam jantan hitam. 

"Balaskan dendamku," ucap Marni dengan raga yang sudah menyatu dengan Nyai Asih. Mereka adalah satu raga.

Rasa dingin menjalar tubuh Marni seketika, membuatnya begitu menggigil. Dia membersihkan diri dengan badan yang gemetar, membersihkan kamarnya dari sisa-sisa percikan d a r a h. Membuang semua jejak mistis bekas ritual malam ini pada plastik sampah besar yang sudah dia siapkan, kemudian segera menghanyutkannya di sungai besar. Tidak ada yang mengetahui semua kegiatannya, di malam Jum'at kliwon ini, termasuk Ningsih-ibunya sendiri.

______________

Paginya, Ningsih menanti putrinya yang tak kunjung keluar kamar. Dia ingin mengetuk pintu kamar putrinya, namun urung. Marni selalu marah jika dia berani mengganggunya. Marni tak suka pintunya di ketuk. Namun biarpun pemarah, dia selalu bangun lebih awal agar Ningsih tak pernah mengetuk pintu untuk membangunkannya. 

Dan kali ini, tak biasanya dia bangun terlambat. Ningsih berfikir, apakah Marni sakit? Bahkan sejak kecil menempati rumah ini, Marni tak pernah sedikitpun sakit atau demam.

Dengan sedikit berteriak, Ningsih membangunkan Marni dari ruang makan.

"Ni, Marni? Ma'em sek, nduk!"

**Marni? Sarapan lah dulu!"

Beberapa detik tidak ada balasan dari Marni. Ningsih lalu mengambil piring, berniat untuk sarapan sendiri, tetapi saat tangannya mulai menyiduk nasi. Marni berteriak.

"Ibu ... !"

Ningsih segera berlari ke depan pintu kamar putrinya, dia kembali ragu ketika ingin masuk. Teringat, putrinya itu begitu ketat menjaga kamarnya. 

Di dalam hatinya Ningsih sangat penasaran, mengapa demikian di larangnya, padahal dua tahun lalu sempat dia ingin sekedar mengepel lantai, memaksa masuk saat putrinya sedang berlatih tari, tidak ada sesuatu yang mencurigakan di kamarnya. Hanya saja, bunga melati berserakan di tempat tidur salah satunya. Melihat itu Ningsih memaklumi, memang kerap anaknya memetik bunga di halaman depan yang memang di isi banyak tanaman melati.

"Bu ... " 

Teriakkan itu makin merintih memanggilnya. Ningsih segera masuk melihat keadaan putrinya. Tanpa peduli lagi jika putrinya itu marah. 

"Kenapa, nduk?" Hati khawatir, tangan Ningsih meraba tubuh Marni yang sedang demam tinggi. 

"Ya, Allah. Apa kat bengi kowe meriang, nduk? Lha kok, ora kondo. Ayo, gek ndang mari, neng bidan sisan, ya!"

**Ya, Allah. Apa dari semalam kau sakit? Kenapa tidak bilang. Ayo, biar cepat sembuh, kita ke bidan dulu, ya!"

Ningsih segera membawa Marni ke bidan terdekat. Dia memanggil Angga, anak Pak Radhi untuk membantunya membawa Marni ke bidan, Angga menyetujui. 

Ningsih tahu, Angga sebenarnya tertarik pada Marni. Dan Ningsih tahu, Angga pemuda yang baik, maka Ningsih sangat setuju jika seandainya Angga berniat meminang putrinya.

Marni di bopong Angga ke dalam mobil. Tiba-tiba musik Gendingan mengalun samar, bulu kuduk Angga meremang, karena tidak ada tetangga yang sedang memutar lagu Jawa, hajatan pun tidak ada, apalagi hari masih pagi, sedang ramai-ramainya orang beraktifitas di rumah atau lalu lalang petani yang akan pergi ke sawah dan ladang mereka. Tetapi ghendingan itu terasa jelas terdengar.

Angga menepis pikiran negatifnya, segera membaringkan tubuh Marni yang lemas yang suhu badannya terasa panas, di jok belakang. Namun, setelah di sandarkan, mata hitam legam itu menatap sangar pada wajah Angga.

_________🖤________

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status